• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Memahami Khittah NU dan Gawe Politik 2024

Memahami Khittah NU dan Gawe Politik 2024
Bendera Nahdlatul Ulama. (Foto: (Foto: muslimoderat.net)
Bendera Nahdlatul Ulama. (Foto: (Foto: muslimoderat.net)

Oleh: Ainur Rofiq Al Amin*

”Mempelajari, apalagi melaksanakan khitah NU adalah termasuk jihad akbar yang tidak akan selesai dalam satu generasi” (Rais Aam PBNU 1984-1991, KH Achmad Siddiq). 

​​​​​​

Gagasan Nahdlatul Ulama (NU) kembali ke khittah timbul dan tenggelam sejak Muktamar ke-23 tahun 1962 di Solo, Muktamar ke-24 tahun 1967 di Bandung, Muktamar ke-25 tahun 1971 di Surabaya, dan Muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang. Pungkasannya, pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo ditetapkan khittah NU dengan pengertian, khittah adalah landasan berpikir, bersikap, dan bertindak warga NU berdasarkan paham Aswaja yang diterapkan masyarakat Indonesia.


Adapun poin penting naskah khittah yang terkait dengan politik adalah, ”NU sebagai jamiyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang” (LTN PBNU 1985, Khittah Nahdlatul Ulama).


Dua Level Interpretasi

Naskah khittah yang terkait politik di atas mempunyai dua level interpretasi. Pertama, interpretasi yang tidak ada perbedaan konklusi antarelite NU, yakni saat khittah ditetapkan, NU bukan subordinat dari suatu partai politik (parpol) karena telah kembali menjadi organisasi keislaman dan kemasyarakatan seperti tahun 1926. Kedua, interpretasi yang ada perbedaan dari para tokoh NU. Dalam konteks ini saya kutip interpretasi KH Muchit Muzadi dan KH Sahal Mahfudz.


Anggota majelis 24 perumus khittah NU dan deklarator PKB, KH Muchit Muzadi dalam karyanya, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran menjelaskan, frase ”tidak terikat” menimbulkan beberapa penafsiran. Penafsiran yang paling populer adalah NU harus menjaga jarak yang sama dengan semua partai. Menurutnya, penafsiran ini tidak salah, tetapi hanya bersifat temporer untuk kampanye pada pemilu di masa Orde Baru yang hanya menghadapi PPP, PDI dan Golkar. Pada Era Reformasi, penafsiran itu tidak perlu dipertahankan secara kaku. KH Muchit menambahi, sebenarnya frase ”tidak terikat” artinya adalah bebas mengambil keputusan tanpa terikat kepada pihak manapun. Kalau diartikan ”harus menjaga jarak yang sama”, maka NU justru terikat.


Mengacu pendapat KH Muchit di atas, implikasi logisnya NU bisa memerintah atau merekomendasikan suatu parpol untuk memperjuangkan aspirasi NU. Kemampuan untuk memerintah malah menunjukkan kekuatan NU yang bisa “mengendalikan”, atau justru “mengeliminasi” suatu parpol. Pandangan KH Muchit tersebut sehaluan dengan taushiyah Muktamar ke-30 NU. Poinnya adalah warga NU bebas dalam berpolitik, tapi supaya mempertimbangkan hubungan historis dengan partai yang berdirinya difasilitasi oleh PBNU. Pengurus NU juga diharap tetap menempatkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan bukan organisasi politik. NU harus tetap kritis pada partai manapun dan mengontrol partai yang dianggap sebagai penyalur aspirasi warganya.


Adapun KH Sahal Mahfudz yang juga anggota majelis 24 perumus khittah NU, dalam karyanya, Nuansa Fiqih Sosial menjelaskan, saat kembali ke khittah, artinya NU kembali kepada jati dirinya sebagai jamiyyah diniyyah ijtimaiyyah mahdlah (organisasi masyarakat keagamaan murni). Sewaktu saya wawancarai pada tahun 2008 tentang pengurus NU yang cawe-cawe seperti pilkada dengan mengatasnamakan aspirasi pribadi, menurut KH Sahal semua itu tidak benar atau telah melanggar khittah.


KH Sahal menegaskan, ”Yang benar adalah diam, tidak mengarahkan, tidak mempengaruhi. Sejak dulu saya tidak pemah bicara soal politik, baik dalam pemilihan presiden atau yang lain, jadi hindari politik praktis.” Lanjut KH Sahal, “Kalau ada masyarakat yang minta petunjuk, dijawab saja, ”Silakan terserah, mana yang baik, saya tidak akan mengarahkan.” Kiai Sahal mengakhiri, “Seharusnya pengurus NU menghindari haI-hal yang berbau politik, Tapi kenyataannya, saat ini banyak pengurus NU dalam masalah pilkada masih menjadi calo politik, itu politik praktis namanya.”


