Pustaka

Santri, Nyantri, dan Tradisi Menulis

Jumat, 11 Juli 2025 | 14:00 WIB

Santri, Nyantri, dan Tradisi Menulis

Cover buku dengan judul Nyantri, Dimanapun Kapanpun Tetap Santri. (Foto: Istimewa)

Pesantren merupakan basis historis serta akar filosofis pendidikan di Indonesia itu sendiri. Pesantren diklaim sebagai institusi pendidikan yang pertama dan tertua di Indonesia. Meminjam analisis Manfred Ziemek dalam opus-nya Pesantren dalam Perubahan Sosial (1986), menegaskan pesantren sebagai embrio utama serta tonggak berdirinya sejarah pendidikan di Indonesia sampai sekarang. 


Prof Nurcholish Madjid, dalam Bilik-bilik Pesantren (2010), menyebut bahwa jika Indonesia tidak dijajah oleh kolonial Belanda, maka yang populer di Indonesia pada masa sekarang bukan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan seterusnya. Namun justru perguruan tinggi yang berbasis pondok pesantren, seperti Universitas Gontor, Universitas Lirboyo, Universitas Tebuireng, Universitas Sidogiri, Universitas Tambakberas dan sebagainya.


Faktor ketahanan (resilience) dari lembaga-lembaga pendidikan Islam Nusantara juga menarik untuk dicermati. Di Indonesia, menurut Ulil Abshar Abdalla (2021), terdapat dua jenis atau rezim pendidikan, yaitu modern dan tradisional. Pendidikan modern secara formal dibiayai 20% dari APBN, biasanya berada di daerah perkotaan, berbentuk seperti sekolah dan kampus.


Sistem kedua adalah sistem kerakyatan yang berada di daerah pedesaan, seperti pesantren, madrasah, meunasah, dayah, rangkang dan langgar. Namun tidak ada pesantren yang lahir dari patronase negara. Semua berdiri secara independen dari rakyat, dengan bantuan pemerintah yang sangat minim. Kehebatan sistem kedua ini mampu bertahan hingga sekarang dengan kurikulum yang relatif stabil dan mandiri. 


Posisi Penting

Santri adalah unsur terpenting dalam sebuah pesantren. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam The Pesantren Tradition (1999), pesantren memiliki lima unsur, yaitu kiai, santri, pondok, masjid dan pembelajaran membaca kitab kuning. Kelima elemen tersebut merupakan ciri khas khusus yang dimiliki sebuah pesantren dan membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan Islam lainnya. Kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah pesantren.


Santri, sebagaimana pendapat Clifford Geertz dalam buku The Religion of Java (1960), diidentifikasi sebagai golongan masyarakat Jawa yang menjalankan ajaran Islam secara lebih ortodoks. Mereka lebih menekankan pada pelaksanaan ritual dan norma-norma keagamaan yang formal. Kaum santri ini berbeda dengan kelompok abangan yang lebih sinkretis dan kelompok priyayi yang lebih feodal. Hal ini sebagaimana definisi Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar yang dikutip Nur Azis Muslim (2025), dimaknai sebagai insan (san) yang memiliki tiga (tri) dimensi. Baik iman, Islam maupun ihsan.


Posisi santri dalam konteks pesantren merupakan refleksi dari pancaran dan kedalaman ilmu kiai. Ini dikarenakan santri selama menimba ilmu di pesantren harus mampu meniru keteladanan kiai dalam hidup keseharian. Tidak sekadar memberikan nasihat. Tapi kiai lebih banyak memberikan teladan dengan berbagai perbuatan nyata dalam kehidupan yang dilakukan secara kontinyu. Itulah yang oleh Prof Achmad Muchibbin Zuhri (2010) disebut sebagai luru ilmu kanti lelaku.  


Posisi pesantren juga sebagai kawah candradimuka bagi para generasi muda Nusantara sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ke luar negeri. Saat Nusantara masih dijajah kolonial, bahkan hingga sekarang, menurut Zuhairi Misrawi (2010), masih menjadi asumsi bahwa belum dikategorikan alim jika belum menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir atau Mekkah-Madinah. Menimba ilmu di pesantren menjadi tahap penting bagi para calon ulama Nusantara sebelum mereka menimba ilmu ke luar negeri. 


