KH M Ma'shum Ali, Peletak Tradisi Literasi Pesantren dari Seblak Jombang
Senin, 23 September 2024 | 15:30 WIB
Kitab Al-Amtsilah al-Tashrifiyah karya KH M Ali Ma'shum. (Foto: NU Online Jombang/Mukani)
Mukani
Penulis
Nama aslinya adalah Muhammad Ma'shum bin Ali. Kiai Ma'shum adalah Katib Syuriyah PCNU Jombang saat awal berdiri 1928. Dia berasal dari Maskumambang, sekarang masuk Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik. Kakeknya adalah pendiri Pesantren Maskumambang.Â
Setelah menimba ilmu di Pesantren Maskumambang, melanjutkan pendidikan di Pesantren Tebuireng yang saat itu masih diasuh langsung oleh Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari. Kiai Ma'shum juga pernah menimba ilmu di Makkah al-Mukarromah.Â
Kiai Ma'shum sering dijuluki sebagai orang kedua di Pesantren Tebuireng setelah Hadratussyekh. Dia menjadi rujukan dalam pengambilan pendapat, ketika Hadratussyekh sedang tidak berada di tempat. Ini karena penguasaan ilmu yang luar biasa dari Kiai Ma'shum.Â
Meski begitu, kehidupannya sederhana di desa. Saking sederhananya, konon seumur hidup hanya memiliki dua foto diri. Pertama diklaim hilang entah kemana. Foto kedua dibakar sendiri sepekan sebelum wafat. Bahkan para keturunan (dzuriyah) hingga kini juga tidak ada yang memiliki fotonya. Tidak heran jika tulisan-tulisan tentang Kiai Ma'shum tidak pernah menggunakan foto dirinya.Â
Kiai Ma'shum menikah dengan Nyai Khoiriyah, anak pertama Hadratussyekh dan Nyai Nafiqoh. Dari pernikahan satu-satunya ini, memiliki dua putri yang hidup. Sang sulung bernama Nyai Abidah, yang dinikahi KH Mahfudz Anwar Paculgowang. Salah satu putra Nyai Abidah, yaitu KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin), sekarang menjadi Pengasuh Pesantren Tebuireng.Â
Sang bungsu bernama Nyai Djamilah, yang dinikahi oleh KH Nur Aziz Singosari Malang. Putra pertama Nyai Djamilah bernama dr. Ali Faisal, Sp.A, sekarang menjadi Ketua Yayasan Hasyim Asy'ari Tebuireng. Â
Mendirikan Pesantren Seblak
Setelah Pesantren Tebuireng didirikan Hadratussyekh tahun 1899, lambat laun mengalami perkembangan. Para wali santri yang awalnya hanya mengantar putranya, di kemudian hari juga menitipkan putrinya. Sehingga dipandang perlu mendirikan pondok pesantren yang khusus bagi santri putri.Â
Hadratussyekh kemudian menyuruh Kiai Ma'shum dan Nyai Khoiriyah mewujudkan cita-cita itu. Keduanya baru saja melangsungkan pernikahan. Setelah survei dan mempertimbangkan beberapa lokasi, akhirnya dipilih Dusun Seblak, yang jaraknya hanya 200 meter barat Tebuireng.Â
Keduanya kemudian membeli sebidang tanah seluas setengah hektar dari seorang dukun santet. Mitos di masyarakat Jawa menyatakan bahwa pembeli tanah dari seorang dukun akan mampu membeli tanah di sekitarnya. Entah ini berkaitan atau tidak. Namun faktanya hingga sekarang luas tanah Pesantren Seblak lebih dari lima hektar.Â
Berdasarkan catatan Nyai Djamilah (1979), putri Kiai Ma'shum, peristiwa itu terjadi tepat di tahun 1921. Di atas tanah itu lalu dibangun rumah kiai, sebuah surau yang dilengkapi dengan bilik tempat penginapan para santri sekaligus sebagai tempat untuk belajar.Â
Angka di tahun 1921 itu diperkuat oleh penelitian Prof. Eka Srimulyani (2012), Muzayanah Hamas (1997), Arina Salamah (2016), Nur Laili Rahmah (2017), M. Sholahuddin (2012), Mukani (2016 dan 2019) dan Amirul Ulum (2019). Meski A. Khoirul Anam (2015) menyebut pendirian Pesantren Seblak di tahun 1913 dan buku Profil Pesantren Tebuireng (2011) menyebut angka 1926. Namun kedua pendapat terakhir ini tidak didukung sumber data yang valid.Â
Masyarakat Dusun Seblak saat berdiri pondok masih jauh dari nilai-nilai Islam. Bahkan bisa dikatakan pusatnya dunia hitam bernama mo limo. Baik berupa main (berjudi), mabok (minuman keras), madon (prostitusi), maling (mencuri) maupun madat (penyalahgunaan narkoba). Ini sebagai akibat bergesernya pusat kemaksiatan dari Tebuireng.Â
Periode awal pendirian Pesantren Seblak hanya memiliki 25 orang santri dan seorang guru. Santri-santri angkatan pertama itu seperti KH Adlan Ali (Cukir Jombang), KH Shleh (Sembayat Gresik), KH Abdul Karim (Gresik), KH Amin (Paciran Lamongan), KH Abdul Djalil (Kudus), KH Muhtadi (Kranji Lamongan), lima santri dari Banyuwangi dan tiga santri lainnya dari Pulau Bawean Gresik.Â
Setelah berdiri hingga wafat 24 Ramadhan 1351 (8 Januari 1933), Kiai Ma'shum menjadi pengasuh Pesantren Seblak bersama istri. Di samping tetap mengabdikan diri mengajar di Pesantren Tebuireng. Menantu pertama Hadratussyekh ini meninggal dunia berusia 46 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pesantren Tebuireng.