Konsistensi interpretasi khittah KH Sahal ini terafirmasi saat rapat Syuriyah PBNU di Rembang pada 16 Mei 2004. Sebagai Rais Aam yang merupakan pimpinan tertinggi (anggaran rumah tangga pasal 46 hasil Muktamar ke-30), KH Sahal menonaktifkan KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid sebagai pengurus PBNU karena pencalonannya sebagai wakil presiden.


Interelasi Khittah

Harus ditegaskan, interpretasi dari kedua kiai besar di atas tidak menyalahi khittah. Mereka sama-sama benar karena “berkreasi” atau “berijtihad” dalam area yang tidak melanggar khittah. Mereka pasti telah mempertimbangkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU yang berlaku waktu itu.


Walhasil, saat menginterpretasi naskah khittah politik hendaknya dihubungkan dengan AD/ART NU existing, tidak parsial. Apalagi naskah khittah secara keseluruhan sudah dicantumkan menjadi bagian atau kesatuan tak terpisahkan dari AD NU sejak tahun 1999 (lihat pasal 24 AD NU hasil Muktamar ke-30 dan muktamar ke-31; serta pasal 33 AD NU hasil Muktamar ke-32 dan Muktamar ke-33 serta muktamar ke-34). Perspektif adanya interelasi ini akan meminimalisir bahkan menghapus perbedaan interpretasi terhadap khittah politik. Manakala cara menafsirkan khittah dilepas-pisahkan dari AD/ART, bahkan khittah dianggap tidak konkuren dengan AD/ART, maka selama itu pula tidak akan ada meeting point dan melting point pemahaman.


Kalau khittah dan AD/ART sudah dipandang berinterelasi, maka interpretasi khittah politik bisa diarahkan sesuai dengan kebijakan-kesepakatan dengan konsiderans; pertama, tidak melanggar level pertama interpretasi, kedua, dirumuskan dengan lebih detail lalu dituangkan dalam pasal AD/ART NU saat Muktamar. Urgennya AD/ART ini semakin tampak dari hasil Muktamar NU ke-28 (AD pasal 32), Muktamar ke-32 (ART pasal 72) dan Muktamar ke-33 (ART pasal 72) serta Muktamar ke-34 (pasal 73) yang menegaskan bahwa di antara kegiatan Muktamar adalah membicarakan dan menetapkan AD/ART NU.


Lebih dari itu, khittah dan AD/ART adalah produk Muktamar yang sederajat kedudukan hukumnya. Sedangkan Muktamar dalam AD/ART NU ditegaskan sebagai forum permusyawaratan tertinggi organisasi NU. Bahkan saat NU masih menjadi partai, di Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga partai NU tahun 1960 juga dijelaskan, Muktamar adalah kekuasaan tertinggi dalam partai. Hanya dalam Anggaran Dasar NU tahun 1926 kekuasaan yang tertinggi di perkumpulan NU disebut congres yang dalam bahasa Belandanya di pasal 6, “De hoogste macht der vereeniging berust bij het congres van afgevaardigden.” Namun para ulama saat itu biasa menyebutnya dengan Muktamar. 


Kasus Pencalonan Tokoh NU

Saat pilpres 2019 lalu, KH Ma'ruf Amin (sebagai rais amm PBNU) yang digandeng Jokowi dianggap beberapa elite NU melanggar khittah. Mengacu ART hasil Muktamar ke-33 pada pasal 51 ayat 4, 5 dan 6 dijelaskan rais am dan jajaran lainnya tidak diperkenankan mencalonkan atau dicalonkan dalam jabatan politik seperti presiden, wakil presiden dan lain-lain. Adapun bila rais am dan sebagainya mencalonkan atau dicalonkan, maka harus mengundurkan diri atau diberhentikan. Dengan demikian, bila menggunakan perspektif adanya interelasi, pencalonan KH Ma'ruf Amin tidak melanggar khittah dan aturan.


Pasal 51 di atas justru mampu menghapus apa yang disebut Ulil Abshar Abdalla dalam artikelnya di Kompas (18/5/2004) sebagai kawasan abu-abu di dalam NU seperti boleh tidaknya ketua umum PBNU mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Karena saat itu AD/ART NU memang belum memerinci naskah khittah politik.


