7 Hari Wafatnya KH Wazir Aly: Kacamata dan Obituari dari Seorang Abdi
Rabu, 16 Juli 2025 | 09:14 WIB
Kiai Wazir adalah sosok kasih sayang yang tak banyak berkata-kata. Beliau adalah wujud cinta yang menjelma dalam tindakan, dalam aksi, dalam laku hidup yang konsisten. Di luar majelis ngaji, beliau memang jarang bersenda gurau atau tertawa terbahak-bahak, tetapi ada nyala api yang terus hidup dalam dirinya, semangat yang nyaris tak pernah padam. Sorot matanya adalah ketelatenan; ketekunan seorang perajut ilmu.
Beliau tidak hanya menjadi teladan dalam menyemai benih pengetahuan di ladang kepala kami, tetapi juga menjadi rumah kala kami kehilangan arah. Ketika gelap rohani melanda, beliau menjadi pelita. Seakan diasuh langsung oleh ilmu, beliau tak pernah lepas dari membaca dan menulis-murojaah kitab kuning ataupun menggali referensi dari buku-buku lain yang mencerahkan.
KH Wazir Aly adalah salah satu pengasuh di bawah naungan Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif, Denanyar Jombang, tepatnya di Asrama Sunan Ampel Putri. Beliau bukan sekadar seorang kiai, namun lebih dekat dan hangat kami panggil “ayah.”
Beberapa tahun terakhir, kondisi fisik beliau menurun. Dari yang semula sehat wal afiat, perlahan harus menggunakan tongkat, hingga akhirnya memakai kursi roda. Namun, semua itu tak menjadi alasan untuk surut dalam menebar ilmu. Semangatnya justru semakin terasa; beliau tetap hadir, gigih, dan bersungguh-sungguh untuk bertatap muka dengan para santri. Baik saat mengajar di MAPK, MA Muallimin Muallimat, maupun di pondok.
Saya sendiri menyaksikan bagaimana beliau menghabiskan pagi, sore, hingga malam hari untuk mengajar. Jika pun berhalangan hadir, beliau akan menitip pesan melalui saya atau rekan-rekan pengurus lainnya untuk menyampaikan kepada para santri agar tetap belajar, bermusyawarah, atau menghafal. Mungkin, unggahan akun Instagram @santri.terhormat yang berjudul “Surat Duka dari Bumi Denanyar” bisa menggambarkan betapa dalamnya kehilangan kami atas sosok yang istiqamah, ajeg, dan khidmah kepada ilmu dan pesantren ini.
Setiap tahun, saat Ramadhan tiba dan ngaji kilatan digelar, beliau selalu memilih sendiri kitab-kitab yang akan diajarkan. Namun dua tahun terakhir, pemandangan menggetarkan hati menyertai: beliau menjemput kitab-kitab itu sambil bertongkat, berjalan perlahan, memeriksa satu per satu dengan mata penuh kehati-hatian.
Sosok “ayah” begitu saya rasakan, terutama saat saya diperintah untuk mengantar santri yang sedang sakit. Beliau selalu mendahulukan kepentingan santri dibanding urusan pribadinya. Saya ingat, kadang beliau menyampaikan pesan lewat jendela depan ndalem, kadang langsung bertatap muka, atau bila saya tidak dapat ditemui, beliau meninggalkan pesan melalui WhatsApp. Maka tak berlebihan bila di samping gelar “kiai pengasuh”, kami juga menyebutnya “ayah pengasuh.”
Saya sadar, kebersamaan saya dengannya mungkin tak sepanjang yang lain. Tapi justru karena sebentarnya itulah, saya yakin cerita ini hanya serpihan kecil dari banyak kisah lain yang belum sempat saya ketahui. Namun saya bersyukur, diberi kesempatan untuk menyaksikan langsung—meski sebentar—tekad, keikhlasan, dan ketekunan beliau.
Kini sudah tujuh hari kepergianmu, Yai. Kabut duka belum juga sirna dari dada kami. Kami belum selesai meneladani keteguhan pribadimu, ketelatenanmu memetani huruf-huruf ilmu di atas dampar ngaji. Kami rindu canda kecilmu, tawa ringanmu di sela-sela maknani.
Engkaulah yang menuntun kami menuju cahaya. Separuh hidupmu engkau berikan demi satu hak dasar santri: menjadi manusia. Manusia yang berakal, beradab, dan berakhlak. Engkaulah yang mengajari kami iqra dalam makna yang seluas-luasnya.
Jejakmu terukir dalam kerut dahi saat kami kebingungan, dalam goresan pena H-Tech yang macet menuliskan makna, dalam kitab kuning yang lecek karena terus dibaca ulang, atau dalam perjalanan pulang setelah mengajar. Engkau telah kembali, Kiai, bersama lentera-lentera surga, bersama mereka yang dahulu mengajarimu perihal keteladanan yang kini langka kami temui di zaman ini.
Kemarin adalah hari ketujuh kepergianmu. Jasadmu mungkin telah tiada, tetapi kenangan akan senyum kecil, kesungguhan mengajar, dan keikhlasanmu dalam mendampingi kami akan tetap hidup. Semoga semangatmu bisa meresap ke dalam pori-pori kebodohan kami.
Selamat jalan, Ayah.
Selamat jalan, Kiai.
Semoga jalanmu diridhai.
Sampaikan salam kami kepada Kanjeng Nabi.
Kami akan selalu menyempatkan rindu takzim.
Cinta kami, semoga melampaui waktu dan ruang yang menyekat pertemuan.
*Firhan Adfian, Santri Asrama Sunan Ampel Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar, Jombang.
Terpopuler
1
UPZISNU PRNU Jombatan Beri Santunan untuk Korban Penyerangan Monyet Liar, Imbau Warga Lebih Waspada
2
MWCNU Plandaan Gelar Lailatul Ijtima', Perkuat Dakwah dan Pererat Silaturahim
3
4.000 Jamaah Serban Ziarah Para Wali dan Sowan Ulama, Termasuk Gus Iqdam, Berangkat dari Tebuireng
4
Sebelum Viral, Pesantren di Denanyar Jombang Sudah Pernah Keluarkan Fatwa Haram Sound Horeg
5
Tahun Ajaran Baru, IPNU-IPPNU Kesamben Bersinergi Sukseskan MPLS di SMP Harapan Podoroto
6
LAZISNU MWCNU Mojoagung Gelar Baksos, Ratusan Warga Antusias Terima Manfaat
Terkini
Lihat Semua