Bolehkah Guru Ngaji Menerima Upah? Ini Penjelasan Al-Qur’an, Hadis, dan Ulama
Jumat, 15 Agustus 2025 | 10:23 WIB
Achmad Subakti
Penulis
Ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa” kerap disematkan kepada sosok guru di Indonesia. Julukan ini terasa sangat tepat mengingat peran besar guru dalam mencerdaskan generasi bangsa. Ilmu yang mereka berikan bersifat abstrak, tak berbentuk benda. Namun pengaruhnya begitu mendalam, sehingga gelar tersebut menjadi simbol penghargaan atas pengabdian mereka.
Guru adalah sosok yang amat berjasa dalam kehidupan setiap orang. Kedudukannya sering disejajarkan dengan orang tua yang melahirkan dan membesarkan kita. Bahkan sebagian ulama berpendapat, derajat guru bisa lebih tinggi dari orang tua. Sebab, orang tua adalah abul jasad (orang tua jasmani), sedangkan guru adalah abur ruh (orang tua rohani). Dan karena urusan jiwa jauh lebih utama daripada urusan fisik, jiwa akan kekal hingga akhirat kelak. Maka kedudukan guru menjadi sangat mulia.
Meski demikian, kemuliaan itu diiringi dengan amanah besar: menyebarkan ilmu yang dimiliki. Menyampaikan ilmu kepada umat adalah kewajiban, sedangkan menahannya dan enggan mengajarkannya termasuk perbuatan tercela.
Sebagaimana dikutip dari NU Online, Rasulullah saw menegaskan larangan keras bagi orang berilmu yang menyembunyikan ilmunya. Beliau memperingatkan bahwa siapa saja yang enggan membagikan ilmu akan mendapatkan ancaman siksaan berat di neraka.
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Artinya, “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu tetapi ia menymbunyikannya, maka ia akan dikekang kelak di hari kiamat dengan kekang dari api neraka.” (HR Ibnu Majah)
Jika menyebarkan ilmu merupakan sebuah kewajiban, lantas bagaimana hukumnya jika seorang guru ngaji menuntut atau menerima bayaran dari kegiatan mengajar yang ia lakukan? Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 159:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”
Menurut penjelasan Ibnu Abbas ra., sebagaimana dikutip oleh Imam al-Suyuthi, turunnya ayat tersebut berawal dari sikap sebagian orang Yahudi yang enggan menjawab pertanyaan para sahabat Nabi mengenai isi Kitab Taurat. Mereka memilih menyembunyikan kebenaran yang termuat di dalamnya, khususnya informasi tentang Nabi Muhammad saw. Sebagai bentuk teguran atas pengkhianatan terhadap amanah ilmu itu, Allah Swt. kemudian menurunkan ayat ini. (Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, [Beirut: Darul Fikr, t.th], juz 1, hlm. 161).
Meski ayat tersebut secara historis merupakan ancaman khusus bagi orang Yahudi, sebagian ulama menjadikannya dasar hukum yang melarang guru mengambil gaji atau upah. Alasannya, secara tekstual ayat tersebut menegaskan kewajiban menyampaikan ilmu, dan karena hal itu adalah kewajiban, maka meminta imbalan atasnya dianggap tidak dibenarkan. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, [Beirut: Dar Ihyaut Turats al-‘Arabi, 1420 H], juz 4, hlm. 141).
Ulama yang berpendapat demikian umumnya berasal dari kalangan mutaqaddimîn (ulama terdahulu). Bahkan Syaikh Ali al-Shabuni menyatakan bahwa para ahli fikih dari generasi mutaqaddimîn sepakat mengharamkan praktik tersebut. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir: Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm. 107).
Selain ayat di atas, sebagian ulama yang mengharamkan guru menetapkan bayaran, khususnya guru ngaji atau guru agama, juga mendasarkan pendapatnya pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 41:
...وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
Artinya, “...Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”
Meskipun ayat di atas turun berkaitan dengan orang-orang Yahudi, tetapi ada banyak ketentuan-ketentuan umum yang bisa diambil dari ayat tersebut. Salah satunya terkait hukum menerima (menuntut) upah mengajar. Dalam kitab tafsirnya, imam al-Qurthubi menjelaskan,
وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ- لِهَذِهِ الْآيَةِ وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا- فَمَنَعَ ذَلِكَ الزُّهْرِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالُوا: لَا يَجُوزُ أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ لِأَنَّ تَعْلِيمَهُ وَاجِبٌ مِنَ الْوَاجِبَاتِ الَّتِي يُحْتَاجُ فِيهَا إِلَى نِيَّةِ التَّقَرُّبِ وَالْإِخْلَاصِ فَلَا يُؤْخَذُ عَلَيْهَا أُجْرَةٌ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ
Artinya, “Ulama berbeda pandangan terkait mengambil bayaran mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu berdasarkan ayat ini (atau ayat yang serupa). Imam al-Zuhri dan kelompok ahlur ra’yi tidak memperbolehkannya dengan alasan bahwa hukum mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu adalah wajib yang memerlukan niat untuk ikhlas dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga mengambil bayaran untuk tindakan tersebut tidak boleh, sebagaimana shalat dan puasa”.