Kalau dikomparasikan, hasil Muktamar ke-32 dan ke-33 klausulnya lebih ketat dan tegas bila dibanding Muktamar ke-31 yang pada ART pasal 45 ayat 3 hanya dijelaskan, "Jika pengurus harian NU mencalonkan diri atau dicalonkan untuk mendapatkan jabatan politik, maka yang bersangkutan harus non aktif sementara hingga penetapan jabatan politik tersebut dinyatakan final, dan apabila terpilih, maka yang bersangkutan dapat mengundurkan diri atau diberhentikan dengan hormat." Dengan demikian, AD/ART NU semakin baru menjadi lebih detail dalam mengatur masalah politik. Perlu diketahui, Anggaran Rumah Tangga NU membahas politik (rangkap jabatan terkait politik) tertuang sejak Muktamar ke-28 (ART pasal 28), Muktamar ke-29 (ART pasal 42), Muktamar ke-30 (ART pasal 42). Namun belum sejelas Muktamar ke-31 (ART pasal 45), lebih jelas dan lebih detail di Muktamar ke-32 dan ke-33 serta ke-34.


Pesta Politik 2024 dan ART NU Muktamar ke-34 di Lampung 

Dalam pesta politik di tanah air, hampir bisa dipastikan warga NU dan struktur NU menjadi rebutan, baik untuk mendapatkan suara warga NU ataupun mau menggandeng struktur NU. Pada tahun 2024 kemungkinan besar juga tidak jauh dari prediksi tersebut.


Bila boleh berasumsi, bagaimana apabila struktur NU semisal ketua umum PBNU saat ini digandeng suatu partai politik untuk maju dalam kontestasi politik semisal menjadi presiden? Untuk menjawab hal ini, kita harus konsisten mengacu ART pasal 51 ayat 4-7 hasil Muktamar ke-34:


(4) Rais ‘Aam, Wakil Rais ‘Aam, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Rais dan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, Rais dan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama tidak diperkenankan mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik.


(5) Yang disebut dengan jabatan politik dalam Anggaran Rumah Tangga ini adalah jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.


(6) Apabila Rais ‘Aam, Wakil Rais ‘Aam, Ketua Umum, dan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan.


(7) Apabila Rais dan Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, Rais dan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama mencalonkan diri atau dicalonkan, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.


(8) Ketentuan lebih lanjut tentang rangkap jabatan, akan diatur dalam Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama.


Dari ART hasil Muktamar ke-34 di Lampung di atas bisa disimpulkan, mencalonkan ataupun dicalonkan tidak disarankan atau tidak diperkenankan, tetapi bila tetap ingin maju, maka solusinya adalah harus mengundurkan diri, atau diberhentikan. Artinya, bila ada yang mencalonkan, lalu mengundurkan diri, maka hal itu absah secara AD/ART.


Sekalipun absah secara ART NU, namun bisa dipastikan akan muncul suara bernada kritikan, semisal ketua umum PBNU dianggap menggunakan NU. Tidak hanya itu, ketua umum PBNU akan dianggap tidak konsisten karena pada beberapa kesempatan menjelaskan penyesalannya karena NU pernah dijadikan senjata politik pada tahun 2019 (cnnindonesia.com), dan beliau menolak NU dijadikan alat politik pada tahun 2024 (www.kompas.tv).


Zero Tolerance” atau Akomodatif

Menyambut abad kedua NU diharapkan bisa menyepakati AD/ART baru yang akan menjadi sarana integrasi khittah dan politik baik dalam bentuk; pertama, kebijakan yang nir-peluang (zero tolerance) bagi pengurus NU untuk berpolitik praktis semisal pengetatan kriteria calon pengurus NU dan sanksi lebih tegas saat melanggar hingga pemecatan atau sanksi sosial. Atau kedua, memberi kanal berpolitik praktis semisal membentuk biro atau komisi politik "ideologis" yang hasilnya kalau meminjam narasi Rais Aam, KH Miftachul Akhyar saat saya wawancarai tahun 2019, adalah NU bisa melahirkan kader andal untuk menduduki berbagai posisi kekuasaan sebagaimana telah dicontohkan KH Hasyim Asyari, KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syansuri. Memang dalam sejarahnya NU pernah turut serta dan bahkan menjadi parpol. NU saat KH. Hasyim Asy'ari menjadi rais akbar pernah turut serta membidani lahirnya partai politik Masyumi (November 1945) yang beliau diminta menjadi ketua majelis syuranya. Saat KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syansuri menjadi Rais Aam, NU pernah menjadi parpol.


Upaya di atas (baik yang zero tolerance maupun yang akomodatif) akan berhasil apabila menerapkan nalar interelasi. Selama jargon kembali ke khittah tidak “dibungkus” dalam AD/ART, maka akan terus menimbulkan silang-sengkarut.


*Penulis adalah Dosen PPI FUF UINSA dan Abdi di Ribath Al Hadi 2 Bahrul Ulum Tambakberas


Opini Terbaru