• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 26 April 2024

Opini

Memahami Kepemimpinan

Memahami Kepemimpinan
Ilustrasi kepemimpinan. (Foto: Pemimpin.id)
Ilustrasi kepemimpinan. (Foto: Pemimpin.id)

Oleh: Yusuf Suharto*

Adanya kepemimpinan adalah kemutlakan yang niscaya. Dan mengharapkan pemimpin yang adil dan bijaksana adalah dambaan wajar masyarakat manusia di mana dan kapanpun berada.

Saat ini, kenyataannya masyarakat muslim sudah menjadi warga negara. Negara-negara itu bermacam-macam bentuknya, ada yang federal, republik, dan ada pula yang berbentuk kerajaan.

Muslim Indonesia otomatis menjadi warga negara Indonesia. Indonesia bukan lagi sekedar wilayah geografi tanpa pimpinan. Indonesia adalah kawasan satuan yang telah mempunyai kepala negara, dari Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibi, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono hingga saat ini, Presiden Jokowi. 

Kita mungkin bertanya-tanya, kenapa bentuk negara itu berbeda-beda, dan kenapa pula saat ini tidak disatukan dalam satu wilayah kekuasaan atau kepemimpinan?

Pertama, bahwa para ulama dari masa ke masa, dan dalam berbagai referensi tidak mewajibkan suatu bentuk negara. Berbentuk republik dengan sistem pemilu, atau berbentuk dinasti kerajaan, atau berbentuk negara federal adalah sama-sama bermakna memilih atau menegakkan kepemimpinan. Jadi, yang disepakati para ulama adalah kewajiban untuk memilih pemimpin, bukan memilih suatu bentuk pemerintahan.

Bagaimana dengan kepemimpinan tunggal umat Islam? Idealnya memang seperti itu. Jika mampu, maka kepemimpinan umat Islam itu adalah satu. Pimpinan yang satu ini dalam sejarah tercapai dalam masa yang terkategori singkat. Kepemimpinan Rasulullah, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali adalah kepemimpinan yang satu. Namun, dengan catatan bahwa pada masa Sayyidina Utsman pada paruh kedua, mulai ada masyarakat yang tidak setuju dengan kebijaksanaan beliau, dan pada masa Sayyidina Ali, Muawiyah melakukan perlawanan.

Rasulullah menyebut bahwa khilafah selepas beliau itu ada dalam masa tiga puluh tahun. Para ulama sepakat bahwa maksud khilafah (kepemimpinan pengganti) tiga puluh tahun itu adalah masa kepemimpinan secara berurutan, Abu Bakr dalam masa dua tahun, Umar dalam masa sepuluh tahun, Utsman dalam masa dua belas tahun, dan Ali dalam masa enam tahun. Ada pula ulama yang memasukkan masa enam bulan kepemimpinan Sayyidina Hasan, sebagai bagian makna khilafah tiga puluh tahun.

Pertanyaan kemudian, apakah selepas masa Khulafaur Rasyidin ini masih ada khalifah? Masih, tapi tidak berurutan. Selepas Sayyidina Hasan, tidak disebut sebagai khilafah, tapi disebut kerajaan. Karena nyatanya, selepas Muawiyah, kepemimpinan berada pada anak atau keluarga dekat.  Yazid adalah putra dari Muawiyah, dan mewarisi tahta ayahandanya. Muawiyah sendiri menyebut dirinya sebagai raja pertama dalam Islam.

Walau dalam Dinasti Umayah ini bersistem kerajaan, tapi ada juga yang terkenal dan disepakati disebut sebagai khalifah, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Disebut demikian, karena cita kepemimpinan beliau yang penuh keadilan, dan karena ada anggapan bahwa beliau adalah sosok khalifah akhir zaman, kalau bukan al-Mahdi ya hampir sesuai dengan al-Mahdi. Dari sini menjadi jelas bahwa sebutan khalifah itu bisa terjadi pada kepemimpinan dalam suatu dinasti kerajaan. Sehingga yang istilah khalifah ini dikembalikan pada substansi pokok, yaitu kepemimpinan yang dirasakan oleh umat sebagai kepemimpinan yang penuh dengan keadilan.

NU adalah organisasi berhaluan Aswaja yang senantiasa membela agama dan bangsa. Karena itu NU melawan pandangan yang bertentangan dengan ideologi negara. Hal itu dibuktikan seperti melawan dengan tegas Partai Komunis Indonesia atau PKI, dan Darul Islam (DI) hinggaTentara Islam Indonesia (TII).

Bahwa masalah kepemimpinan harus disikapi secara proporsional.  

Rasulullah wafat dan tanpa meninggalkan wasiat kepemimpinan. Beliau wafat tanpa menunjuk putra mahkota atau tanpa menunjuk pengganti, karenanya Aswaja tidak mempercayai adanya wasiat kepemimpinan itu.

Kalau ada wasiat, maka logikanya Imam Ali yang bijaksana dan pemberani pasti akan menyampaikan kepada Abu Bakar dan umat. Alih-alih menyampaikan, yang faktualnya justru Imam Ali bin Abi Thalib berbaiat kepada Sayyidina Abu Bakr, Sayyidina Umar, dan Sayyidina Utsman RA.
Dan kalau ada wasiat, maka akan dibahas dalam pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah, namun nyatanya tak ada informasi dan penyampaian wasiat dimaksud, termasuk tak ada pemahaman bahwa peristiwa ghadir khum adalah penobatan rasulullah.

Dengan demikian, tak ada satu pun sahabat dan keluarga rasulullah yang menerima atau mengaku menerima wasiat kepemimpinan. Yang ada adalah isyarat dan apresiasi dan rekomendasi keutamaan para sahabat oleh rasululullah, misalnya kepada Abu Bakr, Umar, dan Ali. 

Bagi Nahdlatul Ulama negara adalah sarana guna mencapai tujuan yaitu menjamin dan melindungi kehidupan manusia menuju maslahah ‘ammah yang selaras dengan tujuan syariat, yaitu terpeliharanya lima hak dasar manusia (al-ushulul-khams) yaitu, perlindungan agama, perlindungan jiwa (kehormatan), perlindungan akal, perlindungan keturunan dan perlindungan harta. 

Ber-NKRI bermakna telah melaksanakan perintah agama untuk memilih pemimpin. Dengan demikian, ber-NKRI adalah kemaslahatan yang nyata. Adapun pemimpin masa akhir zaman, dalam makna ketika peralihan dari tanda kiamat kecil ke tanda kiamat besar adalah kita imani, yaitu kedatangan imam mahdi yang hadits pengabarannya terhitung mutawatir ma’nan.

*Penulis adalah Tim Aswaja Center NU Jawa Timur


Editor:

Opini Terbaru