Tokoh

Mbah Wahab, Pengasuh Pesantren Tambakberas Generasi IV

Kamis, 22 Agustus 2024 | 19:00 WIB

Mbah Wahab, Pengasuh Pesantren Tambakberas Generasi IV

KH Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab). (Foto: Dok NU Online)

Sebagai putra tertua Mbah Kiai Hasbullah, Mbah Wahab otomatis menjadi pengasuh utama Pesantren Tambakberas, Jombang sejak kewafatan Kiai Hasbullah di tahun 1925. Mbah Wahab sendiri adalah cicit dari Mbah Abdussalam bin Abdul Jabbar, Pendiri Pesantren Tambakberas. Mbah Hasyim Asy'ari juga merupakan cicit dari Mbah Abdussalam. 


A. Mansyur Suryanegara dalam bukunya "Api Sejarah", menyatakan bahwa kewafatan Kiai Hasbullah inilah yang membuat Mbah Wahab tidak bisa menghadiri Kongres Khilafah/Kongres Umat Islam kala itu. Ketidakhadiran Mbah Wahab membuat suara kaum tradisionalis kurang terdengar. Sehingga memutuskan untuk mengirimkan delegasi sendiri menemui Raja Su'ud. Penguasa baru ini cenderung berpaham Wahabi.


Kaum tradisional terpanggil untuk menyuarakan aspirasi agar raja baru ini tidak semena-mena membongkar makam Nabi. Sebagaimana yang telah dilakukan di seantero Hijaz, terhadap makam tokoh yang mereka khawatirkan menimbulkan Takhayyul, Bid'ah dan churofat/klenik. Delegasi besutan Mbah Wahab ini dinamakan Komite Hijaz. Mbah Wahab akhirnya berangkat bersama Kiai Asnawi Kudus dan Syaikh Ghonaim Al-Mishri. Komite Hijaz inilah yang oleh para Kiai didorong untuk diteruskan membentuk organisasi wadah para kiai Nusantara. Memperjuangkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah. 


Kesibukan merintis dan menggerakkan Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU), membuat Kiai Wahab harus berdomisili di Surabaya. Di daerah Kertopaten. Asal dari H. Musa, mertua beliau. Yang hanya berjarak selemparan batu dari tugu pahlawan.


Sejak tahun 1916, Mbah Wahab menjadi perintis dan penggerak tiga organisasi embrio NU di Surabaya, yaitu Madrasah Nahdlatul Wathon beserta cabang cabangnya di berbagai daerah (pendidikan), Tashwirul Afkar (FGD/pemikiran), dan Syirkatul Inan Nahdlatut Tujjar (koperasi/ekonomi). 


Di Surabaya inilah, Mbah Wahab bergaul akrab dengan tokoh nasional dengan berbagai latar belakang. HOS  Cokroaminoto, dr. Sutomo, dan KH. Mas Mansyur,  adalah sebagian tokoh yang intens berhubungan dengan Mbah Wahab.


Pertemuan 40 Kiai NU seantero Jawa yang menghasilkan keputusan pendirian jamiyah NU pun dilakukan di kediaman Mbah Wahab di Kertopaten Surabaya. Dihadiri antara lain oleh Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Syamsul Arifin Asembagus Situbondo, dan Kiai Ndoro Muntaha (Menantu Syaikhona Cholil Bangkalan).


Kesibukan Mbah Wahab makin bertambah, seiring pendirian cabang NU di berbagai daerah. Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) NU secara khusus menugasi beberapa Kiai terkait misi ini. Dalam sebuah wadah bernama Jam'iyatun Nasihin. Pada akhir dekade 1920-an, Mbah Wahab menjadi corong utama pembela amaliyah Aswaja kaum santri tradisionalis. Yang kala itu banyak ditentang kaum fundamentalis/puritan/perkotaan. Tercatat Mbah Wahab pernah pula berdebat dengan Ustad A. Hasaan, tokoh Persis. Baik saat A. Hassan masih di Surabaya, maupun saat telah menjadi tokoh Persis di Bandung.


Kesibukan Mbah Wahab semakin bertambah, kala umat Islam, baik kaum modernis maupun tradisionalis, mulai muncul kesadaran untuk bersatu memperjuangkan  cita-cita bersama kemerdekaan Indonesia. Umat Islam pada paruh 1930-an mulai berhimpun dalam organisasi MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia). Di mana Mbah Wahab merupakan salah satu tokoh representasi NU di dalamnya. Bersama Kiai Dahlan Achyat Surabaya.