Santri pada era digital sekarang ini adalah generasi calon penerus bangsa yang harus terus dibekali dengan kemajuan sains-teknologi. Di samping tetap harus secara kontinyu untuk menjaga ketahanan moral yang sudah diajarkan di pesantren. Pada posisi ini, pesantren adalah institusi pendidikan yang akan terus menunjukkan urgensi dan signifikansi bagi peningkatan mutu generasi milenial.


Spirit Perjuangan

Buku baru berjudul Nyantri: Dimanapun Kapanpun Tetap Santri yang ditulis M Rudi Cahyono ini patut diapresiasi. Sebagai santri asal ndeso di Kediri yang murni ingin melanjutkan pendidikan ke kota di Tulungagung. Dia mampu menghimpun berbagai pengalamannya selama menimba ilmu di pesantren menjadi sebuah buku penuh arti.


Perjuangannya untuk meraih gelar sarjana strata satu (S-1) dari kampus UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung mengharuskannya bertempat tinggal di kota marmer itu. Dan akhirnya dia memilih Pondok Pesantren Al-Bidayah Tulungagung sebagai pelabuhannya. Saat nyantri ini, beragam kisah sudah direkam dan dituangkan ke dalam tulisan secara bagus dalam buku ini.


Tentu penerbitan buku ini tidak sekadar unjuk gagah-gagahan. Atau sekadar menaikkan posisi tawar agar dikenal luas. Ada semacam atmosfir akademik yang akan terus dijaga setelah pulang dari nyantri. Bahwa seorang santri punya tanggung jawab untuk terus melakukan refleksi dalam menggugah inspirasi. Dan itu dituangkan ke dalam buku sebagai bahan referensi para santri di Nusantara.


Banyak nilai bisa diperoleh dari kisah-kisah yang ditulis. Terutama konsistensi (istiqamah) untuk terus menjadi santri. Dan ini ditulis dengan apik di bagian pertama buku Nyantri ini.


Pengalaman penulis menghadiri ulang tahun Majelis Sabilut Taubah di Karanggayam Blitar menjadi sisi menarik buku Nyantri ini. Sebagai santri ndeso yang bisa bepergian tentu akan bahagia, terlebih di tahun 2023 itu banyak hiburan disuguhkan. Mulai penyanyi dangdut Irenne Ghea, campursari Cak Percil cs, band punk Marjinal, bazar produk UMKM hingga touring pecinta motor ke makam pendiri pesantren.


Kesungguhan penulis untuk mengenang spirit perjuangan ibu yang baru meninggal dunia juga harus diacungi jempol. Dia tidak bisa melupakan momen-momen romantis saat masih bersama. Ini menjadi entry point seorang santri dalam meraih kesuksesan di masa mendatang. Tidak heran jika bagian terpenting ini menjadi penutup dalam buku ini.


Buku Nyantri ini lebih mengajak para pembaca untuk memaknai santri tidak sekadar dari untaian definisi. Tapi lebih kepada pemaknaan substantif dalam menjalani kehidupan di era serba digital ini. Terutama membawa santri menemukan posisinya agar berkontribusi positif bagi masyarakat sekitar dan peradaban manusia. 


Keberanian penulis untuk mempublikasikan berbagai pengalaman dan gagasannya ini harus terus dilestarikan. Indonesia akan kaya dengan tradisi literasi, terutama dunia menulis, saat para santri berani menuliskan pengalaman menariknya ke dalam buku. Dan, itu sudah dimulai oleh Mas Rudi Cahyono lewat buku Nyantri ini.


Identitas Buku

Judul : Nyantri, Dimanapun Kapanpun Tetap Santri
Penulis : M Rudi Cahyono
Edisi : I, Juni 2025
Penerbit : Moons Digital Media Trenggalek
ISBN : 978-634-04-0177-6
Tebal : xiv + 146 halaman
Dimensi : 14 x 21 cm

 

 

*Diresensi oleh Mukani, A’wan Ranting NU Desa Kayangan Kecamatan Diwek Jombang, pernah nyantri di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Seblak Jombang.Â