• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Selasa, 30 April 2024

Tokoh

Mengenang KH M Mashum Ali, Katib Syuriah PCNU Jombang Periode Pertama: Dari Desa, Karya Mendunia

Mengenang KH M Mashum Ali, Katib Syuriah PCNU Jombang Periode Pertama: Dari Desa, Karya Mendunia
Kitab karya KH M Mashum Ali, al-Amtsilah al-Tashrifiyah. (Foto: NU Online Jabar)
Kitab karya KH M Mashum Ali, al-Amtsilah al-Tashrifiyah. (Foto: NU Online Jabar)

Oleh: Mukani*

Tanggal 24 Ramadhan 1351 adalah hari wafatnya KH M Mashum Ali. Saat itu, bertepatan dengan tanggal 8 Januari 1933. Menantu pertama dari Hadratussyekh KH M Hasyim Asyari ini meninggal dunia dalam usia 46 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng. 


Kiai fenomenal ini berasal dari Pesantren Maskumambang Gresik. Dia lahir pada tahun 1305 H/1887 M. Di tahun 1921, setelah menikah, disuruh mertua mendirikan Pesantren Seblak. Letaknya sekitar 200 meter arah barat Pesantren Tebuireng. Masa itu, setiap santri putri yang hendak menimba ilmu di Tebuireng, akan ditempatkan di Pesantren Seblak.


Dia menikah dengan Nyai Khoiriyah, anak pertama Hadratussyekh dan Nyai Nafiqoh. Dari pernikahan satu-satunya ini, memiliki dua putri yang hidup. Sang sulung bernama Nyai Abidah, yang dinikahi KH Mahfudz Anwar Paculgowang. Salah satu putra Nyai Abidah, yaitu KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), sekarang menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng. Sang bungsu bernama Nyai Djamilah, yang dinikahi oleh KH Nur Aziz Singosari. 


Kiai Mashum sering dijuluki sebagai orang kedua di Tebuireng setelah Hadratussyekh. Dia menjadi rujukan dalam pengambilan pendapat, ketika Hadratussyekh sedang tidak berada di tempat. Ini karena penguasaan ilmu yang luar biasa dari Kiai Mashum. 


Meski begitu, kehidupannya sederhana di desa. Saking sederhananya, konon seumur hidup hanya memiliki dua foto diri. Pertama diklaim hilang entah ke mana. Foto kedua dibakar sendiri sepekan sebelum wafat. Bahkan para keturunan (dzuriyah) hingga kini juga tidak ada yang memiliki fotonya. Tidak heran jika banyak tulisan tentang Kiai Mashum menggunakan foto karya, istri atau pesantren yang didirikan. 


Aktif di NU

Tiga tahun setelah organisasi NU berdiri di Surabaya, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari berusaha mendirikan cabang-cabang di berbagai daerah. Terutama di Jombang sebagai basis para kiai. Hal ini kemudian dikomunikasikan dengan KH M Bisri Syansuri.


Mendapat perintah itu, KH Bisri Syansuri lantas mengadakan pertemuan di masjid jamik Kauman Utara Jombang. Sekitar 600 kiai dan habaib se-Jombang hadir tanggal 4 Mei 1928 (14 Dzulqaidah 1436 H). Hadratussyekh juga datang memberikan tausiyah dan memaparkan kondisi terkini umat Islam.


Menurut Ayung Notonegoro (2024), setelah selesai acara di masjid, dilanjutkan dengan pertemuan khusus di rumah Habib Muhsin bin Hasan al-Saqaf di utara masjid. Rapat khusus di rumah Habib Muhsin itu diikuti 150 ulama. Akhirnya menyepakati susunan PCNU Jombang periode pertama.


Di jajaran mustasyar, disetujui nama Hadratussyekh dan Habib Muhsin bin Hasan al-Saqaf. Pada jajaran syuriah, ada nama KH Anwar Alwi Paculgowang sebagai rais dan Kiai Abdullah Mashum menjadi wakil rais. Sedangkan Kiai Mashum Kwaron menjadi katib dan Kiai Bisri Syansuri Denanyar jadi wakil katib. Anggota jajaran a'wan tercatat nama Kiai Yaqub Sambong, Kiai Abu Ahmad Jelakombo, Kiai Abdul Rouf Jagalan, Makh, Umar Said, Shodiq dan Hasbullah Denanyar.


Pada jajaran tanfidziah, ketua dijabat H Asyari dengan wakilnya H Sofwan. Sekretaris dijabat Suratman, wakil sekretaris Mashudi, bendahara H Yusuf, wakil bendahara H Syukron, semuanya dari Kauman.


