Hikmah

Mendapatkan Lailatul Qadar, Apakah Harus Melewati Keajaiban?

Rabu, 26 Maret 2025 | 16:00 WIB

Mendapatkan Lailatul Qadar, Apakah Harus Melewati Keajaiban?

Ilustrasi Lailatul Qadar. (Foto: Freepik)

Setiap Ramadhan, umat Muslim berlomba mencari Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Namun, muncul pertanyaan, apakah untuk meraih keutamaan malam istimewa ini, seseorang harus mengalami kejadian luar biasa atau keajaiban?
 

Dilansir dari artikel NU Online karya Yusuf Suharto disebutkan bahwa terdapat ulama seperti Imam Ibn Jarir at-Thabari dan Syekh Ibnu Arabi berpendapat bahwa mendapatkan Lailatul Qadar tidak harus merasakan dan menjumpai fenomena ajaib. 

 

 
Seseorang yang beribadah di malam Ramadhan tetap mendapat anugerah Lailatul Qadar, meskipun tidak mengalami hal-hal spiritual khusus.
 

Dalam kitabnya, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany menyebutkan para ulama berbeda pendapat mengenai tanda-tanda Lailatul Qadar. Namun, secara umum, mereka meyakini malam itu memiliki tanda-tanda yang dapat dikenali. 
 
 
Tanda-tanda tersebut antara lain, terlihat segala sesuatu dalam keadaan bersujud, pancaran cahaya di setiap tempat hingga pada tempat yang gelap terdengar ada salam atau komunikasi dari malaikat dan doa yang terkabulkan. 

 
Malaikat, termasuk Jibril, turun dan memberi salam kepada umat Islam yang taat. Syekh Fakhruddin ar-Razy menambahkan, tanda kehadiran Jibril adalah kulit merinding, hati lembut, dan air mata menetes.
 

Imam Ibn Jarir At-Thabari menegaskan, "Keseluruhan tanda itu bukan sesuatu yang pasti terjadi, dan untuk disebut telah berhasil mencapai Lailatul Qadar itu tidak dipersyaratkan harus melihat dan mendengar sesuatu." 
 

Lebih lanjut, Imam at-Thabary juga menyatakan, orang yang beribadah di malam Lailatul Qadar tetap mendapat pahala, meskipun tidak melihat tanda-tanda tersebut.
 

Kiai Ahmad Asymuni Petok Kediri juga berpendapat serupa, bahwa keutamaan Lailatul Qadar didapat dengan menghidupkan malam itu, meski tanpa merasakan tanda-tanda khusus.
 

 ويحصُل فضلُها لِمن أحْياها وإِنْ لم يشعُر بها، ونفْيُه محمولٌ على نفْي الكمالِ، ومَن صلّى العشاءَ في جماعةٍ فقدْ أخذَ حظَّه مِنها 
 

Artinya, "Keutamaan Lailatul Qadar telah tercapai bagi sesiapa yang menghidupkannya, walaupun ia tidak merasakannya. Penegasian capaian itu diarahkan pada ketiadaan kesempurnaan pencapaian. Sesiapa yang shalat Isya berjamaah, maka sungguh ia telah memperoleh bagian (keutamaan) Lailatul Qadar." 
 

Syekh Muhammad Nawawi Banten menjelaskan tiga tingkatan menghidupkan Lailatul Qadar:
 

 وَمَرَاتِبُ إِحْيَائِهَا ثَلَاثَةٌ عُلْيَا وَهِيَ إِحْيَاءُ لَيْلَتِهَا بِالصَّلَاةِ وَوُسْطَى وَهِيَ إِحَيَاءُ مُعْظَمِهَا بِالذِّكْرِ وَدُنْيَا وَهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ وَالصُّبْحِ فِي جَمَاعَةٍ 
 

Artinya, “Tingkatan menghidupkan Lailatul Qadar ada tiga. Yang tertinggi adalah menghidupkan Lailatul Qadar dengan shalat. Sedang tingkatan yang sedang adalah menghidupkan Lailatul Qadar dengan zikir. Tingkatan terendah adalah menjalankan shalat Isya dan Subuh berjamaah." 
 

Syekh Nawawi juga menegaskan, orang yang beribadah di Lailatul Qadar tetap mendapat keutamaannya, meski tidak melihat tanda-tanda khusus.

 

ويَنال العامِل فضلَها وإِنْ لمْ يطلّع عليهَا عَلى المُعتمد 
 

Artinya, "Yang beribadah pada malam Lailatul Qadar tetap memperoleh keutamaannya, walaupun tidak melihatnya, menurut pendapat yang muktamad."