Alasan ulama yang melarang guru mengambil bayaran karena mengajar adalah salah satu kewajiban. Sesuatu yang wajib mau tidak mau harus dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan material. Ia sama seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya yang harus dilakukan tanpa pamrih.
Namun menurut mayoritas ulama, mengambil upah atas kegiatan mengajar adalah diperbolehkan. Dalam Tafsir al-Qurthubi, dijelaskan:
وَأَجَازَ أَخْذَ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ- حَدِيثِ الرُّقْيَةِ-: (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ). أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَهُوَ نَصٌّ يَرْفَعُ الْخِلَافَ فَيَنْبَغِي أَنْ يُعَوَّلَ عَلَيْهِ
Artinya, “Imam malik, al-syafi’i ahmad, Abu Tsaur dan mayoritas ulama memperbolehkan mengambil bayaran atas kegiatan mengajar al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, tentang ruqyah yang diriwayatkan oleh ibnu abbas ra: ‘Sesunggunya, perkara yang paling berhak kalian minta upah (sebagai imbalan karena telah melakukan perkara tersebut) adalah kitab Allah. (HR Al-Bukhari)’. Ini adalah nas yang dapat menghilangkan perbedaan sehingga seyogianya ia dapat dijadikan acuan”. (Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al-Quran, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1384 H.], juz 1, hlm. 335).
Kelompok yang menyamakan kegiatan mengajar dengan ibadah personal seperti shalat dan puasa dinilai kurang tepat. Shalat dan puasa adalah ibadah yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya sendiri, sedangkan mengajar adalah ibadah yang faedahnya menjangkau banyak orang. Karena manfaatnya bersifat publik, maka menerima gaji dari kegiatan mengajar dinilai boleh.
Imam al-Alusi menegaskan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya guru menerima gaji atau upah. Pertimbangannya, agar keberlangsungan ilmu agama di muka bumi tetap terjaga dan tidak terancam punah. (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H], juz 1, hlm. 121).
Syaikh Ali al-Shabuni bahkan mengakui bahwa alasan yang dikemukakan para ulama mutaqaddimîn sebenarnya sangat teliti dan mendalam. Di masa mereka, semangat belajar umat masih tinggi sehingga pendapat melarang guru menerima gaji dapat diterapkan.
Namun, situasi berubah di zaman setelahnya. Semangat belajar umat mulai melemah, dan di era sekarang yang cenderung materialistis, minat belajar agama semakin jarang ditemukan. Dengan mempertimbangkan kondisi ini, para ulama muta’akhkhirîn membolehkan bahkan mewajibkan pemberian gaji kepada guru, demi menjaga keberlangsungan ilmu agama. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir: Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm. 107).
Kesimpulannya, perbedaan pendapat ulama terkait kebolehan guru menerima gaji harus disikapi secara bijak. Seorang guru hendaknya tetap menanamkan keikhlasan dalam menyampaikan ilmu Allah dan tidak terjebak pada sikap pamrih, sebab ilmu adalah amanah yang wajib diamalkan dan disebarkan.
Meski demikian, guru tetaplah manusia yang membutuhkan nafkah untuk hidup. Tidak semua orang berilmu berada dalam kondisi finansial yang mapan. Karena itu, tidak ada salahnya bila murid, lembaga, atau negara memberikan bayaran sebagai penghargaan atas pengabdian mereka.
Bahkan pada hakikatnya, negara memiliki kewajiban untuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidik. Pemenuhan kebutuhan finansial guru adalah bagian dari menjaga pilar utama kemajuan bangsa dan peradaban. Sejarah menunjukkan, kejayaan suatu peradaban selalu diawali oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Wallāhu a‘lam.
Terpopuler
1
Ramai Film Animasi di Bulan Agustus, Ini 5 Rekomendasi Film Kemerdekaan yang Tak Kalah Seru
2
Khutbah Jumat Kemerdekaan: Menjaga Legasi Pahlawan Bangsa, Menguatkan Ukhuwah
3
Langkah Tegap, Ansor Bareng Turut Ambil Bagian dalam Gerak Jalan Se-Kecamatan
4
Warga Banjiri Pengajian Rutin Selasa Legi MWCNU Diwek, Diajak Peringati HUT Ke-80 RI dengan Arif
5
Khutbah Jumat: Bahan Refleksi Bersama di Usia 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia
6
PAC IPNU-IPPNU Kesamben Raih Juara Harapan 1 Lomba Gerak Jalan Kategori Umum
Terkini
Lihat Semua