Opini

Tradisi Syawir di Pesantren: Nalar Santri Membangun Budaya Diskusi Ilmiah

Rabu, 21 Mei 2025 | 08:00 WIB

Tradisi Syawir di Pesantren: Nalar Santri Membangun Budaya Diskusi Ilmiah

Bahtsul masail santri Pondok Pesantren Tambakberas Jombang. (Foto: Bahrululum.id)

Syawir merupakan istilah kegiatan musyawarah pelajaran di pesantren. Santri di samping belajar mandiri pelajaran formal madrasah, juga dibiasakan belajar berkelompok terkait ilmu-ilmu kepesantrenan.


Kegiatan syawir di pesantren biasanya dibagi per kelompok sesuai dengan jenjang kelas madrasah ataupun disesuaikan tingkatan kitab yang dikaji. tiap kelompok kecil. Biasanya terdiri dari 6-7 peserta. Berbagai fan atau hanya cabang ilmu dikaji dalam musyawarah di pesantren. Mulai ilmu nahwu, shorof, fiqih, tauhid, manthiq, balaghoh, mustholah hadits, dan juga tafsir. 


Tiap kelompok musyawarah menunjuk ketua syawir yang bertugas memastikan kegiatan musyawarah berjalan dengan efektif sesuai waktu yg tersedia. 


Kegiatan syawir terdiri dari 3 sesi, yaitu:

 
  1. Salah satu membaca kitab dengan suara keras, yang lain menyimak dan membetulkan bila ada kekurangan, salah tarkib ataupun salah makna. sesi 1 ini sekaligus bisa digunakan "nembel"/melengkapi makna kitab bagi mereka yang maknanya belum lengkap.
 
  1. Pesarta syawir yang lain membaca per kalimat secara utuh. Lalu diartikan ke bahasa Indonesia. Hal ini diistilahkan "murodi".
 
  1. Sesi tanya jawab. Pada sesi ini, dimoderatori oleh ketua, semua peserta bisa melontarkan pertanyaan ataupun menjawab sesuai bahasan yang dikaji. dengan mengacu pada referensi tentunya. Peserta musyawarah dibiasakan memiliki landasan ilmiah dalam berpendapat. Sesi tanya jawab yang ilmiah ini, membuat diskusi lebih hidup dan menarik.


Kegiatan syawir terbukti efektif guna meningkatkan pemahaman santri pesantren. Musyawarah kitab menuntut penguasaan terhadap ilmu alat (nahwu dan shorof) serta pemahaman terhadap literatur kitab yang dikaji. 


Imam Muhammad bin Hasan, murid lmam Abu Hanifah, pernah berkata kegirangan, kala memahami ilmu yang sulit dimengerti. Beliau mengatakan "ayna abnaa'ul muluk min hadzihil ladzdzah". Di mana para pangeran, anak raja, kenikmatan yang mereka miliki tidak lebih nikmat daripada mampu memahami ilmu yang sulit dimengerti. Seperti Archimides yang berteriak Eureka, ketika mampu memahami tentang berat jenis dalam ilmu fisika.


Musyawarah memang perkara yang penting. Rasulullah pun diperintahkan Allah untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya. Padahal tidak ada manusia yang lebih bijak dan lebih cerdas daripada Rasulullah. Wa syaawirhum fil amri. Begitu perintah Allah.


Alexander the great pun bermusyawarah dengan para penasihatnya tentang motivasi apa yang sesuai, terkait misinya menguasai belahan bumi barat hingga timur. Ia tidak ingin penguasaan ini hanya sekedar ekspedisi militer biasa.


Seorang cendekiawan haruslah memiliki curiousity. Rasa ingin tahu yang mendalam. Keinginan kuat memahami ilmu. Menghindari diri dari kemalasan bernalar. Meninggalkan musykil yang tidak dipahami. Berusaha hingga mengerti. Mencari muqobalah/referensi pembanding yang dapat memperkaya pemahaman. 


Kiai Abdul Karim Lirboyo menyatakan. "Kitab kui koyo maling, kapan didedes, suwi-suwi yo ngaku". (Kitab itu bila dipelajari terus menerus, pastilah suatu saat akan bisa dipahami).


Forum Musyawarah membiasakan santri lebih berani dan percaya diri dalam kegiatan diskusi ilmiah. Memperkaya wawasan dari pendapat teman diskusi. Tradisi musyawarah membiasakan santri berwatak terbuka (open minded). Mau menerima masukan. Tidak kukuh pada pendapat yang tidak benar. Mau mengikuti pendapat yang kuat dan argumentatif. Tradisi musyawarah mengasah daya nalar dan mempersiapkan santri menjadi kader penerus perjuangan Islam di masyarakat. Santri yang berilmu dan mampu mengamalkan ilmunya. Inilah generasi Robbani.





*Akhmad Taqiyuddin Mawardi, Pengasuh Pesantren An-Nashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online Jombang.