Kiai Wahab otomatis harus membagi waktu dan perhatiannya. Antara tugas ke-NU-an dan amanah melanjutkan tongkat estafet Pesantren Tambakberas yang telah berdiri sejak tahun 1825. Seluruh keluarga Pesantren Tambakberas mendukung penuh langkah perjuangan Mbah Wahab.


Mbah Wahab diamanahi tugas menjadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) di tahun 1947 yang membuat Mbah Wahab sering ke Yogyakarta. Ibukota RI kala itu. Juga saat Ibukota telah kembali ke Jakarta.  DPA memiliki tugas yang mirip dengan Wantimpres era sekarang. Memberi nasihat/masukan yang diminta oleh Presiden. Mbah Wahab pernah pula menjadi anggota konstitusnte dan MPRS dari unsur NU. 


Sejak kewafatan Mbah Hasyim Asy'ari tahun 1947, kepemimpinan tertinggi NU dipercayakan kepada Mbah Wahab. Hingga kewafatannya tahun 1971, tepatnya pada Rabu, 29 Desember 1971 (12 Dzulqa’dah 1391 H). Mbah Wahab mengganti istilah Rais Akbar menjadi Rais Aam. Bukti ketawadukan Mbah Wahab kepada Hadratussyekh gurundanya. Istilah Rais Aam ini dipakai hingga sekarang. 


Mbah Wahab pula yang menjadi motor penggerak keluarnya NU dari Partai Masyumi tahun 1952. Dengan ijtihad yang disahkan dalam Muktamar NU di Palembang. Sehingga memiliki legitimasi yang kuat. NU menjadi partai mandiri dan mengikuti Pemilu pertama tahun 1953. NU menjadi partai dengan suara terbanyak ke-3 setelah PNI dan Masyumi. 


Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Berisi tentang pembayaran konstituante dan kembali ke UUD 1945. Dekrit ini dimaksudkan salah satunya untuk menyudahi perdebatan tentang dasar negara antara golongan Nasionalis dan golongan Islam. 


Di masa sesudah Dekrit, Presiden Sukarno menggaungkan Nasakom. Sebuah mimpi untuk menyatukan antara golongan Nasionalis, Agamis dan Komunis. Dalam satu cita-cita besar revolusi. 


Mbah Wahab sebagai pemimpin tertinggi NU mengambil sikap untuk tetap mewarnai pemerintahan. Baik di tingkat eksekutif dengan mengirimkan menteri, maupun di tingkat legislatif dengan mengirimkan utusan NU menjadi anggota DPRS/MPRS bentukan Sukarno.


Langkah akomodatif Mbah Wahab terhadap era Nasakom ini bukan didasari pertimbangan oportunis. Pertimbangan ini semata demi kemaslahatan bangsa dan agama. Perlu tetap ada yang menyuarakan kebenaran di hadapan Presiden. Istilah Mbah Wahab, lebih baik beradu di gelanggang, daripada hanya teriak-teriak di luaran.


Pendekatan ala Mbah Wahab ini terbukti tepat di zaman itu. Bila zaman sekarang NU memilih mengambil langkah tidak mendukung partai politik tertentu, bukan berarti pilihan NU yang kala itu menjadi partai adalah langkah yang salah. Setiap zaman memiliki tuntutannya masing-masing.


Dengan segudang aktivitas dan tugas tersebut, Mbah Wahab membagi waktunya sebagai pengasuh Pesantren Tambakberas.


Di era 1914, Saat Kiai Hasbullah masih hidup, Kiai Bisri Syansuri turut mengajar di Pesantren Tambakberas. Kiai Bisri adalah menantu Kiai Hasbullah. Menikah dengan Nyai Khodijah, adik Mbah Hasbullah. Di tahun 1915, Mbah Wahab mendirikan Madrasah Mubdil Fan di Pesantren Tambakberas. Tahun 1917, Kiai Bisri Syansuri merintis Pesantren Denanyar atas arahan Kiai Hasbullah.


Kiai Wahab di tahun tersebut, mulai banyak berkiprah di Surabaya. Sehingga banyak tertulis dalam dokumen pengurus NU periode pertama, Mbah Wahab ditulis sebagai Kiai Wahab Hasbullah Kertopaten Surabaya. Bukan Tambakberas Jombang.


Kepengasuhan Kiai Hasbullah di Pesantren Tambakberas hingga 1925, didampingi Kiai Abdul Hamid dan Kiai Abdurrohim. Keduanya adalah adik Mbah Wahab. Mbah Hasbullah juga didampingi menantu beliau, Kiai Hasyim Idris (Ayahanda Kiai Fattah) dan Kiai Abdul Muhaimin Lasem (Adik Kiai Baidlowi Lasem). 


