Opini

Tidak Ada Feodalisme di Pesantren NU

Senin, 26 Mei 2025 | 11:30 WIB

Tidak Ada Feodalisme di Pesantren NU

Menara Masjid Pondok Pesantren Tambakberas Jombang. (Foto: Istimewa)

Belakangan ini ramai diberitakan adanya perilaku feodalisme di pesantren yang fikrahnya NU. Penilaian semacam ini muncul dari pandangan sebagian orang tentang hubungan kiai-santri dan guru-murid di pesantren NU. Penilaian yang memframing kiai pesantren NU sedang main raja-rajaan. Sambil dibandingkan dengan hubungan ustadz-santri di selain pesantren NU yang terkesan lebih egaliter. 


Nahdliyin memang tidak bisa memaksa pihak lain menilai positif terhadap pesantren NU. Apapun motifnya, penilaian miring terkait pesantren NU tetap perlu diterima, dijawab dan dijadikan pelecut semangat untuk menjadikan pesantren NU sebagai lembaga pendidikan yang makin  berkualitas.


Perlu diketahui, bahwa pesantren yang benar-benar menjadikan ta'lim wat ta'allum sebagai thariqah/manhajul hayat, prinsipnya, tidak menerapkan otoritarian dalam hubungan guru-murid. Yang ada hanyalah penghormatan tulus murni, penuh kesadaran tanpa paksaan, dari seorang murid. Penghormatan yang muncul alami atas haibah/kehebatan/kewibawaan gurunya.  


Selain itu, yang ada hanyalah Ats-tsabaat/keteguhan kiai dan guru dalam mendidik santri dan muridnya. Mengantar sejauh mungkin, menuju titik terdekat keberhasilan.


Guru di pesantren NU mengajarkan murid guna menghormati ahlul ilmi. Namun mereka tidak menuntut murid untuk menghormatinya. Kiai dan guru yang mukhlisin di pesantren NU bukanlah sosok yang gila hormat, haus pencitraan atau memanfaatkan murid untuk kepentingan pribadi. 


Penghormatan murid pada guru adalah konsekuensi logis atas makin banyaknya ilmu yang dipelajari. Penghormatan yang merupakan runtutan dari makin tingginya pemahaman yang didapat.


Bila yang dipermasalahkan, hingga muncul tuduhan feodalisme, adalah murid yang menunduk ketika guru lewat, berjalan membungkukkan badan di depan guru dan kepatuhan mutlak pada kiai; maka kesemuanya bisa di dijawab dengan pendekatan historis dan etis.


Penghormatan kepada ahlul ilmi, telah ada sejak zaman Nabi Muhammad, generasi Sahabat, Tabi'in dan juga salafus sholih.


Akar sejarah ekspresi penghormatan ini, didapatkan dari informasi hadits sahih, maupun kitab-kitab sejarah. Kesemuanya bisa dibuka, dibaca dan dikaji. Terdapat Hadits maupun atsar yang menggambarkan tentang bagaimana para sahabat menunduk di hadapan Rasulullah, seakan ada burung yang bertengger di atas kepala mereka. Bagaimana pula para sahabat berebut berkah dari air sisa wudlu Nabi. Rasulullah melihat hal itu. Dan tidak pula melarang. Menandakan ekspresi kecintaan sahabat pada nabi, bukanlah sesuatu yang terlarang. 


Perkataan Imam Syafi'i terkait adab beliau pada Imam Malik gurunya, pun sudah jamak diketahui. Imam Syafi'i membuka kitab dengan sangat pelan dan hati-hati, khawatir suara gesekan kertas yang dibuka, terdengar oleh sang guru. Adab imam Robi', murid Imam Syafi'i pun tercatat dalam literatur keteladanan. Bagaimana Imam Robi' disuguhi minuman oleh sang guru, namun tetap tidak meminumnya di depan sang Guru. Walau haus dirasakan oleh Imam Robi'. Sebagai wujud ta'zim pada Imam Syafi'i. Cerita tentang penghormatan murid pada guru, sangat banyak dan tidak mungkin disebutkan semua dalam tulisan ini. Silakan membaca kitab tentang sejarah hidup para salafus sholih, seperti Siyarul A'lamin Nubala' maupun Hilyatul Auliya'.


Akar penghargaan kaum santri kepada kiai, bisa ditelusuri dari kitab Ta’limul Muta’allim, yang menjadi pelajaran wajib di berbagai Pesantren NU. Pesantren yang tidak berafiliasi NU pun banyak yang mengkaji kitab ini. Di samping itu, kitab Adabul Alim wal Muta’allim karya Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari, banyak pula dikaji di pesantren. Kedua kitab tersebut menekankan bahwa menghormati guru adalah bagian dari menghormati ilmu.


Dari kenyataan yang telah dipaparkan di atas, yang menafikan sejarah, pastilah akan kehilangan arah.


Penilaian bahwa pesantren NU tidak memberi ruang perbedaan pendapat dalam relasi kiai santri, dapat pula dijawab. Ruang diskusi diberikan dalam forum syawir dan bahtsul masail. Tak jarang pula ijtihad politik kiai berbeda dengan afiliasi politik santri alumni pesantren. 


Terkait ketidakidealan di beberapa pesantren, kumuh, kekerasan seksual maupun relasi kuasa yang melebihi batas, tidak bisa dinafikan. Namun penting untuk dijawab. Tanpa niatan untuk menutup mata, merasa benar sendiri maupun keengganan untuk berubah lebih baik. Ketidakidealan bisa terjadi di pesantren manapun. Bukan hanya di pesantren yang berafiliasi NU. Komitmen transformasi dan bukti perbaikan diri, diharap mampu menghapus citra negatif yang ada pada pesantren NU. 

 
Pembiasaan adab dan akhlak yang dilembagakan dalam aturan protokoler yang mapan di pesantren NU,  penting guna membentengi moral generasi santri. Pada titik di mana kiai begitu dihormati oleh santrinya, di titik itu pulalah para kiai menuntut diri makin menunduk khosyah pada Allah.


Para Kiai pun juga menekankan pada istri dan anak-anaknya, untuk tidak aji mumpung memanfaatkan ketundukan santri pada dzurriyah pesantren. Teringat nasihat yang berulang kali disampaikan Kiai Wahab Hasbullah, Rais Aam NU kedua, kepada putra-putrinya. "Kowe kabeh kudu sregep sinau. Urip iku gak oleh ngandalno kowe anak"e sopo, putune sopo, keturunane sopo. Kabeh kudu ngandalno kepinterane dewe-dewe".



 


*Akhmad Taqiyuddin Mawardi, Pengasuh Pesantren An-Nashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online Jombang.