Tradisi Literasi
Semasa hidup, Kiai Ma'shum menulis empat kitab. Salah satunya berjudul Al-Amtsilah al-Tashrifiyah. Di dunia pesantren, kitab kecil ini lebih dikenal Tasrifan Jombangan. Meskipun sebelumnya sudah beredar beberapa tasrifan versi lain. Sejak kemunculan Tasrifan Jombangan, maka tasrifan versi lain menjadi kurang populer.Â
Kitab ini dicetak dalam ukuran besar dan ukuran buku saku. Tebalnya sekitar 60 halaman. Susunannya sistematis, sehingga mudah dipahami dan dihafal. Penerbit kitab ini awalnya ada dua, yaitu Salim Nabhan Surabaya di tahun 1950-an dan Alawiyah Semarang.Â
Baca Juga
Tiga Kiai Jombang Pendiri NU
Setiap terbitan juga memuat kata pengantar dari Prof Saifuddin Zuhri, menteri agama masa Orde Lama. Namun sekarang Pondok dan Madrasah Salafiyah Syafiiyah Seblak juga menerbitkannya sendiri.Â
Djunaidatul Munawaroh (2011) menggolongkan kitab ini ke dalam ilmu shorof pada jenjang menengah yang amat terkenal di Nusantara. Lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia atau di luar negeri banyak menjadikan kitab ini sebagai rujukan primer. Â
Ilmu shorof merupakan pendukung dalam menguasai bahasa Arab. Di kalangan pesantren, ilmu shorof dan nahwu menjadi wajib dipahami santri sejak awal jika ingin membaca literatur klasik bernama kitab kuning. Tidak heran jika para santri baru pasti akan disuruh menghafalkan kitab shorof dan nahwu. Salah satunya Al-Amtsilah al-Tashrifiyah ini.Â
Pemahaman yang baik terhadap ilmu shorof dan nahwu akan berkorelasi dengan tradisi literasi di pesantren. Berbagai pengajian kitab kuning yang digelar di semua pesantren membutuhkan penguasaan keduanya. Maka keberadaan kitab Tasrifan Jombangan ini, mengutip AÂ Ginanjar Syaban (2018), masih digunakan hingga sekarang. Bahkan dihafal oleh ribuan pesantren dan telah menghantar jutaan santri ke gerbang keilmuan Islam.
Meminjam istilah Martin van Bruinessen (1995), terdapat kaitan erat antara pengajaran kitab kuning dengan perkembangan dunia pesantren dan tarekat. Menjadi keniscayaan jika santri menguasai ilmu shorof dan nahwu pada masa awalnya belajar di pesantren.Â
Kiai Ma'shum sudah memberi teladan konkrit dalam mendorong tradisi literasi bagi dunia pesantren. Dengan menulis kitab Al-Amtsilah al-Tashrifiyah, Kiai Ma'shum sudah meletakkan fondasi dalam memahami literatur klasik bagi pengembangan eksistensi khazanah intelektual keislaman. Dan, itu masih bisa ditemui hingga era milenial serba digital seperti sekarang.
*Mukani, Alumni Pesantren Seblak, A'wan Ranting NU Kayangan Diwek Jombang dan Dosen STAI Darussalam Nganjuk
Terpopuler
1
Keutamaan Sedekah di Bulan Rajab
2
Habib Jamal Jelaskan Makna Asyhurul Hurum dan Keutamaan Bulan Rajab
3
Khilafiah Ulama tentang Hukum Pemindahan Pemakaman Jenazah ke Daerah Lain
4
Rapimcab IPNU-IPPNU Jombang, Upaya Perkuat Kolaborasi Tingkat PAC dan PKPT
5
Makna Filosofi di Balik Nama Bulan Rajab
6
Ketua PCNU Jombang Ajak Muslim Manfaatkan Rajab dengan Beragam Amalan, Mulai Istighfar hingga Sedekah
Terkini
Lihat Semua