Syariah

Hukum Membaca Takbir di Luar Waktunya

Senin, 17 Juni 2024 | 07:41 WIB

Hukum Membaca Takbir di Luar Waktunya

Anak-anak muda sedang membaca takbir pada hari raya 'id. (Foto: NU Online Jatim)

Allah begitu banyak memberikan anugerah kepada kita, dalam bentuk memberikan amalan-amalan pada bulan yang mulia ini. di antaranya adalah hari Tasyrik, yaitu tanggal 11 sampai 13 pada bulan Dzulhijjah.

 

Hari tasyrik disebut hari makan karena pada hari itu diharamkan berpuasa dan juga disebut hari zikir, karena pada hari-hari ini umat Islam selain orang yang berhaji dianjurkan berzikir dan membaca takbir. Takbir di sini adalah takbir muqayyad artinya takbir yang dibaca setelah shalat, baik shalat wajib ataupun shalat sunnah.


Para ulama telah membuat rumusan, bahwa takbir yang dikumandangkan di luar shalat dan khutbah terbagi menjadi dua, takbir mursal dan takbir muqayyad. Takbir mursal adalah takbir yang tidak yang tidak dibatasi, artinya takbir yang dikumandangkan bukan setelah melakukan shalat. Takbir ini dilakukan mulai terbenamnya matahari dari malam hari raya baik Idul Fitri ataupun Idul Adha sampai shalat id dilaksanakan.


Sedangkan takbir muqayyad adalah takbir yang dikumandangkan setelah shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Takbir ini dimulai dari setelah pelaksanaan shalat Subuh pada hari Arafah atau tanggal 9 Dzulhijjah sampai dengan setelah shalat Ashar pada hari Tasyrik terakhir.


Takbir muqayyad ini didasarkan pada sebuah hadits, yaitu:


كَانَ يُكَبِّرُ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ، بَعْدَ صَلَاةِ الصُّبْحِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى مَا بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ


Artinya "Bahwa Nabi Muhammad mengumandangkan takbir setelah menunaikan setiap shalat, yaitu setelah shalat Subuh pada hari Arafah hingga setelah melakukan shalat Ashar pada hari Tasyrik terakhir." 


Selanjutnya, bagaimanakah mengumandangkan takbir di luar waktunya? Seperti mengumandangkannya sebelum shalat.


Pada dasarnya takbir adalah zikir sehingga ketika dikumandangkan tentu hukumnya boleh-boleh saja, sebagaimana melakukan shalat witir secara jamaah, padahal tidak disunnahkan. Atau dalam permasalahan membaca keras bacaan shalat di waktu yang disunnahkan lirih. 


Dalam kebolehannya, Imam Abdurrohman bin Muhammad bin Husein mensyaratkan jika tidak berbarengan dengan hal-hal yang diharamkan, seperti menyakiti kepada orang lain, menimbulkan persepsi orang awam bahwa hal itu disyariatkan.


Sebagaimana disebutkan dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 136:


:(مسألة: ب ك)

تُبُاحُ الْجَمَاعَةُ فِيْ نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلَا كَرَاهَةَ فِيْ ذَلِكَ وَلَا ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ، وَأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَةِ الْحَسَنَةِ، فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِيْ مَوْضِعِ الْإِسْرَارِ الَّذِيْ هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأُوْلَى مَا أَصْلُهُ الْإِبَاحَةُ، وَكَمَا يُثَابُ فِي اْلمُبَاحَاتِ إِذَا قَصَدَ بِهَا الْقُرْبَةَ كَالتَّقَوِّي بِاْلأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ، هَذَا إِذَا لَمْ يَقْتَرِنْ بِذَلِكَ مَحْذُوْرٌ، كَنَحْوِ إِيْذَاءٍ أَوْ اِعْتِقَادِ الْعَامَّةِ مَشْرُوْعِيَّةَ الْجَمَاعَةِ وَإِلَّا فَلَا ثَوَابَ بَلْ يَحْرُمُ وَيُمْنَعُ مِنْهَا


Artinya, “Diperbolehkan melaksanakan shalat witir, tasbih atau sesamanya, sehingga tidak makruh dan tidak mendapatkan kesunnahan. Akan tetapi bila tujuannya adalah memberikan pengajaran dan memberikan dorongan kepada orang-orang shalat, maka akan mendapatkan pahala atas niat baiknya. Sebagaimana diperbolehkan membaca keras bacaan shalat dalam waktu lirih, yang mana hukumnya adalah makruh apalagi untuk perkara yang asalnya mubah. Sebagaimana seseorang akan mendapatkan pahala melakukan perkara mubah dengan tujuan ibadah, seperti makan dengan tujuan agar kuat beribadah. Dengan syarat apabila hal ini tidak berbarengan dengan hal-hal yang diharamkan, seperti menyakiti orang lain, menimbulkan anggapan bagi orang awam bahwa hal tersebut disyariatkan. Apabila demikian maka hukumnya haram."


Kesimpulan dari kajian di atas, membaca takbir di luar waktunya adalah boleh jika tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan anggapan bagi orang awam bahwa hal tersebut disyariatkan. Wallahu a’lam bishshawab.



*Ditulis oleh Ahmad Faiz, Redaktur Keislaman NU Online Jombang, Pengajar di Pesantren Tarbiyatunnasyiin, Jombang.