• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Selasa, 30 April 2024

Tokoh

KH Mahsun Adnan, Kiai Kayangan Penuh Kenangan

KH Mahsun Adnan, Kiai Kayangan Penuh Kenangan
KH Mahsun Adnan. (Foto: Istimewa)
KH Mahsun Adnan. (Foto: Istimewa)

Oleh: Mukani*

Sosok Kiai Mahsun bernama lengkap KH Muhammad Mahsun Adnan. Dia lahir di Dusun Nglaban Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang tanggal 3 Maret 1942. Ayah Kiai Mahsun bernama KH Adnan. Aslinya orang Nglaban yang menikah dengan Nyai Naimah dari Desa Kayangan. 


Jejak pengabdian Kiai Mahsun masih mudah dijumpai di Desa Kayangan. Mulai masjid, TPQ, pengajian rutin ibu-ibu hingga madrasah ibtidaiyah (MI). Termasuk pengabdian di organisasi PAC GP Ansor dan MWCNU Diwek.


Sosok Sederhana

Pendidikan awal Kiai Mahsun langsung dari kedua orang tuanya. Pendidikan dasar Kiai Mahsun dimulai dari menimba ilmu di Pondok Tebuireng lalu ke Pendidikan Guru Agama (PGA). Pendidikan tinggi diperoleh dari kampus Univesitas Darul Ulum (Undar) Jombang. 


Selama menimba ilmu, guru Kiai Mahsun yang paling berpengaruh adalah KH Adlan Ali dari Pondok Walisongo Cukir dan Gus Tohari dari Dusun Brasut Mojowarno. Pengaruh ini tidak hanya ketika menimba ilmu. Namun juga model perjuangan saat berdakwah mengembangkan agama Islam di Kayangan. Terutama dalam menghadapi masyarakat yang beraneka macam.


Kiai Mahsun menikah dengan Nyai Siti Ismihah. Perempuan asli dari Dusun Klepek Desa Sukoiber Kecamatan Gudo. Saat menikah, usia Kiai Mahsun sudah menginjak 42 tahun. Dari pernikahan ini, menurut Akhmad Sauqi Ahya, Kiai Mahsun dikaruniai lima anak. 


Periode awal berumah tangga, Kiai Mahsun mengontrak rumah di selatan bekas stasiun Cukir. Sedangkan bekas stasiun itu sendiri juga dikontrak Kiai Mahsun untuk membuka usaha jasa penjahitan baju. Lalu keluarga Kiai Mahsun, menurut Abdur Rokhim, pindah tempat tinggal ke rumah Kayangan.


Setelah menimba ilmu dari kampus Undar Jombang, Kiai Mahsun kemudian mengabdikan diri dengan menjadi guru. Statusnya saat itu adalah pegawai negeri sipil (PNS) dari Departemen Agama Republik Indonesia. Kiai Mahsun ditugaskan mengajar di MI Al-Adnani Kayangan hingga pensiun. Setelah pensiun, menurut Muhammad Aminuddin, Kiai Mahsun masih aktif mengajar di MI Al-Adnan hingga wafatnya. 


Babat Alas

Kiprah dan perjuangan Kiai Mahsun dimulai beberapa bulan setelah peristiwa G/30S/PKI/1965. Tepatnya di tahun 1967, Kiai Mahsun membentuk kepengurusan Muslimat NU Ranting Kayangan. Hal ini menjadi kesan tersendiri, mengingat Kiai Mahsun saat itu sudah berkiprah secara aktif di MWCNU Diwek. 


Diceritakan oleh Suyatno, Modin Desa Kayangan, jamaah pengajian bagi ibu-ibu itu hingga sekarang masih aktif berjalan. Meski pada awal berdiri, anggotanya hanya enam orang.  


Teman seperjuangan Kiai Mahsun ini menambahkan bahwa kiprah almarhum berawal dari pendirian masjid Al-Adnani di barat rumahnya. Awalnya masjid itu masih berupa mushala Al-Qomar yang diresmikan oleh KH Adlan Aly Cukir. Baru sekitar tahun 1972-1973, bangunan itu diubah menjadi sebuah masjid. 


Perubahan status dari mushala menjadi masjid Al-Adnani ini diresmikan KH Makki Ma’shum dan Bupati Jombang Affandi tahun 1996. Masjid itu kemudian berkembang tidak sekadar menjadi tempat ibadah. Namun juga menjadi pusat kegiatan dakwah dan pendidikan di Desa Kayangan. 


