Syariah

Menkeu Sebut Bayar Pajak Sama dengan Zakat dan Wakaf, Benarkah Demikian Menurut Islam?

Kamis, 21 Agustus 2025 | 17:52 WIB

Menkeu Sebut Bayar Pajak Sama dengan Zakat dan Wakaf, Benarkah Demikian Menurut Islam?

Ilustrasi slip pajak di Indonesia. (Foto: Freepik)

Akhir-akhir ini publik dibuat ramai terkait isu kenaikan pajak di sejumlah daerah yang dinilai melebihi batas wajar. Bahkan rakyat di Pati telah menyerukan penolakannya terhadap kenaikan pajak 250%.


Isu pajak ini kian memanas usai Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut bahwa membayar pajak sama dengan membayar zakat dan wakaf.


Lantas, bagaimana konsep pemungutan pajak dalam hukum fiqih? Benarkah kewajiban pajak setara dengan zakat?


Mengutip NU Online, dalam fiqih dijelaskan bahwa hukum asal penarikan, pengumpulan atau pemungutan pajak adalah haram.


Secara kaidah, hal tersebut termasuk mengambil harta seseorang secara paksa. Berdasarkan hukum asal, seorang muslim itu terbebas dari tanggungan beban atau pun kewajiban, kecuali pada konteks zakat yang merupakan kewajiban.


Namun jika pemungutan pajak tersebut bertujuan untuk kemaslahatan rakyat dan dikenakan pada kalangan berkecukupan (kaya) demi membantu orang-orang yang kurang mampu (miskin), maka pemungutan itu justru diwajibkan.


Sesuai yang dijelaskan Ibn Hazm dalam kitab Al-Muhallâ bî al-Atsâr fî Syarh al-Mujallâ bi al-Ikhtisâr jilid 6 halaman 156 berikut:


وفُرِضَ على الأغنياء من أهل كل بلد أن يقوموا بفقرائهم، ويُجْبِرهم السلطان على ذلك إن لم تقم الزكوات بهم] اهـ


Artinya, "Dan dari kalangan orang-orang kaya dari setiap negara diwajibkan untuk membantu orang-orang miskin di antara mereka. Dan pemerintah harus memaksa mereka untuk melakukannya jika dana zakat tidak mencukupi."


Hal ini juga dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam  Al-Mustashfâ jilid 1 hal. 303-304 bahwa pemerintah diperbolehkan memungut pajak kepada orang-orang kaya jika dalam keadaan mendesak seperti kekosongan kas negara.


إذا خلت الأيدي من الأموال، ولم يكن من مال المصالح ما يفي بخراجات العسكر، ولو تفرق العسكر،واشتغلوا بالكسب لخيف دخول العدو ديار المسلمين، أو خيف ثوران الفتنة من أهل الغرامة في بلاد الإسلام، جاز للإمام أن يوظف على الأغنياء مقدار كفاية الجند اهـ


Artinya, "Jika kekuasaan kosong dari harta (kas), dan tidak ada harta dari sumber-sumber kemaslahatan umat yang cukup untuk memenuhi biaya pasukan, dan jika pasukan membubarkan diri meninggalkan pos masing-masing dan mereka sibuk mencari nafkah, maka pasti dikhawatirkan musuh akan masuk ke negara Muslim, atau dikhawatirkan meletusnya fitnah dari kalangan orang-orang yang teraniaya di negeri-negeri Islam, maka dalam hal ini diperbolehkan bagi imam untuk mengenakan pajak kepada orang-orang kaya sebesar nominal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tentara yang diperlukan."


Maksud dari kebolehan pemungutan pajak ini ialah sebatas diperlukan untuk menghilangkan kondisi terdesak. Sejalan dengan kaidah fiqih, segala sesuatu yang awalnya dilarang kemudian diperbolehkan karena terdesak, maka dibatasi sesuai dengan kadarnya. Adapun untuk mengetahui kadarnya, dikembalikan kepada orang yang terdampak.


Dalam fiqih kontemporer, mengutip pernyataan dari Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû jilid 7, halaman 5002 menyebutkan sebagai berikut:


ونص فقهاء الإسلام كالغزالي والشاطبي والقرطبي على مشروعية طرح ضرائب جديدة على الأغنياء والغلات والثمار وغيرها بقدر مايكفي حاجات البلاد العامة، وأقر ذلك مجمع البحوث الإسلامية في مؤتمره الأول المنعقد سنة ١٩٦٤م في قراره الخامس


Artinya, "Para fuqaha' seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syathibi, Imam Qurthubi justru menyatakan pemberlakuan kebijakan pemungutan pajak sebagai aturan baru yang ditetapkan bagi orang-orang kaya, hasil-hasil bumi, buah-buahan, dan komoditas lainnya hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan kas negara secara umum saja. Keputusan ini juga telah diputuskan oleh Majma' Buhuts Islamiyyah (Lembaga Kajian Riset Islam) dalam Muktamar Perdananya yang terselenggara pada tahun 1964 M dalam keputusan nomor 5 sebagai berikut."


Kendati demikian, ada 4 syarat yang harus dipenuhi dalam kebolehan pemungutan pajak sebagai berikut:
  

واشترط لجواز فرض الضريبة أربعة شروط. الأول؛ أن تكون هناك حاجة حقيقية بالدولة إلى المال، ولا يوجد مورد آخر لتحقيق الأهداف وإقامة المصالح دون إرهاق الناس بالتكاليف


Syarat pertama: "Terdapat kepastian akan kebutuhan negara terhadap harta hasil pemungutan pajak tersebut, dan tidak ada sumber dana lainnya yang bisa digunakan untuk memenuhi tujuan negara maupun untuk merealisasikan kemaslahatan masyarakat dengan tanpa membebani masyarakat melalui berbagai kewajiban."


الثاني؛ أن توزع أعباء الضرائب بالعدل بحيث لا يرهق فريق من الرعية لحساب فريق آخر، ولا تحابى طائفة وتكلف أخرى


Syarat kedua: "Membagi besaran kewajiban pajak secara adil sekiranya tidak membebani sebagian rakyat untuk memenuhi beban rakyat yang lainnya, dan sekiranya tidak menyenangkan sebagian golongan namun yang lain justru merasa keberatan."


الثالث: أن تصرف الضريبة في المصالح العامة للأمة


Syarat ketiga: "Hasil dana pajak dialokasikan untuk kemaslahatan umum bagi masyarakat."


الرابع: موافقة أهل الشورى والرأي في الأمة٠ لأن الأصل في أموال الأفراد الحرمة، والأصل أيضاً براءة الذمة من الأعباء والتكاليف٠


Syarat keempat: "Disetujui oleh para Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan berdasarkan pendapat dari para rakyat. Hal ini berdasarkan kaidah asal yang menyatakan bahwa hukum asal dari mengambil harta seseorang adalah haram. Serta kaidah yang menyatakan jika hukum asal dari sesuatu itu ialah bebas dari tanggungan, baik berupa beban maupun kewajiban."


Berdasarkan penjelasan ini, kebijakan pemerintah atas pajak diperbolehkan selagi berdasarkan kemaslahatan rakyat. Selain itu juga harus mempertimbangkan ulang dampak negatif (mafsadat) yang diakibatkan atas kebijakan tersebut.


Sebab jika kebijakan pemerintah terdapat kemaslahatan, tetapi dalam penerapannya justru ada kemafsadatan yang jauh lebih besar, maka pencegahan mafsadat harus lebih diprioritaskan dibanding merealisasikan kemaslahatan tersebut. Maka jelas bahwa pajak tidak sama dengan zakat.