Hari Prasetia
Kontributor
Rabu Wekasan, atau hari Rabu terakhir di bulan Safar, telah lama menjadi tradisi yang mengakar kuat di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Tradisi ini seringkali dihubungkan dengan keyakinan bahwa pada hari tersebut ratusan ribu musibah diturunkan oleh Allah swt.
Keyakinan tersebut mendorong lahirnya praktik shalat khusus yang dikenal sebagai “shalat tolak bala Rebo Wekasan”. Namun, praktik ini menjadi perdebatan serius di kalangan ulama terkait keabsahannya dalam syariat Islam. Mayoritas fuqaha (ahli fikih) menegaskan bahwa shalat dengan niat khusus Rabu Wekasan adalah bid‘ah, bahkan sebagian menyatakannya haram.
Landasan utamanya adalah ketiadaan dalil syar‘i dari Al-Qur’an maupun Hadits. Dalam NU Menjawab Problematika Umat: Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur (Jilid 1, hlm. 12–17) dikutip fatwa Hadratussyekh KH M Hasyim Asy‘ari yang secara tegas tidak memperkenankan shalat ini, bahkan melarang untuk mengajak atau memfatwakan orang lain melakukannya.
Alasannya, seandainya ibadah tersebut memiliki dasar, niscaya akan tercatat dalam kitab-kitab fikih otoritatif seperti Taqrib, Minhajul Qawim, Fathul Mu‘in, atau At-Tahrir. Ketiadaan rujukan memperkuat posisi hukum pengharaman. Dari perspektif usul fikih, ini selaras dengan kaidah bahwa ibadah mahdhah—ibadah murni seperti shalat—bersifat tauqifi, artinya hanya boleh dilakukan jika ada dalil yang jelas.
Di sisi lain, terdapat pandangan dari kalangan ahli makrifat dan sufi. Mereka meyakini bahwa pada hari tersebut memang diturunkan 320.000 bencana, sebagaimana termuat dalam Mujarrabat Ad-Dayrabi Al-Kabir (Maktabah Tijariyah Asl-Kubra, hlm. 88) karya Syaikh Ad-Dayrabi. Keyakinan ini lahir dari pengalaman batin para ‘arifin billah—mereka yang mendapat ilham melalui mukasyafah (tersingkapnya tabir hati). Namun, ulama fikih dan hadits menentangnya karena dianggap dekat dengan tathayyur (merasa sial karena waktu tertentu), sebuah praktik yang dilarang Nabi saw.
Dalam hadits riwayat Bukhari, beliau bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ
Artinya, “Tidak ada penyakit menular (selain sebab takdir Allah), tidak ada ramalan buruk, tidak ada (kesialan karena) burung hammah, tidak ada (sial di) bulan Safar, dan larilah kamu dari penyakit kusta seperti kamu lari dari singa.” (HR Bukhari).
Hadits ini berfungsi sebagai nasakh (penghapus) tradisi Jahiliyah yang mengaitkan kesialan dengan bulan Safar. Dengan demikian, syariat menegaskan bahwa akidah harus dijauhkan dari takhayul.
Meskipun demikian, para ulama mencari jalan tengah. Buya Yahya, pengasuh PP. Al-Bahjah Cirebon menyatakan bahwa keyakinan tentang turunnya bala di Rabu Wekasan dapat dipandang sebagai ilham para ‘arifin billah (sholih, ‘alim, dan tidak tampak darinya maksiat), bukan sabda Nabi saw. Maka, boleh dipercaya dan boleh pula tidak.
Ustadz Syaifulloh Yazid, Lc., M.A. (Kaprodi Tasawuf Psikoterapi UIN Surabaya) juga menegaskan bahwa hadits tentang “tidak ada kesialan di bulan Safar” merupakan hadits yang bersifat umum. Beliau memaknai hadits ini bahwa tidak ada efek apapun dari bulan Safar kecuali atas izin-Nya.