Sejak sekitar tahun 1975-an, lanjutnya, di masjid Al-Adnani itu menjadi semacam pusat pelatihan dan diklat. Kegiatannya rutin seperti qiro’ah, khitobah, diba’an dan samrohan. Pelatihnya Kiai Mahsun sendiri. 


Sedangkan MI Al-Adnani didirikan di tahun 1967. Awalnya bernama MI Darul Hikmah. Gedungnya masih meminjam di SDN Kayangan 1. Sehingga masuknya pada siang hari. Sejak tahun 2009, MI Al-Adnani sudah memiliki gedung sendiri. Lokasinya di selatan Masjid Al-Adnani. 


Perjuangan Kiai Mahsun dalam mengelola madrasah dilakukan secara totalitas. Kiai Mahsun menjadi kepala madrasah sejak berdiri hingga tahun 2001. Gaji PNS yang diambil di KUA Diwek sering digunakan membayar gaji para guru. Termasuk dialokasikan untuk operasional madrasah.


Singa Podium

Aktivitas dakwah Kiai Mahsun di luar dilakukan ke desa-desa sekitar. Bahkan sering juga diundang di beberapa kecamatan tetangga. Teman akrab Kiai Mahsun ketika itu adalah KH Ali Muhajir Tebuireng dan KH Abdul Lathif Bajuri Sumoyono. Bahkan dulu sering Gus Lathif menjadi pengganti (badal) Kiai Mahsun saat berhalangan untuk mengisi acara pengajian. 


Kisah yang belum banyak diketahui khalayak ramai justru diceritakan oleh Akhmad Sauqi Ahya. Menurut menantu kedua Kiai Mahsun ini, pernah suatu ketika malam, sepulang dari pengajian, Kiai Mahsun dan pengantarnya dicegat oleh segerombolan begal. Namun semuanya lari tunggang langgang setelah Kiai Mahsun menunjukkan tinju tangannya. 


Kiai Mahsun sempat aktif di organisasi PAC GP Ansor Diwek. Setelah periode kepengurusan selesai, dirinya tidak melanjutkan masuk ke struktur MWCNU Diwek. Namun untuk kegiatan-kegiatan NU, terutama pengajian-pengajian, Kiai Mahsun adalah sosok yang aktif mengisi. Tidak heran jika kemudian namanya menjadi terkenal, paling tidak di kecamatan Diwek. 


Banyak Kenangan

Kiai Mahsun meninggal dunia pada hari Rabu Pahing tanggal 17 Muharam 1430 H (14 Januari 2009). Setelah lima hari dirawat di RSUD Jombang karena penyakit yang diderita. 


Sebagai tokoh kiai kampung, sosok Kiai Mahsun lekat dalam ingatan warga Desa Kayangan. Modin Suyatno menegaskan bahwa Kiai Mahsun merupakan sosok yang gigih, ulet dan akas dalam berkiprah. Meskipun diantar naik sepeda ontel tetap memberikan pengajian ke mana-mana.


Bagi Abdur Rokhim, sosok Kiai Mahsun adalah inspirator. Terutama dalam hal menyampaikan ceramah. Termasuk mengabdi ke organisasi NU dan masyarakat secara umum. Dia menilai Kiai Mahsun sebagai sosok yang istikamah dan sederhana. 


Di mata keluarga, terutama anak putra satu-satunya, Aminuddin menegaskan bahwa meninggalnya Kiai Mahsun adalah pukulan dan pengingat buat dirinya secara pribadi. Ini karena kelima anaknya belum ada yang menikah. Sedangkan dirinya adalah anak lelaki satu-satunya dan anak tertua. 


Meskipun variasi orang dalam merespons kegiatan dakwahnya. Meski banyak yang mengikuti dan menerima dakwahnya. Masih ada juga yang merintanginya dengan berbagai bentuk. Namun Kiai Mahsun tidak pernah membalas respons negatif dengan hal yang sama. 


Istikamah Kiai Mahsun juga patut ditiru. Mulai mengelola lembaga pendidikan, TPQ dan MI, hingga mengurus masjid. Bahkan saat sudah sakit parah dan tidak bisa jalan, Kiai Mahsun tetap pergi ke masjid dan MI. Meski harus naik sepeda motor.


Komitmen tinggi ditunjukkan dari sosok Kiai Mahsun bagi kemajuan dakwah Islam, terutama melalui dunia pendidikan. Tidak sekadar retorika melalui lips service. Namun dengan berbagai aksi nyata yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Tidak heran jika kemudian Kiai Mahsun meninggalkan banyak kenangan bagi warga Desa Kayangan.


*Penulis adalah A’wan Pengurus Ranting NU Desa Kayangan, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.


Tokoh Terbaru