Syariah

7 Hal terkait Idul Adha yang Perlu Diketahui

Senin, 2 Juni 2025 | 13:00 WIB

7 Hal terkait Idul Adha yang Perlu Diketahui

Ilustrasi Idul Adha. (Foto: NU Online Jombang)

Idul Adha adalah peringatan yang diadakan tiap tahun oleh umat Islam pada tanggal 10 Dzullhijjah. Pada bulan Dzullhijjah ini, kaum Muslimin yang mampu, melaksanakan ibadah haji. Berikut tujuh hal terkait Idul Adha:


1. Napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail


Umat Islam memang selalu meneladani Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Nabi Muhammad sendiri adalah keturunan Nabi Ibrahim dari jalur nabi Ismail. Sementara Nabi Musa dan Nabi Isa adalah keturunan Nabi Ibrahim dari jalur Nabi Ishaq. Ketiga agama samawi, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam, bermuara pada Nabi Ibrahim yang berjuluk bapaknya para nabi (abul anbiya')


Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail selalu disebut oleh Rasulullah dalam bacaan tahiyat akhir. Bacaannya disebut dengan shalawat Ibrahimiyah. Yang berisi permohonan pada Allah, agar diberi rahmat dan berkah sebagaimana yang telah diberikan pada Nabi Ibrahim. Lafal kamaa shollayta 'alaa Sayyidina Ibroohiim wa'ala aali Sayyidina Ibrohim, selalu dibaca kala tahiyat akhir dalam shalat.


Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim adalah teladan, role model, bencmark yang patut ditiru seluruh umat Islam. Baik perjuangan, pengorbanan, keberanian, keteguhan maupun kesabaran Nabi Ibrahim.


Momen Idul Adha sendiri adalah napak tilas fragmen kehidupan Nabi Ibrahim ketika diperintah oleh Allah untuk menyembelih Nabi Ismail putranya. Peristiwa ini disebutkan oleh Allah dalam QS Ash-Shoffat ayat 102 hingga ayat 107. 


2. Semangat berkorban dan pasrah pada Allah


Ketika Allah perintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail, Nabi Ibrahim dilanda kebimbangan. Apakah ini benar-benar perintah Allah. Nabi Ibrahim pun meminta pendapat dari Nabi Ismail. Putra yang dinanti sekian lama. Hingga berusia 86 tahun, barulah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar istrinya dikaruniai putra.


Meminta pendapat dari anak adalah satu pendidikan parenting yang baik. Orang tua tidak memutuskan suatu hal terkait anak secara otoriter. Di sini terjalin komunikasi yang baik antara Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. 


Nabi Ismail pun menunjukkan kematangan berpikir dan keteguhan akidah. Buah dari pendidikan yang baik dari orang tua. Nabi Ismail menjawab bahwa bila ini memang perintah Allah, maka mari dilaksanakan. Nabi Ismail pun menenangkan ayahnya dengan berkata bahwa Nabi Ismail sabar menjalaninya. Di sinilah letak kesuksesan Nabi Ibrahim mendidik putranya, kader penerus perjuangan sang ayah. 


Betapa banyak ayah membangun,
Namun anak turun pula yang meruntuhkan.


Betapa banyak ayah berjuang,
namun anak keturunan tak dapat meneruskan.


Semangat berkorban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bisa disarikan pada kalimat "Jika ini memang untuk Tuhan, apa lagi yang perlu dipikirkan".


3. Disunnahkan melaksanakan shalat Id


Umat Islam diusahakan melaksanakan shalat Idul Adha. Pelaksanaannya sebagaimana shalat Idul Fitri dilakukan berjamaah dua rakaat dengan tujuh takbir setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama. Dan lima kali takbir setelah takbir intiqal, pada rakaat kedua. Dilanjutkan dengan khutbah. Biasanya membahas tentang spirit pengorbanan, mendekat pada Allah (taqorrub), menyembelih hewan sebagai perlambang menyembelih sifat-sifat hewan (bahimiyah) pada diri manusia. 


