Nyantri

Kekuatan Referensi Para Kiai

Ahad, 15 September 2024 | 08:00 WIB

Kekuatan Referensi Para Kiai

Sejumlah ulama dan kiai Nusantara. (Foto: Istimewa)

Pendengar rekaman video pengajian Kiai Jamal Tambakberas, Gus Baha Narukan, Gus Kautsar Ploso,  maupun sederet kiai pesantren lainnya, merasakan adanya keistimewaan yang membedakan dengan intelektual non-pesantren.


Pembedanya adalah kebaruan. Pendengar sering dibuat terpana dengan penjelasan-penjelasan yang mereka belum pernah dengar. Bukan pengulangan dari ceramah ataupun penuturan orang lain. Seperti menjadi hal yang baru bagi pemirsa awam. Penjelasan yang menggugah kesadaran.


Dengan tanpa membuat suasana tegang dan garing, para kiai mampu menjelaskan tafsir Qur'an, makna hadits, logika tauhid, aturan fiqih, penjelasan isi kitab,  maupun tindakan aplikatif yang harus dilakukan masa sekarang. Para kiai menjelaskan dengan renyah, gayeng, dan menyenangkan. Suatu bahasan tentang hal-hal yang sebenarnya rumit dan sulit dipahami orang awam, mampu disampaikan sesuai dengan bahasa yang dimengerti pendengarnya.


Memang kiai adalah orang cerdas. Cerdas bermakna mampu menyederhanakan perkara yang sulit.


Teks Ayat-ayat Qur'an, teks hadits, ucapan para sahabat, perkataan ulama salaf, maupun ibarat-ibarat (teks) kitab, meluncur lancar dari penjelasan para kiai tersebut. Diucapkan dengan bahasa aslinya (ibarat/teks berbahasa Arab) dengan lancar, tanpa terbata-bata. Padahal dalilnya panjang. Seakan tidak hafal. Diucapkan bukan sekadar dengan perkataan "pada dalil yang artinya ...".


Gus Reza Lirboyo biasa mengutip perkataan berbahasa Inggris. Gus Dur biasa mengutip ibarat berbahasa Arab, Inggris, ataupun Perancis. Gus Dur memang termasuk poligot. Orang yang menguasai berbagai  bahasa.


Timbul pertanyaan, bagaimana mereka selancar itu. Pepatah mengatakan hasil tidak mengkhianati usaha. Kemampuan para kiai menjelaskan dengan gamblang, masuk akal dan dalil yang otoritatif, merupakan hasil dari kesungguhan belajar bertahun-tahun. Sering membaca berbagai literatur, menandai ibarat yang penting, biasanya dengan pensil/stobilo,  bahkan menghafalkannya.


Para kiai bukanlah pendakwah instan hasil diklat ataupun kursus singkat. Proses membaca setumpuk kitab serta mendengarkan penjelasan dari kiai terdahulu, mampu menjadikan para kiai pandai menjelaskan dan membaca fenomena yang terjadi. Para kiai mampu memberikan arahan tentang apa yang dilakukan. 


Sekadar contoh, menculik penjelasan Gus Kautsar pada satu acara, beliau mengimbau agar santri alumni pesantren manapun, ditarik untuk ikut berkhidmah di NU. Jangan sekadar menjadi pengamat dan pengkritik. Bila ingin memperbaiki sesuatu yang kurang, mari memberi masukan dari dalam. 


Dalam istilah Mbah Wahab Chasbullah, lebih baik adu jotos di dalam ring, daripada sekadar teriak-teriak di luaran. Inilah contoh kemampuan kiai membaca situasi. Disertai dengan kemampuan memberi solusi. 


Mbah Wahab, selalu berpijak pada pendapat ulama yang termaktub dalam kitab, baik dibaca teksnya secara implisit/qouli, maupun mengambil intisari dari pola pikir ulama terdahulu/manhaji.


Ketika Presiden Sukarno meminta pertimbangan Mbah Wahab, terkait langkah apa yang harus diambil sesuai pijakan agama, ketika Belanda mengingkari isi perjanjian KMB tahun 1949. Di mana masalah Irian Baratakan dibicarakan satu tahun kemudian. Ternyata Belanda tetap bercokol di Papua hingga tahun 1963.


Mbah Wahab langsung menjawab, Belanda itu dalam terminologi fiqih, melakukan ghasab. Mengambil yang bukan haknya. Bung Karno lantas bertanya tentang langkah apa yang harus diambil. Mbah Wahab menjawab, orang ghasab itu akhodzahu qohron. Diambil paksa hal bukan hak yang dikuasainya. Jawaban Mbah Wahab ini mengutip kitab Taqrib dan Iqna' syarahnya.


Mbah Wahab memang menguasai sekali isi kitab Iqna'. Kiai Nasrullah Tambakberas, keponakan Kiai Wahab, menceritakan tuntas mengaji Iqna' dengan metode sorogan/privat ke Mbah Wahab. Di tengah kesibukan Mbah Wahab yang luar biasa padat. Sorogan dilaksanakan setiap ada kesempatan sesebentar apapun dan di tempat manapun.


Ketika masyarakat Muslim Indonesia resah, bagaimana kesusahan penghulu menikahkan pengantin, padahal penghulu diangkat oleh presiden. Sementara Presiden Sukarno kala itu, bukanlah presiden terpilih lewat Pemilu. Mbah Wahab bersama Kiai Baidlowi Lasem besannya, menjawab bahwa Presiden Sukarno adalah Waliyyul Amri Adh-Dloruri bisy Syaukah. Pemimpin yang sah dalam keadaan genting. Genting dalam artian Indonesia baru merdeka. Tetap butuh pemimpin. Namun belum bisa mengadakan Pemilu. 


Gelar Bung Karno sebagai Waliyyul Amri ini memiliki pijakan ibarat kitab fiqih. Latar belakang keraguan terkait kewenangan penghulu tadi, walau tampaknya sepele, bisa menjatuhkan kekuasaan Presiden Sukarno kala itu.


Gelar Waliyyul Amri tadi bukan bertujuan NU menjilat penguasa. Namun memastikan legitimasi pemerintahan Sukarno sesuai landasan fiqih. 


Kiai Marzuki Mustamar, amat lancar di luar kepala, membacakan teks panjang dari kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i. Kiai Zulfa Musthofa, dikenal pandai menggubah syair bahasa Arab secara spontan. Logika yang disampaikan  Gus Baha, yang disandarkan pada dalil Qur'an hadits dan ibarat kitab, seringkali menggugah kesadaran pendengarnya.


Kisah-kisah yang disampaikan Kiai Jamal Tambakberas, mampu membuat pendengaran mengambil ibrah dari apa penjelasan kisah yang beliau sampaikan.


Para kiai adalah dai sekaligus influencer. Pewaris tugas Nabi untuk berdakwah mengajak umat, dan menyebarkan kebaikan di seluruh lapisan masyarakat. Kesungguhan dalam mengaji dan muthala'ah, adalah proses seorang santri masa kini, untuk menjadi Kiai masa depan.

 


*Akhmad Taqiyuddin Mawardi, Pengasuh Pesantren An-Nashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Redaktur Pelaksana Keislaman NU Online JombangÂ