• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 19 April 2024

Bahtsul Masail

Pandangan Islam saat Jenazah Muallaf Dilarang Keluarganya Dikubur dengan Cara Islami

Pandangan Islam saat Jenazah Muallaf Dilarang Keluarganya Dikubur dengan Cara Islami
Menguburkan mayat setelah dimandikan dan dishalati. (Foto: NU Online)
Menguburkan mayat setelah dimandikan dan dishalati. (Foto: NU Online)

Deskripsi Masalah:

Muallaf adalah seorang yang baru memeluk Agama Islam dikarenakan mendapat hidayah dari Allah swt. Tidak jarang seorang muallaf karena membela akidah dan keyakinannya dikucilkan bahkan dimusuhi oleh keluarganya yang berbeda agama, karena banyak sanak saudara dari muallaf tersebut yang masih memegang teguh akidah agama non-Islam yang mengharapkan agar si muallaf kembali ke agama asal. Bahkan ketika si muallaf meninggal, urusan merawat jenazah dan menguburkannya pihak keluarga yang bukan Muslim bersikeras agar jenazah dirawat dan dikuburkan sesuai agama asal si muallaf.


Pertanyaan: 

Bagaimana sikap kaum Muslimin di wilayah tersebut jika merawat jenazah dan menguburnya secara Islam tidak diperbolehkan? 


Jawaban:

Mengupayakan mengurus jenazah secara Islami dengan cara melapor pada aparat setempat. Bila tidak memungkinkan untuk mengupayakannya, maka untuk shalat dapat dilakukan dengan cara sholat ghoib baik sebelum atau sesudah dimakamkan, namun memakamkan jenazah sebelum dishalati hukumnya tidak boleh dan bila sudah terlanjur maka bisa shalat di atas makam.

 

Memakamkan jenazah Muslim wajib menghadapkan ke arah kiblat, jika tidak demikian, mengikuti pendapat Al Qodli Abu Toyyib yang mengatakan bahwa hukum menghadapkan mayat ke arah kiblat adalah sunnah.


Referensi :


مُغْنِي الْمُحْتَاجِ إِلَى مَعْرِفَةِ مَعَانِي أَلْفَاظِ الْمِنْهَاجِ (4/ 210)
(وَ) مِنْ فُرُوضِ الْكِفَايَاتِ (الْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ) مِنْ وَاجِبَاتِ الشَّرْعِ (وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ) .... الى ان قال ..... وَالْإِنْكَارُ يَكُونُ بِالْيَدِ. فَإِنْ عَجَزَ فَبِاللِّسَانِ، وَيَرْفُقُ بِمَنْ يَخَافُ شَرَّهُ وَيَسْتَعِينُ عَلَيْهِ إنْ لَمْ يَخَفْ فِتْنَةً، فَإِنْ عَجَزَ رَفَعَ ذَلِكَ إلَى الْوَالِي. فَإِنْ عَجَزَ أَنْكَرَ بِقَلْبِهِ 


Artinya: Tahapan megingkari, pertama menggunakan tindakan, kemudian lisan. Dan apabila tidak mampu, maka melapor pada aparat setempat. Jika masih tidak mampu, maka mengingkari dengan hati.


نِهَايَةُ الْمُحْتَاجِ إِلَى شَرْحِ الْمِنْهاَجِ (2/ 485)
وَلَوْ تَعَذَّرَ عَلَى مَنْ فِي الْبَلَدِ الْحُضُورُ لِحَبْسٍ أَوْ مَرَضٍ لَمْ يَبْعُدْ جَوَازُ ذَلِكَ كَمَا بَحَثَهُ الْأَذْرَعِيُّ، وَجَزَمَ بِهِ ابْنُ أَبِي الدَّمِ فِي الْمَحْبُوسِ لِأَنَّهُمْ قَدْ عَلَّلُوا الْمَنْعَ بِتَيَسُّرِ الذَّهَابِ إلَيْهِ،

 

Artinya: Apabila seseorang di daerah sulit untuk hadir karena dipenjara atau sakit, maka diperbolehkan melakukan sholat ghoib.


نِهَايَةُ الْمُحْتَاجِ إِلَى شَرْحِ الْمِنْهاَجِ (2/ 485)
وَقَدْ أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ أَجَازَ الصَّلَاةَ عَلَى الْغَائِبِ بِأَنَّ ذَلِكَ يُسْقِطُ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إلَّا مَا حُكِيَ عَنْ ابْنِ الْقَطَّانِ، وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّ السُّقُوطِ بِهَا حَيْثُ عَلِمَ بِهَا الْحَاضِرُونَ


Artinya: Para ulama yang memperbolehkan shalat ghoib sepakat bahwa shalat ghoib bisa menggugurkan fardhu kifayah, kecuali pendapat yang diceritakan dari Ibnu Al Qhotthon. 


تُحْفَةُ الْمُحْتَاجِ (3/ 150)
(وَيَجِبُ تَقْدِيمُهَا) أَيْ الصَّلَاةِ (عَلَى الدَّفْنِ) لِأَنَّهُ الْمَنْقُولُ فَإِنْ دُفِنَ قَبْلَهَا أَثِمَ كُلُّ مَنْ عَلِمَ بِهِ وَلَمْ يُعْذَرْ وَتَسْقُطُ بِالصَّلَاةِ عَلَى الْقَبْرِ (وَتَصِحُّ) الصَّلَاةُ (بَعْدَهُ) أَيْ الدَّفْنِ لِلِاتِّبَاعِ قِيلَ: يُشْتَرَطُ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ الْمَيِّتِ اهـ وَفِيهِ نَظَرٌ لِأَنَّ عَجْبَ الذَّنَبِ لَا يَفْنَى كَمَا هُوَ مُقَرَّرٌ فِي مَحَلِّهِ

 

Artinya: Wajib mendahulukan shalat atas pemakaman, namun shalat di atas makam hukumnya sah dan bisa menggugurkan kewajiban.


اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ (5/ 293)
وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي كِتَابِهِ الْمُجَرَّدِ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ بِهِ مُسْتَحَبٌّ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَالصَّحِيحُ الْأَوَّلُ وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُضْجَعَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْمَنِ فَلَوْ أُضْجِعَ عَلَى جَنْبِهِ الْأَيْسَرِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ جَازَ وَكَانَ خِلَافَ الْأَفْضَلِ لِمَا سَبَقَ فِي الْمُصَلِّي مُضْطَجِعًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

 

Artinya: Dalam kitab Al Mujarrod Al Qodli Abu Al Thoyyib berpendapat bahwa menghadapkan orang mati ke arah kiblat hukumnya tidak wajib.


Bahtsul Masail Terbaru