Semua putra dan menantu Kiai Hasbullah, bahu-membahu mendukung kepengasuhan Mbah Wahab, setelah era mbah Hasbullah. Hingga akhirnya Kiai Abdurrohim wafat pada tahun 1942, Kiai Hasyim Idris pada tahun 1941, dan Kiai Hamid wafat pada tahun 1956. 


Mbah Wahab sebagai putra pertama Mbah Hasbullah, ditakdirkan berumur panjang. Adik-adiknya wafat terlebih dahulu. 


Budaya Kepemimpinan kolektif di Tambakberas, telah berlangsung lama. Dengan tetap mematuhi keputusan pengasuh utama. Distribusi tugas berlangsung sejak lama. Selama Mbah Wahab berkiprah di tingkat nasional, Mbah Hamid bertugas pada hal terkait pengajian dan kepesantrenan. Sementara Kiai Abdurrohim bertugas mengembangkan Madrasah. Di samping mengaji kitab Shahih Muslim. Kiai Hasyim Idris dipasrahi melanjutkan mengasuh santri yatim, yang telah ada sejak era Mbah Hasbullah.


Setelah Kiai Hamid wafat, Mbah Wahab dibantu oleh Kiai Fattah Hasyim dan keponakan Mbah Wahab lainnya. Putra pertama Mbah Wahab sendiri, Kiai Wahib Wahab, pernah menjabat sebagai Menteri Agama dan Menteri Penghubung Sipil Militer kisaran tahun 1962-1963. 


Tentang Mbah Wahab yang tidak berpangku tangan mengasuh Pesantren Tambakberas di tengah kesibukan tingkat nasional, bisa dibaca di buku biografi Mbah Wahab karya Kiai Saifuddin Zuhri. Juga karya Kiai Abdul Chalim Leuwimunding Majalengka Jawa Barat. Buku berbentuk nadlom/prosa ini memotret dekat sepak terjang aktivitas pergerakan dan perjuangan Mbah Wahab. Kiai Chalim memang orang dekat Mbah Wahab. Beliau menjabat Katib Tsani Syuriyah NU pertama tahun 1926. Di mana Mbah Wahab menjadi Katib Aam-nya. 


Kiai Saifuddin menulis pengalamannya saat ikut Mbah Wahab perjalanan semobil dari Jakarta ke Tambakberas. Mbah Wahab yang baru tiba tengah malam setelah perjalanan panjang, langsung memanggil keponakan-keponakanya. Masing-masing ditanyai tentang perkembangan pesantren. Fungsi controlling dilaksanakan secara efektif oleh Mbah Wahab. Di samping itu, Mbah Wahab tetap mengimami jamaah Subuh dan mengisi pengajian bagi para santri. Di Masjid Pesantren Tambakberas.


Mbah Wahab juga menginisiasi penambahan bangunan masjid dan kamar santri. Mbah Wahab membentuk badan hukum Yayasan di tahun 1965. Di tahun yang sama, Mbah Wahab menyematkan nama Bahruu Ulum di Pesantren Tambakberas. Yang menjadi filosofi pendidikan santri Tambakberas yang diharapkan luas dan mendalam bak samudra. Tahun 1969, Mbah Wahab menerima tawaran Menteri Agama untuk menegerikan madrasah Pesantren Tambakberas.


Tidak bisa dipungkiri, berduyun-duyun santri dipondokkan ke Pesantren Tambakberas atas ketokohan Mbah Wahab. Karisma Mbah Wahab menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri dari berbagai daerah. Daerah Rungkut, Benowo, Gununganyar di Surabaya; Kalanganyar Sedati, Wonocolo, Kedungcangkring di Sidoarjo, Sendang Paciran Lamongan, Bangil Pasuruan, Tajinan Malang, Bumiayu Brebes, Indramayu; adalah contoh daerah-daerah asal santri Tambakberas.


Mbah Wahab wafat 4 hari setelah usianya Muktamar NU di Surabaya tahun 1971. Muktamar terakhir yang beliau ikuti. Tanpa pernah absen satu Muktamar pun sejak pendirian NU tahun 1926. 


Sungguh keikhlasan perjuangan tidak kenal lelah Mbah Wahab, demi agama dan negara, menjadi inspirasi bagi para santri dan keluarga Pesantren Tambakberas. Juga bagi kaum Nahdliyin pada umumnya. Mbah Wahab menjadi hadiah terbesar Pesantren Tambakberas untuk NU dan untuk Indonesia.


*Akhmad Taqiyuddin Mawardi, Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online Jombang, Pengasuh Pesantren An-Nashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.