Penunjukkan nama Kiai Mashum bukan sekadar kedekatan dengan Hadratussyekh. Namun lebih kepada kualitas keilmuan yang diakui 150 kiai lainnya yang hadir. Sehingga diharapkan kepengurusan PCNU Jombang periode pertama ini mampu berjalan sesuai harapan.


Di samping mengabdi di PCNU Jombang dan membesarkan Pesantren Seblak, Kiai Mashum juga menjadi direktur (mufatis) Madrasah Salafiyah Syafiiyah Pesantren Tebuireng. Tidak heran jika kemudian Kiai Mashum hilir mudik dari Tebuireng ke Seblak. Itu dilakukan secara istiqamah setiap hari.


Karya Mendunia

Kiai Mashum bukan sekadar karismatik, yang pandai dalam mendidik santri-santri. Namun juga cendekiawan Muslim yang produktif menuangkan ide-ide pemikiran ke dalam bentuk tulisan. Berbagai karyanya berbentuk kitab kuning. 


Selama hidup, Kiai Mashum menulis empat kitab, meski tidak begitu tebal, keempatnya best seller di pasaran. Sebagai karya monumental, banyak orang mengenal kitabnya daripada penulisnya. Bahkan hingga sekarang kitab-kitab itu masih digunakan sebagai rujukan utama di dunia pesantren.


Pertama adalah Fathul Qadir fi al-Ajaib al-Maqadir. Judul ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab ke dalam bahasa Indonesia.  Kedua adalah al-Durus al-Falakiyah. Kitab ini disusun secara sistematis dan konseptual menjelaskan tentang astronomi (falak). Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari dan sebagainya. 


Ketiga adalah Badiah al-Mitsal fi al-Hisab al-Sinin wa al-Hilal. Kitab ini disusun setelah Kiai Mashum memperoleh inspirasi saat beribadah haji di tahun 1919. Tepatnya setelah mengobrol dengan nelayan dalam perjalanan.


Keempat adalah al-Amtsilah al-Tashrifiyah. Menurut Djunaidatul Munawaroh (2011), menggolongkan kitab ini ke dalam ilmu sharaf pada jenjang menengah yang amat terkenal di Nusantara, bahkan di luar negeri. Kitab ini dicetak dalam ukuran besar dan ukuran buku saku. Tebalnya sekitar 60 halaman. Susunannya sistematis, sehingga mudah dipahami dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia atau di luar negeri banyak menjadikan kitab ini sebagai rujukan primer.  


Para santri yang hendak menguasai ilmu sharaf, biasanya diharuskan menghafal kitab ini. Karena pengarangnya berasal dari Jombang, kitab ini sering juga disebut dengan Tashrifan Jombang. Penerbit kitab ini ada dua, yaitu Salim Nabhan Surabaya di tahun 1950-an dan Alawiyah Semarang. Namun, setiap terbitan juga memuat kata pengantar yang ditulis oleh Prof Saifuddin Zuhri, menteri agama pada masa akhir Orde Lama.


Hingga sekarang, kitab ini masih dijadikan referensi dalam halaqah-halaqah di Masjid Al-Azhar Kairo Mesir. Menurut Nadhif Fuaduddin (2018), alumni Universitas Al-Azhar Kairo, banyak mahasiswa di sana yang juga mengikuti pengajian dengan sistem halaqah. Biasanya pengajian itu dibedakan berdasarkan bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits, fikih, bahasa Arab dan sebagainya. Kitab Amtsilah Tashrifiyah ini masuk dalam bidang keahlian bahasa Arab, tepatnya ilmu sharaf


Keunikan kitab ini tidak hanya terletak pada ilmu sharaf. Jika diteliti, ternyata sistematikanya memuat makna filosofi yang sangat tinggi. Kitab ini bukan saja memiliki sistematika penulisan yang unik. Namun memiliki filosofi pengajaran perilaku kehidupan. Salah satu contoh bisa dilihat, pada fiil tsulasi mujarrad misalnya, dalam enam kalimat yang disebut ternyata mengandung filosofi kehidupan. 


Keempat kitab tersebut merupakan peninggalan yang berarti sekali dalam menambah khazanah keilmuan pada peradaban Islam. Terutama dalam rangka mendidik kader-kader Islam yang tangguh dan mampu meneruskan cita-cita Kiai Mashum. 


*Penulis adalah Kepala Literacy Center LTN PWNU Jawa Timur 


Tokoh Terbaru