Disunnahkan mandi sebelum pergi ke tempat pelaksanaan shalat 'Id. Di daerah-daerah di Indonesia, setelah pelaksanaan rangkaian shalat Id biasanya ditutup dengan tahlil dan makan bersama. Lalu dilaksanakan penyembelihan hewan kurban.


4. Disunnahkan puasa Tarwiyah dan Arafah


Pada bulan Dzullhijjah, disunnahkan berpuasa. Bahkan sejak tanggal 1 Dzullhijjah. Kesunnahan berpuasa ini lebih disunnahkan pada hari Tarwiyah tanggal 8 Dzullhijjah dan hari Arafah tanggal 9 Dzullhijjah. Rasulullah memotivasi bahwa yang melaksanakan puasa ini, dosanya (berupa dosa kecil) akan diampuni hingga setahun ke depan. Dalam Islam, tidak ada hari raya yang tidak didahului puasa. Seperti Idul Fitri yang didahului puasa Ramadhan. Tiada perayaan tanpa pencapaian.


5. Disyariatkan bertakbir


Takbir merupakan perwujudan mengagungkan Allah. Tidak ada yang menyamai, yang menyaingi, maupun yang sebanding dengan Allah. Takbir Idul Adha dilaksanakan mulai maghrib masuk tanggal 10 Dzullhijjah. Saat itu, jamaah haji mulai bergerak ke Muzdalifah guna mengumpulkan batu untuk melempar jumrah keesokan harinya di Mina. Sebelumnya di hari Arafah, seluruh jamaah haji berkumpul melaksanakan wuquf di padang Arafah. Dengan Jabal Rohmah di tengah-tengahnya.


Pelaksanaan takbir Idul Adha berlangsung secara bersambung mulai maghrib hingga pelaksanaan shalat Id pagi harinya. Setelah itu takbir tetap dilangsungkan, setiap selesai shalat hingga akhir ashar hari tasyrik tanggal 13 Dzullhijjah.


6. Semangat kepekaan sosial


Ibadah kurban memang murni ibadah mahdhah. Semata-mata melaksanakan perintah Allah. Namun hikmah di balik ibadah kurban, juga berdimensi hablun minan naas. Kurban bermakna taqirrub ilallaah sekaligus rela berkorban, menyisihkan sedikit harta untuk menyembelih hewan kurban. Dagingnya dapat dinikmati pula oleh fakir miskin.


Boleh jadi mereka selama setahun penuh baru merasakan makan daging, memenuhi kebutuhan protein hewani, saat momen Idul Adha. Idul Adha adalah momentum mengasah kepekaan kita.


7. Perlambang menyembelih sifat kehewanan pada diri manusia


Manusia memiliki sifat-sifat kebinatangan (bahimiyah) yang perlu dihilangkan. Sifat seperti rakus, menang sendiri, tega, kasar, main kekerasan, sebagaimana yang ada pada dunia hewan, perlu untuk dihilangkan. Caranya dengan berkorban. Dilambangkan dengan menyembelih hewan kurban kambing, sapi, kerbau ataupun unta yang telah layak kurban.


Sifat tersebut pantas ada pada hewan. Makhluk yang tidak berakal. Untuk bertahan hidup, kemampuan survival. Namun lain lagi ceritanya bila sifat kebinatangan dimiliki oleh manusia yang berakal budi.


Menyembelih hewan bukanlah perilaku yang tidak berperikehewanan. Dalam Islam, adab menyembelih pun ditekankan. Yaitu dengan pisau yang tajam dan hewan lain tidak melihat penyembelihan yang dilakukan. Semua yang ada di bumi, boleh digunakan secara baik demi kebutuhan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Termasuk menyembelih hewan.


Praktik menyembelih hewan bukanlah praktek klenik. Ini adalah syariat. Bukan dagingnya yang dipersembahkan pada Allah. Namun ketulusan berkurbanlah yang dinilai oleh Allah. Sedang dagingnya, boleh dimakan oleh manusia.


Berkurbanlah, niscaya kita semakin dekat pada-Nya.

 

 

*Akhmad Taqiyuddin Mawardi, Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online Jombang, Pengasuh Pesantren An-Nashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.