Tokoh

Prof KH Ridwan Nasir Mustasyar PWNU Jatim Sosok Komplet, Santri, Kiai, dan Akademisi

Jumat, 17 Januari 2025 | 05:30 WIB

Prof KH Ridwan Nasir Mustasyar PWNU Jatim Sosok Komplet, Santri, Kiai, dan Akademisi

Mustasyar PWNU Jawa Timur, Prof Dr Ridwan Natsir. (Foto: Istimewa)

Prof Dr KH Ridwan Nasir wafat di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari umrah, Rabu (15/1/2025). Lahul Fatihah


Itu adalah informasi yang diunggah Prof Imam Ghozali Said, Guru Besar Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, Rabu (15/1/2025) malam. Pesan itu terus berantai menyebar ke berbagai platform media sosial. 


Penulis yang harus beristirahat total dulu untuk beberapa hari di rumah, seolah tidak percaya. Karena sebelumnya tidak pernah mendengar beliau sakit. Bahkan masih sehat wal afiat saat berangkat umrah.


Berbagai konfirmasi penulis lakukan ke banyak kolega. Akhirnya saat pagi kemarin penulis dirawat di Puskestren Tebuireng, teman penulis mengonfimasi kewafatan beliau dan akan dimakamkan di Pesantren Alif Lam Mim Gayungan Surabaya.


Sosok yang Tekun

Penulis pertama kali mengenal sosok Prof Ridwan lewat organisasi Mahasiswa Alumni Tebuireng di Surabaya (Manteb"S). Kebetulan di tahun 2000, penulis didapuk sebagai wakil ketua. Posisi ketua saat itu dijabat Nurul Hidayati, mahasiswi fakultas ekonomi Universitas Bhayangkara Surabaya.


Saat itu, Prof Ridwan menduduki posisi sebagai Ketua Jurusan Ahwalul Syakhsiyah (AS) di Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sedangkan rektor saat itu masih dijabat Drs H Abdul Jabbar.


Di Manteb'S, Prof Ridwan termasuk sosok alumni Tebuireng yang men-support berbagai program yang disusun. Tentu tanpa mengesampingkan peran para alumni lainnya. 


Maka tidak heran saat Prof Ridwan diangkat jadi rektor IAIN Sunan Ampel tahun 2002, ada semacam kebanggaan dari para alumni Tebuireng.


Terlebih, untuk jabatan guru besar (profesor) di IAIN Sunan Ampel masih bisa dihitung dengan jari. Seingat penulis, di fakultas syariah baru ada Prof Syechul Hadi Permono, Prof Imam Muchlas dan Prof Ridwan Nasir.


Bahkan di fakultas tarbiyah sendiri, tempat penulis berproses, baru punya guru besar di tahun 2002 yaitu Prof lmam Bawani. Itu suatu prestasi yang menginspirasi bagi kami alumni Tebuireng yang masih junior.


Dalam berbagai pertemuan, meski sekilas, Prof Ridwan masih mengingat wajah saya sebagai pengurus Manteb'S. Meski lupa namanya. 


Itu terjadi hingga tahun 2003. Saat penulis menimba ilmu di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel. Dengan biaya tentunya beasiswa prestasi Departemen Agama Rl sejak semester pertama. Ini karena jika biaya sendiri, tentu itu mustahil bagi penulis.


Semester pertama dimulai hari Senin, 1 September 2003. Saat itu mata kuliah yang diampu Prof Ridwan adalah Studi Hadits. Rasa penasaran dan antusias menghinggapi penulis karena akan diajar langsung profesor. 


Outline perkuliahan langsung dibagikan. Penulis masih menyimpan outline itu hingga sekarang. Tidak kurang dari 30 referensi kitab kuning yang dijadikan rujukan perkuliahan. Hanya satu rujukan yang berbahasa lnggris. 


Penulis masih ingat, tugas yang diberikan sebagai UAS adalah meneliti para perawi hadits. Penulis kebagian meneliti tokoh Abu Hurairah. Tidak heran jika kemudian penulis harus berjibaku dengan banyak kitab kuning di perpustakaan.

 

Teladan

Ketawadukan Prof Ridwan kepada kiai dan gurunya diakui semua pihak. Setidaknya ini tercermin saat pengasuh Pesantren Tebuireng saat itu (Gus Solah) hendak mendirikan kampus baru di Tebuireng.


Saat itu, Prof Ridwan Nasir menjadi ketua umum lkatan Keluarga Alumni Pesantren Tebuireng (Ikapete). Tim pun dibentuk, Prof lmam Suprayogo (UIN Malang) dan Prof Kacung Marijan (Unair) jadi anggotanya. 


Di samping itu, saat Gus Solah punya ide "mengembalikan" Tebuireng memproduksi ulama hadits, Prof Ridwan turut serta membantu. Realisasinya dengan mendirikan Ma'had Aly yang takhasus di bidang hadits. Istilah Ma'had Aly saat itu belum begitu populer.


Atas inisiatif itu, Prof Ridwan lalu mengutus Prof Djamaluddin Mirri. Nama ini adalah guru besar pertama di bidang hadits pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel.


Pada akhirnya, Prof Djamaluddin ditunjuk Gus Solah jadi Mudir Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng periode pertama. Meskipun dinamika internal tidak semulus yang awal dibayangkan. 


Peristiwa kedua yang penulis mengetahui sendiri ketawadukan Prof Ridwan saat mengikuti promosi doktor. Promovendus yang diuji adalah KH Isrofil Amar, ketua PCNU Jombang ketika itu. 


Sebelum menguji, Prof Ridwan mengatakan bahwa dia hanya menjalankan tugas untuk menguji. Apalagi posisinya saat itu rektor IAIN Sunan Ampel.


Meskipun KH Isrofil Amar adalah guru Prof Ridwan saat di PGAN Jombang. Jadi, kata Prof Ridwan, dia akan berdosa jika tidak meluluskan sang promovendus.


Ya, meski sudah jadi pejabat, Prof Ridwan tidak melupakan siapa saja guru-gurunya. Itu adalah karakter khas santri yang tetap melekat. Meskipun dirinya sudah mencapai puncak sebagai akademisi, jadi rektor dan profesor. 


Kesederhanaan sebagai ciri lainnya santri juga terus ditampilkan. Rumahnya juga tetap di Gang Lebar. Sebuah jalan yang tidak selebar namanya. Lokasinya di timur kampus UINSA sekarang. 


Prof Ridwan sudah memberi teladan, bahwa santri bisa berkontribusi bagi kemajuan negeri. Terutama mencetak penerus bermutu demi kemajuan bangsa dan agama. Meski tidak meninggalkan karakter-karakter santri itu sendiri.

 

*Mukani, A'wan Ranting NU Desa Kayangan Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang