Opini

Mengenang 92 Tahun KH M Ma'shum Ali Wafat: Menyingkap Misteri Pembakaran Foto Diri

Ahad, 23 Maret 2025 | 12:00 WIB

Mengenang 92 Tahun KH M Ma'shum Ali Wafat: Menyingkap Misteri Pembakaran Foto Diri

Pintu masuk Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Seblak yang terletak di Dusun Seblak, Desa Kemarin, Kecamatan Diwek, Jombang (Foto: Muhammad Akbar Darojat Restu Putra)

Sosok KH Muhammad Ma'shum Ali adalah Katib Syuriyah PCNU Jombang masa khidmah pertama sejak didirikan tanggal 14 Dzulqaidah 1436 (4 Mei 1928). Dia santri generasi pertama Pesantren Tebuireng. Ia menikah dengan Nyai Khoiriyah, putri pertama Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari Tebuireng. Keduanya kemudian mendirikan Pesantren Seblak di tahun 1921. 


Tanggal 24 Ramadhan 1351 (8 Januari 1933) adalah hari wafat Kiai Ma'shum. Kiai Ma'shum meninggal dunia karena sakit paru-paru dalam usia relatif muda 46 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks Pesantren Tebuireng.


Wafatnya Kiai Ma'shum adalah musibah bagi Tebuireng dan Seblak. Ini dikarenakan Kiai Ma'shum adalah sosok ulama pertama yang dijadikan rujukan keilmuan di Tebuireng dan Seblak. Tentu setelah Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari.


Selain mengabdi di PCNU Jombang dan membesarkan Pesantren Seblak, Kiai Ma'shum juga menjadi direktur (mufatis) Madrasah Salafiyah Syafi'iyah Pesantren Tebuireng. Tidak heran jika kemudian Kiai Ma'shum hilir mudik dari Tebuireng ke Seblak. Itu dilakukan secara istikamah setiap hari.


Reputasi Dunia

Kiai Ma'shum lahir tahun 1305 H/1887 M. Dia adalah cucu dari KH Abdul Jabbar, pendiri Pesantren Maskumambang Gresik.


Seumur hidup, Kiai Ma'shum menulis empat kitab. Pertama adalah Fathul Qadir fi al-Ajaib al-Maqadir, merupakan kitab pertama di Nusantara yang menjelaskan ukuran dan takaran di Arab ke dalam bahasa Indonesia.


Kedua adalah Badiah al-Mitsal fi al-Hisab al-Sinin wa al-Hilal. Kitab ini disusun setelah Kiai Ma'shum memperoleh inspirasi saat beribadah haji di tahun 1919. Tepatnya setelah mengobrol dengan nelayan dalam perjalanan.


Ketiga adalah al-Amtsilah al-Tashrifiyah yang terkenal sebagai Tasrifan Jombang. Menurut Djunaidatul Munawaroh (2011), menggolongkan kitab ini ke dalam ilmu sharaf pada jenjang menengah yang amat terkenal di Nusantara, bahkan di luar negeri. Menurut Nadhif Fuaduddin (2018), kitab 60 halaman ini masih dijadikan sebagai rujukan primer dalam halaqah-halaqah di Masjid Al-Azhar Kairo Mesir. 


Keempat adalah al-Durus al-Falakiyah. Kitab ini disusun secara sistematis dan konseptual menjelaskan tentang astronomi (falak). Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak masehi dan hijriah, posisi matahari dan sebagainya. 


Tidak heran jika Pesantren Seblak menjadi rujukan ilmu falak sebelum NU mendirikan Lembaga Falakiyah (LF) tahun 1984. Terutama dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Syawal. 


Menurut Ayung Notonegoro (2025), para kiai-santri ahli falak dari Pesantren Seblak berkumpul di dalam wadah bernama Riyadhatut Thalabah. Kiai Ma'shum menjadi tokoh utama dari perkumpulan ini.


Hasil hisab dan rukyah dari Riyadhatut Thalabah kemudian dimuat di Swara Nahdlatoel Oelama. Ini adalah majalah terbitan milik PBNU. Di antaranya adalah edisi No. 6 dan No. 8 Tahun I, 1346 H.


Misteri Foto Diri

Selama masih hidup, di banyak referensi disebut, Kiai Ma'shum hanya memiliki dua foto diri. Salah satunya hilang entah ke mana. Satu foto dirinya lagi konon dibakar sendiri sebelum wafat.


Para keturunan (dzuriyah) Kiai Ma'shum juga tidak ada yang memiliki foto dirinya. Tidak mengherankan jika para penulis tentang Kiai Ma'shum tidak ada yang berhasil memperoleh fotonya. Biasanya tulisan mereka akan dilengkapi karya, istri atau pesantren peninggalan Kiai Ma'shum.


Pembakaran yang dilakukan terhadap foto diri Kiai Ma'shum mengusik penulis tentang motifnya. Berdasar salah satu referensi, disebut pembakaran foto diri itu karena guru sekaligus mertuanya (KH Hasyim Asy'ari) berfatwa bahwa foto diri itu hukumnya haram. Pengharaman didasarkan kepada alasan tasyabbuh, menyerupai tradisi orang kafir Belanda.

 

Pengharaman dilakukan sekitar tahun 1920-an. Kiai Ma'shum sebenarnya tidak mengharamkan foto diri. Namun selaku santri, dia harus tetap menghormati pendapat kiainya. Sehingga diduga pembakaran foto diri Kiai Ma'shum karena berbeda pendapat dengan mertuanya itu.

​​
Foto KH Hasyim Asy'ari diapit KH Jazuli Utsman dan KH Dawam. (Foto: Istimewa)
​

Menurut Moh Faisol (2025), fatwa itu kemudian dicabut (mansukh). Setidaknya hal itu dibuktikan adanya foto KH Hasyim Asy'ari di tahun 1923. Saat itu difoto dan diapit bersama KH Jazuli Utsman Ploso Kediri dan KH Dawam Ngoro Jombang. Lokasinya di studio foto Lie Yok Man Jombang.


Fakta ini juga terjadi dari fatwa pengharaman memakai jas, celana, dan dasi. Keputusan itu akhirnya dicabut tahun 1934. Terdapat bukti foto santri-santri dalam acara kongres pertama ANO, cikal bakal GP Ansor. Lokasinya di daerah Bubutan Surabaya.


Bahkan saat Muktamar NU di Magelang Jawa Tengah, KH Hasyim Asy'ari juga bersedia (Jawa: kerso) berfoto bersama para ulama NU lainnya. Peristiwa itu terjadi di tahun 1939. Lokasinya persis di depan Masjid Agung Magelang. 


Ketiga fakta ini membantah dugaan pembakaran Kiai Ma'shum terhadap foto dirinya sendiri karena pengharaman foto. Dipastikan ada alasan lain yang lebih prinsipil sehingga Kiai Ma'shum melakukan hal itu.

 

Penulis memperoleh petunjuk dari salah satu kiai kampung. Bahwa gambaran wajah Kiai Ma'shum mirip dengan KH Adlan Aly. Nama ini adalah adik kandung Kiai Ma'shum yang kemudian mendirikan Pesantren Wali Songo Cukir, selatan Pesantren Tebuireng.


Petunjuk ini menjadi kompas kecil dalam upaya menghadirkan gambar sosok Kiai Ma'shum. Di beberapa kasus kiai yang tidak ada dokumentasi foto, maka solusinya adalah dibuatkan sketsa. Tentu dengan panduan dan perangkat penunjang yang ketat.

 


 

*Ditulis oleh Mukani, Pengurus Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PWNU Jawa Timur.