Syariah

Tiga Alasan Hukum Islam Menyatakan Sound Horeg Dilarang

Senin, 21 Juli 2025 | 13:12 WIB

Tiga Alasan Hukum Islam Menyatakan Sound Horeg Dilarang

Ilustrasi sound horeg. (Foto: NU Online)

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena penggunaan sound horeg kerap menjadi perbincangan masyarakat. Suara musik yang sangat keras, dentuman bass yang menggelegar, serta suasana bising yang ditimbulkan sering hadir di berbagai acara, mulai dari pesta pernikahan hingga tradisi tahunan. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap sebagai hiburan. Namun, tidak sedikit pula yang merasa terganggu, baik secara fisik maupun psikis. Lantas, bagaimana pandangan Islam terkait fenomena ini?


Persoalan kontroversial seputar sound horeg ini menjadi topik bahasan dalam Forum Bahtsul Masail (FBM) Satu Muharram yang digelar di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, pada 27 Juni lalu. Diskusi berlangsung dalam sesi Jalsah Tsalitsah yang diadakan di lingkungan pesantren tersebut.


Dalam forum tersebut, KH Muchib Aman Aly turut hadir sebagai mushohih, yang bertugas memberikan keputusan serta arahan terhadap hasil kajian dan pembahasan masalah ini. Melalui forum ini, para ulama dan peserta membedah aspek hukum Islam terkait penggunaan sound horeg, khususnya menyangkut dampak dan kemudaratan yang mungkin timbul.


Melansir NU Online, berikut ini adalah uraian dari pertimbangan-pertimbangan hukum yang melatarbelakangi keputusan tersebut.


1. Mengganggu pihak lain


Islam sangat menghargai hak kenyamanan orang lain. Penggunaan sound horeg dengan volume yang ekstrim jelas sangat potensial mengganggu banyak orang. Mengganggu hak orang lain tentu diharamkan dalam Islam, apalagi hanya didasarkan pada hobi dan hiburan segelintir orang.


Dalam sebuah riwayat, Syaikh Musa bin Zain bahkan mengharamkan permainan bola di jalanan ketika suara teriakan para pemainnya mengganggu orang yang sedang beristirahat atau hendak tidur. Maka lebih-lebih lagi jika gangguan itu muncul dari aktivitas yang memang berpotensi membawa banyak kerusakan, seperti sound horeg.


Syaikh Abdullah Baqusyair menjelaskan:


قَالَ مُوسَى بْنُ الزَّيْنِ: وَحَيْثُ ضَيَّقَ اللَّاعِبُونَ بِالْكُرَةِ وَغَيْرِهَا الطَّرِيقَ عَلَى الْمَارَّةِ، أَوْ حَصَلَ عَلَى النَّاسِ أَذًى بِفِعْلِهِمْ أَوْ صِيَاحِهِمْ يَمْنَعُهُمْ سُكُونَهُمْ بِنَوْمٍ وَنَحْوِهِ، أَوْ جُلُوسِ النَّاسِ بِأَفْنِيَتِهِمْ: لَزِمَ أَوْلِيَاءَهُمْ وَسَادَتَهُمْ – بَلْ كُلَّ مَنْ قَدَرَ – زَجْرَهُمْ وَمَنْعَهُمْ، وَمَنْ امْتَنَعَ عُزِّرَ


Artinya, "Musa bin az-Zain berkata: Jika orang yang bermain bola dan semacamnya menyempitkan jalan bagi para pengguna jalan, atau menimbulkan gangguan terhadap masyarakat karena perbuatan atau teriakan mereka yang menghalangi ketenangan seperti waktu tidur, atau mengganggu orang-orang yang duduk di halaman rumah mereka, maka wajib bagi para wali, pemimpin mereka, bahkan setiap orang yang mampu, untuk menegur dan melarang mereka. Siapa yang menolak untuk patuh, harus dihukum ta’zir." (Abdullah Baqusyair al-Hadhrami, Qalaʾidul Jaraʾid wa Faraʾidul Fawaʾid, [Jeddah: Darul Qiblah lil-Tsaqafah al-Islamiyyah, cet. I, 1410 H/1990 M], juz II, hal. 356)


2. Identik dengan kefasikan


Kendati sound horeg tidak mengganggu dalam beberapa kasus, penggunaan sound horeg tetap dihukumi haram karena menjadi simbol yang melekat pada kefasikan (syi'arul fussaq). Sound horeg lebih identik pada konser-konser musik atau hiburan bebas yang identik dengan banyak perilaku kefasikan. Dalam kaidah syari'ah, penggunaan segala simbol atau atribut yang identik dengan kaum fasik haram diadopsi oleh umat Islam.


