Hikmah

Pandangan Islam Tentang Tradisi Berbagi Hadiah dan Uang Saat Hari Raya Idul Fitri

Kamis, 27 Maret 2025 | 14:28 WIB

Pandangan Islam Tentang Tradisi Berbagi Hadiah dan Uang Saat Hari Raya Idul Fitri

Ilustrasi berbagi makanan saat hari raya Idul Fitri. (Foto: Freepik)

Merayakan Idul Fitri di era modern tak lepas dari kemeriahan saling bertukar bingkisan cantik, yang populer dengan sebutan hampers dan parsel. Semangat berbagi dan mempererat tali silaturahim menjadi esensi utama perayaan Idul Fitri.


Melansir dari NU Online, kata hampers artinya keranjang yang diisi dengan barang-barang yang dihadiahkan seperti makanan, maupun barang-barang tertentu.


Di beberapa wilayah, selain hampers, tradisi mengantarkan makanan (ater-ater) masakan hari raya kepada tetangga atau keluarga terdekat juga lazim. Setelah itu, pihak yang menerima makanan terkadang memberikan makanan atau uang sebagai balasan.


Biasanya, setelah shalat Idul Fitri, ketika anak-anak dan remaja bersalaman dan berkunjung ke rumah orang tua, mereka akan menerima sejumlah uang (jumlahnya bisa berbeda-beda). Uang ini seringkali dianggap sebagai hadiah karena mereka sudah ikut berpuasa sejak kecil.


Pada dasarnya, semua pemberian yang telah disebutkan sebelumnya termasuk dalam kategori hadiah. Istilah "hadiah" ini diambil dari bahasa Arab, "al-hadiyyah", yang  dijelaskan dalam kitab Al-Mausu’atul Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah.


الهِبةُ والهَديَّةُ بمعنًى واحدٍ، إلا أنَّ هناك بعضَ الفروقِ الطَّفيفةِ بيْنهما، ومِن ذلك: 
• أنَّ الهديَّةَ يُقصَدُ بها الإكرامُ والتوَدُّدُ ونحوُهُما، أمَّا الهِبةُ فيُقصَدُ بها -غالبًا- النفعُ 
• الهَديَّةُ تَختصُّ بالمنقولاتِ إكرامًا وإعظامًا للموهوبِ، والهِبةُ أعَمُّ


Artinya, “Hibah dan hadiah sebenarnya maknanya satu, hanya saja ada perbedaan tipis antara keduanya, diantaranya adalah: Hadiah itu dimaksudkan untuk menandaskan sikap memuliakan, mengasihi, dan sejenisnya. Sementara hibah – pada umumnya – tujuannya adalah memberi manfaat pada yang diberi. Hadiah dikhususkan untuk barang bergerak, tujuannya untuk memuliakan yang diberi hadiah. Sementara hibah lebih umum.”


Kemudian, bagaimana Islam memandang praktik saling membalas hadiah, budaya saling mengantar makanan, atau saling memberi hampers yang menjadi salah satu budaya baik yang populer di negeri kita (dan mungkin juga di wilayah-wilayah lain di dunia)? Jawabannya: Islam begitu mengapresiasi, bahkan mendorong, bukan mewajibkan, untuk membalas kebaikan (baik hadiah ataupun kebaikan lainnya) yang diberikan.


Berdasarkan hadits dari Aisyah ra, Rasulullah saw menerima hadiah dan selalu berusaha membalasnya dengan yang sama atau lebih baik.


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا


Artinya, “Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: ‘Rasulullah Saw. itu memberi hadiah dan membalasnya (dengan yang sama atau lebih baik).’” (HR Al-Bukhārī).


Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan untuk membalas setiap kebaikan. Jika tidak mampu, maka hendaknya mendoakan orang tersebut hingga merasa sudah cukup membalasnya.


مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ ، فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ


Artinya, “Siapa yang berbuat kebaikan kepada kalian, maka balaslah dengan kebaikan yang setara. Jika engkau tidak mendapati sesuatu untuk membalas kebaikan tersebut, maka doakanlah dia sampai engkau yakin telah membalas kebaikannya (karena terus-menerus mendoakannya).” (HR Abu Dawud).


Ketika menerima kebaikan atau hadiah, kita juga dianjurkan untuk mengucapkan kalimat pujian kepada pemberi, salah satunya adalah sebagai berikut,


جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا


Artinya, “Semoga Allah senantiasa membalasmu” (HR At-Tirmidzi dari Usamah bin Zayd).