KH Hasan Sanusi, Ulama dan Pejuang Islam dari Garut hingga Catakgayam Jombang
Senin, 14 Oktober 2024 | 08:21 WIB
KH Hasan Sanusi adalah seorang ulama dan pejuang terkenal di Jawa Barat pada masanya. Nama asli beliau adalah Aliyasan, atau ada juga yang menyebutnya Ali Hasan, saat berada di tempat asalnya. Beliau lahir pada tahun 1785 M di Garut, Jawa Barat.
Dikenal sebagai sosok progresif, KH Hasan Sanusi adalah seorang pemuda yang garang dan berani melawan penjajah. Pada masa itu, penjajahan Belanda masih berlangsung, termasuk pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada awal abad ke-18.
Menurut Muh Thamrin Bey, salah seorang dzurriyah KH Hasan Sanusi saat diwawancarai menuturkan bahwa KH Hasan Sanusi adalah anak dari keturunan Raden Kian Santang. Ibunya Nyimas Kafiyah dan ayahnya Ali Muhammad. Nyimas Kafiyah putri dari Syekh Nuryayi merupakan ulama besar di Garut, salah satu murid Kiai Muhyidin Pamijahan.
Syekh Nuryayi belum diketahui nama orang tuanya persis. Hanya diketahui bahwa Syekh Nuryayi keturunan Dalem Puspa Girana keturunan dari pager jaya keturunan dari Pangeran Suci atau Rohmat atau Pangeran Rohmat Suci Makamnya di Godog.
Mbah Guru, julukan KH Hasan Sanusi dinikahkan oleh keluarganya dengan istri pertamanya yang bernama Zubaidah, atau dikenal juga sebagai Ambu Waidah. Dari pernikahan ini, mereka memiliki seorang putri bernama Nyimas Enol, yang kecantikannya begitu mempesona sehingga banyak orang yang ingin menikahinya.
Sebelum Nyimas Enol dewasa dan masih kecil, Mbah Guru melarikan diri (uzlah) karena dikejar oleh penjajah Belanda. Dalam pelariannya, Mbah Guru sempat tertangkap di Semarang dan ditawan. Siang hari ia dimasukkan ke dalam rumah tahanan, tetapi malam harinya ia berhasil melarikan diri. Namun, belum jauh dari tempat itu, ia kembali tertangkap. Hal ini terjadi dua kali. Pada penangkapan kedua, Mbah Guru mendapat pertolongan dari warga Keraton Solo dan diamankan di sana. Ada yang mengatakan bahwa saat berada di Solo, ia diberi nama Hasan Sanusi.
Dari Solo, Mbah Guru melakukan riyadhah (latihan spiritual). Dalam riyadhahnya, ia mendapat isyarat untuk melarikan diri ke arah timur hingga sampai di Surabaya. Setibanya di daerah Karanggayam (yang oleh penduduk setempat dulu disebut Karang Menjangan), Mbah Guru membuka lahan baru untuk melakukan syiar agama, karena misi utamanya adalah berdakwah. Sambil menjalani uzlah, ia terus menyebarkan ajaran agama. Latar belakang keluarganya memang dikenal gemar berdakwah.
Tepatnya di Desa Kedung Coeg, Karangmenjangan, Mbah Guru melakukan riyadhah dan mendapat isyarat bahwa perjalanannya masih belum selesai. Beliau diminta untuk bergerak kembali ke arah selatan dan barat. Uzlah beliau berlanjut hingga tiba di Mojoagung, Jombang yang dahulu dikenal dengan nama Rosobo. Di sana, Mbah Guru memulai membuka lahan baru, karena daerah tersebut masih berupa hutan.
Namun, dalam proses tersebut, Mbah Guru kembali mendapatkan isyarat bahwa perjalanannya belum selesai, dan beliau diminta melanjutkan perjalanan ke selatan menuju Desa Karang Minongan. Sebelum sempat membuka lahan di desa itu, beliau kembali mendapatkan isyarat untuk terus bergerak ke selatan. Akhirnya, Mbah Guru tiba di Desa Catakgayam, yang pada awal 1800-an masih berupa hutan belantara. Saat menemukan desa ini, beliau juga menemukan Pohon Gayam yang besar, salah satunya memiliki tangga untuk memetik buahnya.