Keharaman menggunakan identitas fasik salah satunya dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau menjelaskan:


وَيَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ آلَةٍ مِنْ شِعَارِ الشَّرَبَةِ كَطُنْبُورٍ)... (وَاسْتِمَاعُهَا)؛ لِأَنَّ اللَّذَّةَ الْحَاصِلَةَ مِنْهَا تَدْعُو إِلَى فَسَادٍ كَشُرْبِ الْخَمْرِ، لَا سِيَّمَا مَنْ قَرُبَ عَهْدُهُ بِهَا؛ وَلِأَنَّهَا شِعَارُ الْفُسَّاقِ، وَالتَّشَبُّهُ بِهِمْ حَرَامٌ


Artinya, "Haram hukumnya menggunakan alat musik yang menjadi simbol pesta mabuk-mabukan seperti ṭunbur (sejenis alat petik)... dan juga mendengarkannya; karena kenikmatan yang ditimbulkan darinya dapat mengarah pada kerusakan seperti halnya minum khamr, terlebih bagi mereka yang baru saja meninggalkan kemaksiatan; juga karena alat itu merupakan simbol orang-orang fasik, dan menyerupai mereka adalah haram." (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1357 H/1983 M], juz X, hal. 219)


3. Memicu kemaksiatan


Di luar dua poin di atas, penggunaan sound horeg dalam praktiknya dapat memicu banyaknya kemaksiatan. Dalam Islam, segala sesuatu yang dapat memicu kemaksiatan juga dihukumi sebagai kemaksiatan. Imam al-Ghazali menjelaskan:


وَتَحْصِيلُ مَظِنَّةِ الْمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ، وَنَعْنِي بِالْمَظِنَّةِ مَا يَتَعَرَّضُ الْإِنْسَانُ بِهِ لِوُقُوعِ الْمَعْصِيَةِ


Artinya, "Menempuh hal yang berpotensi menyebabkan maksiat adalah suatu kemaksiatan. Yang dimaksud dengan potensi maksiat adalah hal-hal yang dapat membawa seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan." (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyaʾ ʿUlumiddin, [Beirut: Dar al-Maʿrifah], juz II, hal. 324)


Di antara potensi yang bisa muncul dari sound horeg adalah menarik orang lain untuk berjoget yang diharamkan. Dalam praktiknya, sound horeg dapat memicu orang untuk berjoget-joget. Pemilihan lagu yang mengedepankan aspek bass dan dentuman yang menghentak, sangat berpotensi memicu orang-orang yang mendengarnya untuk melakukan gerakan meliuk-liuk yang diharamkan dalam Islam.


Selain itu, sound horeg juga bisa mengundang bercampurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Memandang penggunaan sound horeg sering dilakukan dalam sejumlah event yang menghadirkan banyak orang, maka keharaman lain yang dapat muncul dari kegiatan sound horeg ini adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan. Hal ini jelas membuka celah pada fitnah dan pelanggaran-pelanggaran syari'at lainnya.


Hadratussyekh KH Hasyim As'ari pernah mengritik keras perayaan maulid yang membiarkan campur antara laki-laki dan perempuan. Beliau menjelaskan:


فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ إِذَا أَدَّى إِلَى مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلِ الْمُنْكَرَاتِ وَجَبَ تَرْكُهُ وَحَرُمَ فِعْلُهُ. وَقَدْ أَخْبَرَنِي مَنْ أَثِقُ أَنَّهُ يُعْمَلُ الْمَوْلِدُ بِالْمُنْكَرَاتِ فِي قَرْيَةٍ يُقَالُ لَهَا سَيْوُلَانْ مِنْ أَعْمَالِ مَادِيُوْنَ، يَخْتَلِطُ فِيهِ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ، وَيَلْبَسُ فِي بَعْضِ لَهْوِهِ الشُّبَّانُ مَلَابِسَ النِّسْوَانِ


Artinya, "Ketahuilah bahwa jika perayaan maulid menyebabkan maksiat yang dominan seperti kemungkaran, maka wajib ditinggalkan dan haram dilaksanakan. Seseorang yang saya percaya memberitahukan bahwa maulid dilaksanakan dengan berbagai kemungkaran di sebuah desa bernama Sewulan, wilayah Madiun, di mana laki-laki dan perempuan bercampur, dan dalam beberapa hiburannya para pemuda mengenakan pakaian wanita." (Hasyim Asy’ari, At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashnaʿul Maulid bil Munkarat, [tanpa kota. tanpa penerbit] hal. 8–9)


Dengan mempertimbangkan seluruh aspek di atas, mulai dari gangguan terhadap masyarakat, identitas yang melekat padanya, serta dampak negatif yang ditimbulkan, penggunaan sound horeg dalam acara apapun tidak dapat dibenarkan menurut hukum Islam. Umat Islam dianjurkan untuk menjaga suasana yang mendukung ketenangan, kehormatan, dan kebersihan lingkungan dari kemaksiatan, serta menjauhi segala bentuk aktivitas yang mengarah pada pelanggaran syari’at, meskipun atas nama hiburan atau kebiasaan lokal. Wallahu a'lam.