Fragmen

Kisah Perjuangan RA Kartini di Tengah Himpitan Tradisi dan Pengaruh Kolonialisme Penjajah

Senin, 21 April 2025 | 15:30 WIB

Kisah Perjuangan RA Kartini di Tengah Himpitan Tradisi dan Pengaruh Kolonialisme Penjajah

Foto Raden Ajeng Kartini. (Foto: Istimewa)

Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Raden Ajeng (RA) Kartini merupakan wujud perjuangan kaum Hawa melawan kesenjangan hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan.


RA Kartini merupakan seorang putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.


Ia lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879. Pada masa itu, pendidikan bukanlah hal yang utama bagi kaum perempuan. Perempuan hanya disiapkan untuk menjadi pendamping laki-laki.


RA Kartini memulai pendidikannya di ELS (Europese Lagere School). Semasa bersekolah, ia memiliki bakat dan minat yang tinggi dalam ilmu pengetahuan, namun karier pendidikannya harus terhenti karena tradisi yang dianut oleh lingkungannya pada saat itu menyatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena perempuan nantinya harus dipingit di rumah untuk kemudian menikah ketika waktunya tiba.


Meskipun tradisi menjadi penghambatnya dalam menuntut ilmu ke tingkat yang lebih tinggi, semangat RA Kartini tidak padam. Batinnya terus mendorong untuk tetap belajar dan menuntut ilmu.


Kartini Kritis dan Haus akan Ajaran Agama

Salah satu minat RA Kartini dalam belajar ialah mempelajari tentang agamanya sendiri, yakni Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Ia seringkali merasa hampa dalam beragama, sebab sejauh ini ia hanya belajar membaca Al-Qur'an tanpa mengetahui makna ayat yang dibacanya.


Suatu ketika pada tanggal 6 November 1899, ia mengirim surat kepada sahabat Belandanya, Stella E.H Zeehandelaar untuk mengungkapkan segala keluh kesahnya.


“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?” 


“Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Di sini orang juga tidak tahu Bahasa Arab. Disini orang diajari membaca Al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya”


Kritik tersebut mengindikasikan bahwa Kartini peduli terhadap substansi sebuah ilmu dan bentuk pengamalannya. Ditambah pada masa itu belum ada Al-Qur'an terjemahan dikarenakan tidak ada ulama yang berani menerjemahkan Al-Qur'an. Pengaruh kolonialisme Belanda menjadi penghambat para ulama ahli Al-Qur'an untuk mengembangkan ilmu penerjemahan Al-Qur'an.


Kartini Berguru kepada Kiai Soleh Darat 

Pertemuan RA Kartini dengan Kiai Soleh Darat (Semarang) pertama kali yakni dalam sebuah pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya RA Kartini.


Tepat pada saat itu Kiai Soleh Darat tengah mengkaji Tafsir Al-fatihah. RA Kartini begitu tertarik dengan kajian ilmu yang dibawakan Kiai Soleh Darat. Kartini terkagum, sebab selama ini ia hanya diajari membaca surat Al-Fatihah tanpa mengetahui maknanya.


Setelah pengajian tersebut, RA Kartini meminta pamannya untuk mempertemukan dirinya dengan Kiai Soleh Darat.


Berikut dialog Kartini-Kiai Sholeh. “Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog. Kiai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kiai Sholeh balik bertanya. 


“Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al-Fatihah, surat pertama dan induk Al-Qur’an. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini. 


Kiai Sholeh kembali tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan, “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” Dialog berhenti sampai di situ. Nyai Fadhila menulis Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali berucap “Subhanallah”.


Pertemuan ini juga menginspirasi Kiai Soleh Darat untuk melakukan penerjemahan Al-Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Namun, pada saat itu juga Belanda melarang ulama melakukan penerjemahan Al-Qur'an. Kiai Soleh Darat tetap melakukan upaya penerjemahan menggunakan aksara pegon agar tidak dicurigai Belanda.


Kiai Soleh Darat sempat menerjemahkan Al-Qur'an mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat Ibrahim, namun ia wafat sebelum tuntas terjemahannya. Kitab tersebut diberi nama Faidlu Rahman, RA Kartini mempelajari setiap ayat yang diterjemahkan dalam kitab tersebut dengan serius di setiap waktu luangnya.


Dari perjumpaannya dengan Kiai Soleh Darat menjadikan pemikiran RA Kartini terbuka, bahwa selama ini penjajah Belanda melarang rakyat Indonesia untuk berpendidikan adalah karena masyarakat yang berpendidikan dapat mengancam posisi Belanda pada saat itu.


Hal itu pula yang mendasari tekad RA Kartini untuk terus memperjuangkan pendidikan khususnya bagi kaum perempuan, sehingga nantinya kaum perempuan setara dalam hal pendidikan dengan laki-laki.