Jejak Pemikiran Kiai Bisri Syansuri: Dari Pancasila ke Aswaja
Jumat, 25 April 2025 | 14:00 WIB
Achmad Subakti
Penulis
Kiai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Mbah Wahab Chasbullah: Kiai Nasionalis Pendiri NU, menjelaskan bahwa menjelang Muktamar ke-25 di Surabaya pada 20–25 Desember 1971, Kiai Wahab menyerahkan amanah khutbatul iftitah kepada KH Bisri Syansuri. Hal ini dilakukan karena kondisi penglihatan Kiai Wahab sudah tidak memungkinkan beliau untuk membaca teks pidato.
Menurut Yusuf Suharto dalam tulisannya di NU Online, pidato tersebut menjadi khutbatul iftitah terakhir pada masa kepemimpinan Kiai Wahab sebagai Rais ‘Aam Partai Nahdlatul Ulama. Meski dibacakan oleh KH Bisri Syansuri, seluruh isi pidato disusun dengan sepengetahuan dan restu Kiai Wahab, serta menjadi tanggung jawab beliau sepenuhnya.
Teks pidato ini memuat hingga empat belas halaman, di dalamnya KH Bisri menyitir beberapa ayat suci Al-Qur’an yang kemudian beliau tafsirkan. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengangkat beberapa pandangan Kiai Bisri yang tercantum dalam pidato tersebut, khususnya mengenai Demokrasi, Pancasila, dan pengarusutamaan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja).
Tentang pengokohan Pancasila dan Demokrasi, Kiai Bisri berkata, "...ke dalam usaha yang lebih fundamental lagi, yakni menegakkan serta mengokohkan Pancasila dalam praktik kehidupan sehari-hari bagi bangsa dan negara Republik Indonesia sebagai bangsa dan negara yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sudah barang tentu, cara memanfaatkannya dapat ditempuh serta dituangkan dalam media-media dakwah amar makruf nahi munkar, dalam jalur politik, ekonomi, sosial, pendidikan, kebudayaan dan jalan lain yang bermanfaat, dengan menjunjung tinggi asas-asas demokrasi, perikemanusiaan dan keadilan sosial sebagaimana diajarkan oleh Pancasila sendiri."
Dan tentang bahwa yang utama itu adalah aqidah dan himmah (cita-cita) Ahlussunah wal Jamaah, Kiai Bisri menyatakan, "...Kadang-kadang, karena kita terlampau asyik, dan ghirah kita kepada bidang politik dan ekonomi sangat besar, kita sering mengesampingkan norma-norma Ahlussunnah wal Jamaah.
Tidak bisa disangkal bahwa urusan politik dan ekonomi memanglah penting dalam mengatur tata hidup kita bernegara dan bermasyarakat; tetapi norma-norma aqidah dan syariah adalah lebih mutlak, karena justru Islam meletakkan aqidah dan syariah untuk melandasi pekerjaan-pekerjaan politik, ekonomi, dan sebagainya, agar sehat dan bermanfaat bagi umat manusia pada umumnya.”
Demikian beberapa kutipan Khutbah Iftitah pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya (20-25 Desember 1971) yang disusun dan dibaca oleh Wakil Rais 'Aam PBNU KH Bisri Syansuri, yang isinya disetujui oleh Rais 'Aam PBNU KH Abdul Wahab Chasbullah.
Muktamar ke-25 NU ini menjadi momen bersejarah karena merupakan muktamar terakhir yang dihadiri oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Sepanjang sejarah NU hingga saat itu, beliau tidak pernah absen mengikuti muktamar.
Empat hari setelah berakhirnya muktamar, tepatnya pada hari Rabu, 29 Desember 1971, Kiai Wahab Chasbullah wafat di rumahnya, Pesantren Tambakberas, Jombang. Untuk menghindari kekosongan dalam kepemimpinan tertinggi NU, pada hari dan tahun yang sama, KH Bisri diangkat secara resmi sebagai Rais 'Aam. Prosesi baiat dilakukan oleh tiga tokoh penting PBNU: KH Idham Chalid, KH Saifuddin Zuhri, dan Nuddin Lubis.
Terpopuler
1
Bupati Abah Warsubi Resmikan Kantor BMT NU Jombang, Diberi Nama Rumah Pergerakan Ekonomi Nahdliyin
2
Khutbah Jumat: 5 Cara agar Tak Tergoda dengan Rayuan dan Tipuan Setan
3
Membangun dan Menguatkan Rumah Pergerakan Ekonomi Nahdliyin
4
Hukum Vasektomi menurut 4 Mazhab
5
Lailatul Ijtima MWCNU Diwek Sarana Pererat Tali Silaturahim, Kiai Hamdi Ajak Nahdliyin Kompak
6
Meriahkan Harlah, Ansor di Jombang Gelar Berbagai Kegiatan dan Lomba Bertajuk Santri Expo 2025
Terkini
Lihat Semua