Syariah

Hukum dan Asal Mula Anjuran Shalat Tarawih

Selasa, 4 Maret 2025 | 18:54 WIB

Hukum dan Asal Mula Anjuran Shalat Tarawih

Ilustrasi shalat tarawih berjamaah. (Foto: Freepik)

Shalat tarawih adalah shalat yang dilakukan khusus pada malam bulan Ramadhan. Shalat ini dianjurkan karena memiliki keutamaan, yaitu pengampunan dosa-dosa yang telah lalu, bagi yang melaksanakannya dengan iman dan ikhlas.


Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:


مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ


Artinya, “Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).


Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah sunnah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Anjuran ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang keutamaan menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah, salah satunya dengan melaksanakan shalat tarawih.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
 

Artinya, “Dari Abi Hurairah radliyallahu 'anhu Rasulullah gemar menghidupkan bulan Ramadhan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: ‘Barangsiapa yang melakukan ibadah (shalat tarawih) di bulan Ramadhan hanya karena iman dan mengharapkan ridha dari Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat.” (HR Muslim).


Para ulama sepakat bahwa “qâma ramadlâna” dalam hadits tersebut merujuk pada shalat tarawih. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai jenis dosa yang diampuni tersebut.


Melansir dari NU Online, al-Imam al-Haramain berpendapat, jenis dosa yang diampuni ialah dosa kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara bertaubat.


Sementara pendapat lain, menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “mâ” (dosa) dalam hadits tersebut termasuk kategori lafadz ‘âm (kata umum) yang berarti mencakup segala dosa, baik kecil atau besar.


Sejarah Shalat Tarawih
Shalat tarawih awalnya dikerjakan Rasulullah SAW pada tanggal 23 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah. Namun, Rasulullah tidak selalu melakukannya di masjid, terkadang melakukannya di rumah. Ketika melihat antusiasme para sahabat, Rasulullah menghentikan shalat tarawih berjamaah di masjid karena khawatir shalat ini akan diwajibkan bagi umatnya.

 
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ 


Artinya, “Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, 'Sungguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, 'Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim).


Rasulullah melaksanakan shalat tarawih di awal-awal malam bulan Ramadhan. Namun, karena melihat semangat para sahabat yang begitu besar, Rasulullah mengurungkan niatnya untuk melanjutkan shalat tarawih berjamaah di masjid pada malam ketiga atau keempat. Ada dua alasan mengapa Rasulullah melakukan hal tersebut:


Pertama, Nabi khawatir Allah akan menurunkan wahyu yang mewajibkan shalat tarawih, dikhawatirkan nantinya akan memberatkan umat Islam yang mungkin tidak sesemangat dengan para sahabat.


Kedua, Nabi takut umat Islam akan salah paham dan mengira shalat tarawih adalah wajib karena Nabi selalu melakukannya. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, yang menyatakan bahwa jika Nabi melakukan suatu amal kebaikan secara terus-menerus dan diikuti oleh umatnya, maka amal tersebut bisa dianggap wajib.


أَنَّهُ إِذَا وَاظَبَ عَلَى شَيْء مِنْ أَعْمَال الْبِرّ وَاقْتَدَى النَّاس بِهِ فِيهِ أَنَّهُ يُفْرَض عَلَيْهِمْ


Artinya, “Sesungguhnya Nabi ketika menekuni suatu amal kebaikan dan diikuti umatnya, maka perkara tersebut telah diwajibkan atas umatnya.”


Dengan kata lain, Nabi sangat menyayangi umatnya dan tidak membebani dengan kewajiban yang berat. Nabi lebih memilih untuk menjaga agar shalat tarawih tetap menjadi sunah yang dianjurkan, bukan kewajiban yang memberatkan.


Shalat Tarawih pada masa Umar Bin Khattab dan Abu Bakar
Shalat tarawih pada masa Umar bin Khattab dilaksanakan dengan 20 rakaat tanpa witir, dan hal ini disepakati oleh mayoritas sahabat. Kesepakatan ini dipegang oleh mayoritas ulama dari berbagai mazhab hingga saat ini. Meskipun demikian, ada perbedaan pendapat di kalangan mazhab Maliki, yang berdasarkan riwayat Imam Malik bin Anas, menyatakan bahwa shalat tarawih bisa dilakukan lebih dari 20 rakaat, bahkan hingga 36 rakaat.


Di masa Khalifah Abu Bakar, umat Islam melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri atau berkelompok kecil. Belum ada shalat tarawih berjamaah dengan satu imam di masjid, dan jumlah rakaatnya pun belum ditetapkan secara jelas. Beberapa sahabat melaksanakan 8 rakaat saja kemudian melengkapinya di rumah.


Perubahan terjadi pada masa Umar bin Khattab. Ia menginisiasi shalat tarawih berjamaah di masjid setelah melihat umat Islam melaksanakan shalat tarawih secara tidak teratur. Ia mengumpulkan mereka di belakang satu imam, yaitu Ubay bin Ka'ab, dan melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat.


عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ


Artinya, “Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu 'anhu ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid'ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah).” (HR Bukhari).


Hal ini didukung oleh hadits yang menjelaskan bahwa para sahabat melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat di masa Umar bin Khattab. Inisiatif Umar ini disetujui dan diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, sehingga menjadi kesepakatan (ijma') para sahabat.

   عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا النَّاسُ فِي رَمَضَانَ يُصَلُّونَ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا هَؤُلَاءِ ؟ فَقِيلَ: هَؤُلَاءِ نَاسٌ لَيْسَ مَعَهُمْ قُرْآنٌ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ يُصَلِّي وَهُمْ يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَابُوا وَنِعْمَ مَا صَنَعُوا


Artinya, “Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anh, beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dan melihat banyak orang yang melakukan shalat di bulan Ramadhan (tarawih) di sudut masjid. Beliau bertanya, ‘Siapa mereka?’ Kemudian dijawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai Al-Qur’an (tidak bisa menghafal atau tidak hafal Al-Qur’an). Dan sahabat Ubay bin Ka'ab pun shalat mengimami mereka, lalu Nabi berkata, ‘Mereka itu benar, dan sebaik-baik perbuatan adalah yang mereka lakukan.” (HR Abu Dawud).


عَنْ يَزِيدَ بْنِ رُومَانَ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَرضي الله عنه فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ رَكْعَةً


Artinya, “Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar radhiyallahu ‘anh di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir).” (HR Malik).


Bukti lain dari keterangan tersebut adalah hadist yang diriwayatkan Sa’ib bin Yazid:


عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ: كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً (رواه البيهقي وَصَحَّحَ إِسْنَادَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ) ـ


Artinya, “Dari Sa’ib bin Yazid, ia berkata, ‘Para sahabat melaksanakan shalat (tarawih) pada masa Umar ra di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat,” (HR. Al-Baihaqi, sanadnya dishahihkan oleh Imam Nawawi dan lainnya).


Inisiatif Umar ini dianggap wajar karena beliau dikenal sebagai sahabat yang sangat dekat dengan Nabi dan mendapat pengakuan langsung dari Nabi tentang kebenaran yang ada pada lisannya dan hatinya. Nabi juga menganjurkan umatnya untuk mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin, termasuk Abu Bakar dan Umar.


أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِنَّ اللهَ جَعَلَ الْحَقَّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ 


Artinya, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati umar.” (HR. Turmudzi).


وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي عُضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَقَالَ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ) ـ


Artinya, “Dan sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelah aku meninggal, maka berpegang teguhlah padanya dengan erat.”