• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Kiai Nashir The Silent Leader

Kiai Nashir The Silent Leader
KH Abdul Nashir Fattah (Kiai Nashir). (Foto: Istimewa)
KH Abdul Nashir Fattah (Kiai Nashir). (Foto: Istimewa)

Sisi Humanisme

Suatu hari di bulan Ramadhan 2016, selepas khataman Kitab Bukhori di Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang, kami sowan ke Kiai Taufiq pengasuh Pondok Pesantren Sunan Ampel. Kiai Taufiq bercerita seputar jalur sanad kitab Sohih Bukhori (juga Kitab Sohih Muslim) dari Kiai Hasyim Asy’ari. Yang paling penulis ingat dari cerita tersebut ada dua hal, pertama kenapa Kiai Hasyim yang mempunyai sanad Kutubus Sittah, tapi yang dibaca hanya Bukhori-Muslim saja.


Jawabnya karena ketersediaan pasokan kitab. Saat bulan Ramadhan Kiai Hasyim membaca satu kitab hadits sampai khatam. Kalau tahun ini beliau membaca Kitab Bukhori, berarti Ramadhan tahun depan membaca kitab Muslim. Setelah usai membaca kitab Muslim, mestinya yang dibaca adalah Sunanut Turmudzi. Namun karena kitabnya tidak tersedia dalam jumlah besar di toko kitab, tahun depannya kembali membaca Kitab Bukhori. Begitu seterusnya.


Kedua, ketika kami tanyakan apakah benar Kiai Hasyim hafal Kutubus Sittah sehingga beliau mendapat gelar Hadratussyekh. Sepanjang yang penulis ingat, Kiai Taufiq menandaskan cerita di atas, bahwa yang dikaji Kiai Hasyim hanya Sohih Bukhori dan Shohih Muslim dari Kutubus Sittah, karena permasalahan stok kitab. Kiai Hasyim kalau ngaji Kitab Hadits itu yang ikut hingga ratusan santri, dari seluruh penjuru Indonesia. Pada zaman itu, di Indonesia baru Kiai Hasyim lah yang mengkaji kitab hadits secara serius. Sanadnya dari Syeih Mahfudz At-Turmuzi yang beliau dapatkan sewaktu belajar di Makkah.


Ketika sedang gayeng-gayengnya ngobrol, tiba-tiba KH Abdul Nashir Fattah (Kiai Nashir) datang seorang diri, duduk di sebelah pintu, di jarinya terselip sebatang rokok. Penampakannya tidak menujukkan sama sekali bahwa beliau adalah sosok kiai yang menjadi jawara batsul masail di dunia maya di tahun 1990-an, saat insan pesantren banyak yang belum akrab dengan dunia maya. Kedatangan beliau membuat semuanya tertegun, apalagi datangnya hanya mengendarai sepeda motor. Ternyata memang Kiai Nashir sering mak bedunduk datang ke Kiai Taufiq. Kedekatan Beliau berdua terjalin sudah sejak lama. Apalagi malam itu di penghujung Ramadhan, saat pengajian kitab kuning di pesantren-pesantren sudah banyak yang selesai. Rupanya Kiai Nashir pingin refreshing, setelah hampir satu bulan mbalah kitab.


Kiai Nashir lalu ikut menjawab pertanyaan di atas. “jangankan Kiai Hasyim, Abah saya dulu waktu ngaji Bukhori saja sudah kayak setengah hafal, karena saking seringnya.” Kata Kiai Nashir. Dalam bayangan saya, mungkin yang dimaksud Kiai Nasir itu seperti Kiai Taufiq waktu mengaji Kitab Bukhori yang baru saja khatam itu. Membacanya cepat, karena 4 jilid tebal-tebal harus khatam sebelum Ramadhan berakhir, tapi cara membacanya sudah seperti nempel di lidah (Jawa: nglambe). Teks hadits yang panjang, yang susah dipahami, bisa dikontekstualkan dengan kalimat pendek dan terbatas, sehingga yang mengaji bisa langsung dapat maksudnya.


Persahabatan Kiai Nashir dengan Kiai Taufiq ini tergambar dari kalimat pendek Kiai Taufiq “Aku lek gak ketemu nggolek i, ndekne yo iyo.” Hingga beberapa bulan sebelum meninggal pada Ahad 28 Agustus 2022, dua Kiai ini akhirnya besanan.


Kepemimpinan di PCNU Jombang

Tahun 2017-2022 penulis menjadi penderek di kepengurusan PCNU Jombang. Sejak saat itu penulis melihat bangunan struktur kepengurusan mempunyai kesatuan gerak yang efektif. Organisasi seperti ini pastilah digerakkan oleh dirijen yang mumpuni dan berpengalaman. Namun siapa? Sebagai pendatang baru penulis masih meraba-raba siapa gerangan orang berpengaruh di tubuh PCNU Jombang. 


Waktu pun terus berjalan, rencana demi rencana organisasi disusun. Seluruh awak PCNU sejenak kemudian tenggelam dalam kesibukan merealisasi rencana-rencana yang sudah dicanangkan. Ada kegiatan yang sifatnya konsolidatif seperti Penguatan Syuriyah dan Lailatul Ijtima’. Ada kegiatan pembangunan fisik seperti pembangunan kantor baru di Mojoagung, serta pembangunan kantor-kantor MWCNU bagi MWCNU-MWCNU yang belum mempunyai kantor. Serta tentu saja kegiatan futuristik bertajuk kemandirian PCNU Jombang, berupa pendirian BMT NU di seluruh MWCNU se-Jombang, pembenahan kinerja RSNU, dan pendirian CV NU Mandiri yang bergerak dalam bidang pertanian. 