Ada kalanya Allah menghendaki adanya hukum sebab-akibat (kausalitas) atau sunnatullah di dunia, tetapi Dia tetap yaf’alu ma yasya’ dan yaf’alu ma yurid, bebas melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Jika lazimnya kulit akan terbakar jika mendekati api, maka berbeda dengan kisah Ibrahim. Jika kaidah umumnya man jadda wa jada, maka Allah tetap berhak jika ada orang-orang yang sudah bekerja dengan sangat keras tetapi masih belum dikaruniai harta yang banyak. Jika Allah berfirman bahwa manusia tidak tahu kapan atau di mana ajal menjemputnya. Namun, sebagian hamba yang terpilih juga dibukakan tabir untuk mengetahui tanda-tanda ajal akan menjemputnya.
وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌۢ بِاَيِّ اَرْضٍ تَمُوْتُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ( لقمٰن/31: 34)
Artinya, “....Tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (Luqman/31:34)
Ustadz Yazid juga menjelaskan bahwa shalat tetap bisa dilakukan asal diniatkan sebagai shalat sunnah mutlak atau shalat hajat, bukan shalat khusus Rabu Wekasan. Jika niat shalat hajat, maka hajat spesifik apakah yang dimaksud adalah privasi masing-masing hamba kepada Tuhannya‒hajat menolak bala, membayar utang, menghilangkan kotoran diri, self healing, atau yang lainnya. KH M Djamaluddin Ahmad dalam Ar-Risalah Al-Badi‘ah (hlm. 83), juga mencontohkan dengan niat shalat mutlak, walaupun dalam pengantarnya Beliau seakan “mempercayai” turunnya ratusan ribu bala ketika Rabu Wekasan. Berikut ini niat yang diajarkan oleh Beliau:
اُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى
Artinya, “Saya shalat dua rakaat karena Allah Ta‘ala”
Selain shalat, amalan lain yang jelas dianjurkan syariat adalah membaca Al-Qur’an, berdoa, membaca istighfar, bersedekah, atau amalan-amalan lain yang termasuk ibadah ghairu mahdhah‒ruangnya lebih fleksibel dan banyak ditekankan oleh syariat untuk menolak kemudaratan.
Dengan demikian, titik temu dapat ditarik: umat Islam sebaiknya tidak mengkhususkan shalat Rabu Wekasan karena ketiadaan dalil, tetapi tetap bisa mengisi hari tersebut dengan ibadah yang sahih menurut syariat, seperti shalat sunnah mutlak/hajat, doa, zikir, dan sedekah. Spirit tradisi tetap terjaga, sementara akidah terlindungi dari hal-hal yang mengganggu sebagian orang.
Perlu pula dipahami bahwa persoalan Rabu Wekasan ini masuk dalam ranah furū‘iyyah (cabang agama), bukan pokok akidah, sehingga tidak sepatutnya menjadi sumber perpecahan. Harmoni sosial keagamaan justru wajib ditegakkan, sementara energi spiritual masyarakat dialihkan dari keyakinan yang lemah dasarnya menuju amalan yang jelas dianjurkan Nabi Muhammad saw.
*Hari Prasetia, Lulusan S2 Unhasy Tebuireng, Jombang, Alumni Pondok Pesantren Haji Ya'qub Lirboyo dan MMQ Lirboyo, Kediri.
Terpopuler
1
Amalan Shalat Sunnah pada Rabu Wekasan dan Doanya Dilengkapi Artinya
2
Tampil Kompak dalam Lomba Gerak Jalan, IPNU-IPPNU Mojoagung Sabet Juara Harapan 2
3
Warga di Jombang Gelar Tradisi Barikan, Wujud Mensyukuri Hari Kemerdekaan Indonesia
4
Ritual Baca Yasin di Malam Rabu Wekasan, Begini Pandangan Islam
5
Menimbang Masa Depan Pendidikan Indonesia: Merevitalisasi Sistem Menuju Generasi Emas
6
Mencari Titik Temu Seputar Rabu Wekasan
Terkini
Lihat Semua