Opini

Kiai, Santri dan Politik

Senin, 7 Oktober 2024 | 18:06 WIB

Kiai, Santri dan Politik

Ilustrasi Kiai, Santri dan Politik dalam cuplikan film Sang Kiai. (Foto: NU Online)

Sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat lekat dengan ritual keagamaan baik secara simbolik dan substantif. Sejak pra-kemerdekaan, Kiai merupakan simbol agama Islam yang sangat dihormati dan ditaati, tidak hanya mengajarkan mengenai tuntunan agama, lebih daripada itu tentang pengorbanan dan menumbuhkan perasaan cinta tanah air kepada para santri dan masyarakat sekitar. 


Kiai dan santrinya merupakan aset terbesar bangsa Indonesia dalam perjalanan kemerdekaan secara fisik dan politik. Dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah senantiasa mengiringi pasang surut perjalanan panjang dinamika politik di Indonesia. 


Mulai dari membangun organisasi Islam yang kuat, ikut serta dalam merumuskan dasar negara dalam sidang BPUPKI dan PPKI, bahkan hingga hari ini terus ikut serta dalam membangun dan menjaga Indonesia dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945.


Apalagi, fenomena menarik yang terjadi di kalangan kiai akhir-akhir ini adalah menyangkut keterlibatan mereka di dunia politik praktis, terutama pada musim Pilkada seperti sekarang ini. 


Kiai menjadi sarana dan media penting untuk dijadikan sebagai tim sukses pencalonan tersebut. Fenomena seperti ini sebetulnya bukan hal yang luar biasa untuk konteks dunia politik modern. Apapun yang bisa dilakukan mesti dilakukan demi tujuan yang ingin digapai, karena politik tidak lepas dari persoalan spekulasi dan untung-rugi. 


Jangankan kiai kota, kiai desa pun dijadikan sasaran penting untuk menggolkan maksud dan tujuannya, karena para kiai dianggap memiliki pengaruh besar di masyarakatnya.


Kiai memiliki magnet tersendiri bagi para pemimpin di Indonesia. Soekarno misalnya, yang merupakan Presiden pertama Indonesia sering meminta masukan kepada beberapa Kiai dalam pengambilan keputusan, bahkan ketika hendak menetapkan konsep dasar dalam penyelenggara negara, ia meminta pendapat kepada Kiai terkemuka yaitu Syekh Abbas dan Syekh Mustafa yang merupakan murid dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga guru dari dua pendiri organisasi besar Islam di Indonesia yaitu K.H. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (Nahdlatul Ulama).


Ia juga berteman baik dengan Buya Hamka dan menjadikannya penasihat, serta menganggap seperti saudara sendiri.


Begitu pun dengan Presiden Soeharto sampai Presiden Terpilih hari ini, Prabowo Subianto. Ulama menjadi daya tarik sendiri dalam percaturan politik di Indonesia, terkhusus dalam proses pemilu,


Jika telah datang masa kampanye maka tempat yang tidak akan terlewat oleh seorang caleg sampai capres dan cawapres adalah pesantren, ‘sowan’ terhadap para Kiai dan meminta dukungan untuk ikut mengampanyekan paslon dalam upaya memobilisasi umat Islam dalam fragmentasi tertentu.


Hubungan Kiai, santri, dan masyarakat sekitar diyakini memiliki ikatan yang amat kuat. Ada kalimat yang terkenal dan menjadi pegangan yaitu sami’na wa atha’na yang artinya kami mendengar dan kami menaati. Secara konteks kalimat ini cukup filosofis, karena sering diucapkan kepada santri-santri di pondok pesantren dan para jamaah masjid dalam merapatkan shaff sebelum melaksanakan shalat.


Persoalan keterlibatan kiai dalam berpolitik harus dilihat dalam perspektif relasi antara Islam dan politik sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, dan secara konseptual bersifat polyinterpretable. Bahwa pilihan kiai untuk ikut atau tidak terjun ke dunia politik tergantung kepada persoalan konsep tersebut.


Masalahnya sekarang, Bagaimana seharusnya kiai bersikap dalam politik praktis?


Terlepas dari perdebatan konseptual soal poliinterpretasi terhadap relasi antara Islam dan politik tadi, seharusnya kiai tetap mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar. Tentu dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Amar ma’ruf nahi munkar sebetulnya tugas yang paling utama seorang kiai dalam melakukan transformasi sosial. Di dalamnya menyangkut persoalan penegakan terhadap keadilan, penegakan hak-hak asasi manusia dan demokratisasi, serta perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan segala macam bentuk tirani dan kezaliman. 


Di sinilah sebetulnya kiai harus berperan. Jika konsep demikian ini dipahami, saya kira tidak ada lagi seorang “Kiai” yang mau menjadi tangan panjang penguasa yang korup, yang disebut oleh al-Ghazali sebagai ulama su’ (ulama buruk).


Komitmen kiai terhadap persoalan-persoalan bangsa harus tetap dijaga sebagai bentuk dari sikap ketundukan terhadap Tuhan. Dengan demikian berpolitik adalah menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Nilai-nilai inilah yang harus tegak di dalam setiap masyarakat sehingga jauh dari praktik-praktik KKN. Saya kira Gus Dur benar -secara teoretik- ketika menegaskan, "Bahwa Islam menjadi besar jika mengutamakan politik sebagai moralitas, bukan politik sebagai institusi dan kepentingan pribadi.”


Dan itulah sesungguhnya yang diemban oleh Nabi dalam risalahnya. Apa pun namanya yang dipraktikkan Nabi dalam memimpin umat di Madinah sebetulnya tidak lepas dari urusan penegakan moral tersebut (Innama buistu liutammima husn al-akhlaq).


Pertanyaannya adalah, Bagaimana dengan relasi antara kiai, masyarakat dan penguasa? 


Dalam hal relasi antara masyarakat, kiai dan penguasa, persoalannya sebetulnya ada pada kerja sama antara kiai dan penguasa (ulama dan umara). Jika kerja sama yang dilakukan adalah menyangkut persoalan sosial-kemasyarakatan (keumatan) bukan kolusi dan legitimasi terhadap kemungkaran yang dilakukan penguasa, saya kira justru yang dibutuhkan sekarang ini. Itulah perlunya “reposisi ulama”.


Kiai harus memposisikan diri sebagai kontrol kekuasaan, penyeimbang hegemoni penguasa, dan penegak moral sebagaimana posisi setiap utusan Allah itu, bukan sebaliknya, menjadi broker politik. Jika kesadaran ini terwujud dalam setiap elit agama (kiai), maka kemungkinan untuk mengembalikan citra politik kiai yang selama ini minor akan segera sirna.


*Ditulis Nurul Fikri Al Ikhsan, Pengajar dan Pembina di Pesantren Terpadu Hasbullah Bahrul Ulum Tambakberas