Tahun 2017 aset BMT NU Jombang 2,5 miliar, kini di tahun 2022 BMT NU sudah berdiri di setiap kecamatan, serta asetnya sudah mencapai 100 Miliar lebih menuju ke 200 miliar. sedangkan RSNU yang tadinya mampu memberikan deviden 200 juta, kini setelah ditata ditargetkan mampu memberi deviden 1 miliar ke PCNU. CV NU Mandiri yang bergerak di bidang pertanian, juga sudah mulai menemukan pola geraknya, walaupun masih terbilang CV yang newby. Nampak sudah, bahwa kemandirian bagi PCNU Jombang sudah bukan lagi angan-angan, namun sudah menjadi realita, walaupun masih butuh disempurnakan.


Kembali lagi, siapakah dirijen utama derap langkah PCNU Jombang yang demikian itu? Penulis menyaksikan yang sering tampil di permukaan adalah jajaran tanfidziyah, mulai merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, sampai mengevaluasi kegiatan. Jajaran syuriyah memang hadir memberikan advise dan arahan, tapi eksekutor di lapangan didominasi oleh tanfidziyah.


Panulis baru melihat kehadiran Kiai Nashir secara intensif pada saat-saat penting, misal yang masih segar di ingatan penulis adalah persiapan Muktamar NU di Lampung. Kiai Nashir begitu tampak menginginkan pemilihan pucuk pimpinan PBNU melalui proses yang bisa meminimalisir kepentingan-kepentingan pihak luar, yaitu melalui mekanisme musyawarah mufakat, atau Ahlul Halli wal Aqdi (AHW). Mengingat dua mekanisme tersebut terakomodir dalam AD ART. Ketika Kiai Nashir menyampaikan pemikiran tersebut napasnya tersengal, karena batuk yang diderita tak kunjung usai.


Peran segnifikan Kiai Nashir yang tak kalah penting adalah pada saat pembentukan kepengurusan. Beliau mempunyai kriteria tersendiri dalam memilih orang-orang yang duduk di kepengurusan, berdasar pengalaman pada periode-periode sebelumnya. Di jajaran syuriyah dan musytasar sudah barang tentu beliau sendiri yang memilih. Di jajaran tanfidziyah pun harus atas persetujuan beliau, sebagai pemegang otoritas tertinggi. 


Dalam menentukan sebuah pilihan ternyata menurut Kiai Anshori Syehah Tambakberas, Kiai Nashir mempunyai metode istikhoroh yang “unik”, yaitu dengan memejamkan mata, baru dibuka kalau sudah mendapat petunjuk. Sehingga kuat kemungkinan karena sudah merasa mendapatkan orang-orang yang pas, maka Kiai Nashir tidak terlalu ikut campur dalam hal-hal yang bersifat teknis dalam menjalankan roda organisasi.


Mekanisme Konfercab NU Jombang tempo hari adalah buah pemikiran Kiai Nashir yang belum sempurna terwujud. Sebelum beliau drop dan harus dirawat di RS Graha Amerta, beliau berusaha meyakinkan kalau mekanisme Konfercab NU Jombang sebagaimana yang telah terselenggara, bukanlah inisiatif pihak-pihak sebagaimana dituduhkan, tapi atas inisiatif Kiai Nashir sendiri, sebagai upaya meminimalisir cara-cara politik praktis dalam menentukan pemilihan pengurus di level PCNU. Kita melihat Kiai Nashir masih istiqomah dalam pendiriannya, sebagaimana pendirian yang ingin beliau perjuangkan pada ajang Muktamar NU di Lampung. 


Silent Leader tapi Jago Kitab

Kalau kita mencari padanan gaya kepemimpinan Kiai Nashir, ada kemiripan dengan raja Goerge V di kekaisaran Inggris yang digambarkan dalam film The King’s Speech. Kiai Nashir jarang terlihat pidato di depan publik, namun pemikirannya taktis. Arahannya yang disampaikan dalam bahasa minimalis sudah cukup membuat anak buahnya bertindak tanpa perlu membuat tafsir ulang. Karena sekali beliau menjatuhkan pilihan, ya sudah itu, tidak galau untuk tergoda mencoba pilihan lain. Tegas dalam bersikap, luwes dalam bertindak, mungkin itu gambaran yang cocok, mirip dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri Denanyar.


Namun kalau kita mengikuti pengajian-pengajian yang diasuh Kiai Nashir, misalkan saja pengajian kitab al-Ibris setiap Jumat malam Sabtu, maka kita akan leluasa menyelami pemikiran Kiai Nashir. Judulnya pengajian al-Ibris, namun biasanya yang dibaca Tafsir Jalalain, keterangannya diambilkan dari kitab-kitab tafsir yang lain. Pita suaranya yang cenderung ke bariton atau bas, gaya penyampaian yang tenang, serta pilihan diksi yang menggunakan bahasa sehari-hari membuat penjelasannya nyaman nyampai di telinga.


Kiai Nashir dalam mengajar para santri dan jamaah tampil dengan karakter yang sama sekali berbeda dengan ketika di organisasi. Beliau menyampaikan sesuatu yang rigit dan prinsip dalam bahasa yang menyehari agar mudah diterima di hadapan para santri. Sedangkan dalam kepemimpinan di organisasi beliau men-drive dengan bahasa tindakan; datang lebih awal, menyumbang paling banyak kalau ada urunan, tidak berkenan menerima gaji dari RSNU sebagai komisaris, tidak plin-plan dalam bersikap, serta mengikuti perkembangan, baik perkembangan situasi atau perkembangan dunia maya. 


Sugeng tindak kiai, moga-moga kami bisa meneladani panjenengan.


M. Fathoni Mahsun, Wakil Sekretaris PCNU Jombang masa khidmah 2017-2022 


Opini Terbaru