Mukani
Penulis
Nama Pesantren Tebuireng sudah diidentifikasi oleh kolonial Belanda sebagai penghasil santri yang berani melawan mereka. Terutama nama sang pendiri Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari. Selain dikenal ‘alim, Kiai Hasyim dikenal ulama yang sangat mencintai tanah airnya (wathani).
Jejaring kiai yang disebar Kiai Hasyim, terutama di pulau Jawa dan Madura, tidak bisa dianggap remeh oleh Belanda. Tidak heran jika Kiai Hasyim dipilih sebagai Rais Akbar organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ini sebagaimana yang ditulis Zamakhsyari Dhofier dalam buku 'The Pesantren Tradition' (1980).
Hal ini disadari betul oleh Belanda dalam “berhubungan” dengan Tebuireng. Bahkan Charles Olke Van der Plas, gubernur Belanda untuk Provinsi Jawa Timur (1936-1941), tercatat beberapa kali datang ke Tebuireng. Tujuannya hanya satu, “mengendalikan” Tebuireng agar menghentikan konfrontasi kepada Belanda.
Sepatu Mewah
Ahmad Fuadi dalam buku 'Kenangan Pertempuran Heroik Pelajar Pejoang “TRIP” Jatim di Jombang' (1996) menulis, Van der Plas berkunjung ke Tebuireng. Kedatangannya dikawal sekitar 50 pasukan Belanda. Kejadian itu terjadi pada tanggal 22 Januari 1949 sore hari.
Agendanya membujuk KH A Wahid Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng saat itu. Van der Plas menawarkan agar Tebuireng dijadikan “Daerah Suci” yang netral dari hiruk pikuk peperangan saat itu. Baik pihak tentara Indonesia maupun Belanda dilarang memasuki Tebuireng.
Kedatangan Van der Plas bahkan sudah membawa semacam surat kesepakatan yang tinggal ditandatanganinya bersama Kiai Wahid. Tentu rayuan itu ditolak mentah-mentah oleh Kiai Wahid. Ini karena Tebuireng akan dilarang memproduksi pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Bahkan ketika akan ditangkap, dia menyerahkan secarik kertas kepada adiknya, KH Yusuf Hasyim, yang menjadi komandan kompi Batalyon 39/Condromowo. Isinya saat dia berbincang dengan Van der Plas, KH Yusuf Hasyim disuruh menembak kepala sang gubernur itu.
Namun peristiwa terjadi di luar rencana. Van der Plas ingin berziarah terlebih dahulu ke makam Kiai Hasyim. Tentu dengan melepas kedua sepatunya terlebih dahulu.
Pria berjenggot lebat ini didampingi beberapa pasukannya masuk ke area maqbaroh Pesantren Tebuireng. Belum selesai berdoa, terdengar bunyi tembakan dari luar pondok.
Ternyata itu adalah tembakan dari TRIP yang mengetahui keberadaan Van der Plas di dalam Pesantren Tebuireng. Mereka pun kocar-kacir menyelamatkan diri keluar area pondok.
Beberapa pasukan Belanda bahkan langsung menarik Van der Plas agar menyelamatkan diri dengan berlari ke arah utara menuju Ceweng. Sepatu yang dipakai Van der Plas baru sebelah kanan. Sedangkan yang sebelah kiri raib entah ke mana.
Sebenarnya Van der Plas hendak kembali ke Tebuireng. Tujuannya untuk mencari sepatu sebelah kirinya. Tapi itu dilarang anak buahnya karena situasi sudah tidak kondusif.
Ternyata sepatu sebelah kiri Van der Plas “diamankan” para santri Tebuireng. Dengan polosnya mereka menciumi sepatu berbau harum itu. Tidak hanya satu santri, bahkan banyak santri antre di halaman pondok. Bahkan ketiga anggota TRIP yang sedang berpatroli juga mengikuti “peristiwa aneh” itu.
Sepatu mewah itu memang bukan sekadar yang biasa dipakai tentara Belanda. Sepatu gentelman (herenschoen) berwarna cokelat, terbuat dari kulit lembu yang halus (kalfleer) dan mengkilap. Sepatu itu diciumi secara bergiliran.
Si Nelly
Pasukan Van der Plas yang kocar-kacir tetap dikejar pasukan TRIP. Bahkan sampai ke daerah Ceweng. Tempat anjing herder hitam kesayangan Van der Plas bernama Nelly ditambatkan.
Anjing itu pun akhirnya diambil anggota TRIP. Penanggungjawab pemeliharaannya diserahkan kepada Wihadi alias Gawik. Bahkan di kemudian hari anjing itu menjadi maskot pasukan TRIP.
Dalam beberapa tugas peperangan, Si Nelly membantu TRIP mengendus keberadaan musuh. Sehingga akan memudahkan TRIP dalam mematahkan serangan lawan.
Tapi keberadaan Si Nelly menimbulkan “kecemburuan” di dalam pasukan TRIP. Ini karena menu makanan yang disantap setiap hari seolah njomplang. Anjing herder itu setiap hari makan dengan menu daging. Sedangkan pasukan TRIP hanya makan lauk pauk dari tahu dan tempe. Bahkan sering hanya dengan menu ikan asin.
Saat TRIP demobilisasi, Si Nelly akhirnya diserahkan kepada Komandan Brigade 17. Ini karena kesibukan anggota TRIP yang kembali ke sekolah. Sehingga tidak ada waktu lagi untuk memelihara anjing herder itu.
Disegani Lawan
Dua insiden di atas, sepatu mewah dan Si Nelly, menunjukkan Van der Plas sangat berhati-hati dalam “memperlakukan” Pesantren Tebuireng. Kesalahan sedikit yang dilakukan di lapangan, akan berakibat fatal bagi keberadaan Belanda di Indonesia.
Terlebih saat itu masih dalam masa Agresi Militer. Tentu Belanda tidak ingin memperbanyak musuh. Tapi merayu sebanyak-banyaknya pribumi untuk mendukung agendanya.
Dan, itu gagal total ketika harus berhadapan dengan Kiai Wahid. Meski dia untuk beberapa hari kemudian ditangkap dan dipenjara di Jagalan, markas militer Belanda di Jombang.
Cerita di atas juga menegaskan kepahlawanan Kiai Hasyim tidak hanya diakui sesama bangsa Indonesia. Tapi juga oleh pihak lawan selevel Gubernur Belanda bernama Van der Plas. Dia datang untuk memberi hormat dengan cara berziarah.
*Mukani, Pengurus Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PWNU Jawa Timur
Terpopuler
1
H Shodiqin Utsman, Ketua PRNU Sambirejo yang Aktif Syiarkan NU Itu Wafat di Tanah Suci
2
Khutbah Jumat: Kematian Sering Dilupakan, padahal Pasti Tiba, Saatnya Siapkan Amal Terbaik
3
Sutradara Serial Klasik 'Mak Lampir' Ternyata Pernah Nyantri di Tebuireng dan Seblak, Ini Sosoknya
4
Festival Banjari Santri Expo Jombang 2025 Rampung Digelar, Berikut Daftar Juaranya
5
Fenomena Kemarau Basah: Ini Pengertian, Penyebab, dan Durasinya
6
Kisah Mbah Suro: Sosok Lelaki Sepuh di Balik Kelahiran Bung Karno di Jombang
Terkini
Lihat Semua