Tangga tersebut dikenal dengan sebutan “catak,” yang menjadi asal nama desa. Hal ini menunjukkan bahwa Mbah Guru bukan orang pertama yang datang ke Gayam, karena ditemukan makam yang tidak bertuan, namun belum diketahui siapa yang pertama kali sampai ke sana.
Di Desa Catakgayam, Mbah Guru menetap dan membangun sebuah mushala, yang kemudian berkembang menjadi masjid, yang menjadi cikal bakal tempat ibadah di daerah tersebut. Di desa ini, Mbah Guru mendengar tentang seorang ulama besar bernama Pangeran Alif, yang juga dikenal sebagai Tumenggung Wirosobo. Karena itu, Mbah Guru memutuskan untuk menimba ilmu kepada Pangeran Alif. Pada waktu itu, Pangeran Alif sering mendengar tentang Mbah Guru, yang meskipun sudah berusia sekitar 60-an, tetap tekun mengaji.
Setelah menjalani proses uzlah di Catakgayam, Mbah Guru menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji, beliau sowan kepada Pangeran Alif. Pada pertemuan itu, Pangeran Alif menanyakan apakah nama beliau masih Hasan Sanusi. Nama Hasan Sanusi memang lebih dikenal di Gayam, sementara di tempat lain di Jawa, Mbah Guru lebih dikenal dengan nama Aliyasan.
Setelah menunaikan ibadah haji, Mbah Guru dijodohkan oleh Pangeran Alif dengan cucunya, Nyai Ma’idah. Pangeran Alif berencana menikahkan Mbah Guru, karena beliau khawatir Mbah Guru masih belum menikah. Meskipun Mbah Guru merasa dirinya sudah tua, perjodohan itu tetap dilanjutkan. Nyai Ma’idah pun bersedia menjadi istri Mbah Guru.
Dari pernikahan tersebut, Mbah Guru dan Nyai Ma’idah dikaruniai tujuh anak, yaitu: Abdul Rohman, Nyai Aqimah, Khoirumah, Sakinah, Moh Thoyyib, Utsman, dan Hasan Tuba.
Misi utama KH Hasan Sanusi adalah menyebarkan ajaran Islam. Metode yang beliau gunakan untuk berdakwah adalah dengan cara berkeliling, yang dikenal sebagai jaulah. Kaum jaulah biasanya datang ke suatu tempat, tinggal bersama masyarakat setempat selama satu hingga dua malam, makan bersama, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Cara ini tidak hanya untuk berdakwah, tetapi juga untuk menghilangkan jejak, mengingat beliau melarikan diri dari pengejaran Belanda, dari Garut hingga akhirnya menetap di Gayam, Jawa Timur.
Ketika di Gayam, KH Hasan Sanusi membentengi dirinya karena di sekitar sana terdapat markas Belanda. Untuk menandai batas wilayah perdikannya, Mbah Guru menyebarkan biji kapuk di sepanjang Gayam hingga ke selatan, sampai Mojoduwur. Kapuk tersebut tumbuh menjadi penanda batas wilayah yang beliau kuasai.
Keberhasilan Mbah Guru ditandai dengan pembangunan masjid di Gayam. Selain itu, ia juga berhasil membuka wilayah desa dan mengatur pemerintahan meskipun pada awalnya pemerintahan di Desa Gayam belum resmi diakui. Barulah ketika putranya, Hasan Tuba lahir, mulai ada pemerintahan resmi di desa tersebut, meskipun masih di bawah kendali pemerintahan kolonial Belanda.
KH Hasan Sanusi wafat Kamis Pon, 28 Syawal 1271 H/1849 M. Makam beliau berada di Komplek Pondok Pesantren Darul Faizin Assalafiyah Catak Gayam Mojowarno, Jombang.
*Ditulis oleh Muzdalivah, Mahasiswi Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy) Tebuireng jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
Terpopuler
1
Apakah Tetap Wajib Shalat Jumat Jika Paginya Shalat Id? Ini Penjelasannya
2
Bacaan Takbir Idul Adha Lengkap, Beserta Latin dan Terjemahannya
3
Khutbah Idul Adha: Meneladani Kesalehan dan Keteguhan Keluarga Nabi Ibrahim
4
Jadwal dan Link Live Streaming Timnas Indonesia Vs China
5
Bertepatan Hari Kamis, Pahala Puasa Arafah Jadi Berkali-kali Lipat
6
Berkurban untuk Tidak Korupsi
Terkini
Lihat Semua