• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 2 Mei 2024

Tokoh

KH Wahab Chasbullah, Ulama Pencetus Halal Bihalal

KH Wahab Chasbullah, Ulama Pencetus Halal Bihalal
KH Wahab Chasbullah sosok ulama yang memelopori istilah Halal Bihalal. (Foto: Dok NU Online)
KH Wahab Chasbullah sosok ulama yang memelopori istilah Halal Bihalal. (Foto: Dok NU Online)

Istilah Halal Bihalal sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, terutama yang beragama Islam. Bahkan, Halal Bihalal kini menjadi tradisi yang pasti ada ketika momen Hari Raya Idul Fitri.


Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh salah satu ulama asal Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang bernama KH Wahab Chasbullah. Ulama yang juga salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU).


Dalam artikel di NU Online yang ditulis Fathoni, dikisahkan bahwa awal mulanya, pada era revolusi tahun 1948, tepatnya bulan Ramadhan 1367 H, Bung Karno mengundang KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan sarannya terkait situasi politik Indonesia yang tidak sehat kala itu.


Kemudian, KH Wahab Chasbullah menyarankan untuk diadakan silaturrahim dengan para tokoh negara. Karena pada saat itu menjelang hari raya Idul Fitri, momen umat Islam saling bersilaturahim. Namun, Bung Karno menghendaki istilah lain selain silaturrahim untuk menamakan agenda tersebut.


"Silaturrahim kan biasa, saya ingin istilah lain," ucap Bung Karno. 


"Itu gampang,” ujar Kiai Wahab. "Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah Halal Bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.


Atas saran KH Wahab Chasbullah, semua tokoh politik Indonesia kala itu diundang ke Istana Negara pada Hari Raya Idul Fitri, untuk bersilaturahim dengan tajuk Halal Bihalal.


Akhirnya, tokoh politik Indonesia tersebut dapat berkumpul di satu tempat yang sama dalam keadaan hati yang lapang, dan mulai membuka babak baru untuk menyusun persatuan dan kesatuan bangsa.


Sejak saat itu, Halal Bihalal menjadi tradisi saat lebaran hingga kini.


Tradisi tersebut merupakan cerminan akan kepedulian seorang kiai terhadap persatuan negara. KH Wahab Chasbullah, dengan keilmuannya mampu menemukan istilah yang sesuai untuk digunakan di masa konflik politik saat itu.


Kini, Halal Bihalal yang dipraktikkan oleh umat Islam Indonesia lebih dari sekadar memaknai silaturahim. Tujuan utama Kiai Wahab untuk menyatukan para tokoh bangsa yang sedang berkonflik menuntut pula para individu yang mempunyai salah dan dosa untuk meminta maaf kepada orang yang pernah disakiti dengan hati dan dada yang lapang.   


Begitupun dengan orang yang dimintai maaf agar secara lapang dada pula memberikan maaf sehingga maaf-memaafkan mewujudkan Idul Fitri itu sendiri, yaitu kembali pada jiwa yang suci tanpa noda bekas luka di hati.


Dengan demikian, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. 


Jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.


Karena Islam mengajarkan untuk saling memaafkan dan meminta maaf kepada orang lain, makna silaturrahim juga memuat tentang penyesalan atas perbuatan, berjanji dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan yang salah, serta memohon maaf dan memberikan hak kepada orang yang pernah dizalimi.


Apabila hak tersebut berupa materi, maka harus dikembalikan dalam bentuk materi. Namun, jika hak tersebut berupa bukan materi seperti pernah berbuat salah dan zalim, kesalahan tersebut harus dijelaskan kepada orang yang dimohonkan maafnya.


Tokoh Terbaru