Syariah

Harmoni dalam Keberagaman, Realitas Fiqih dan Sikap Keseharian

Senin, 12 Mei 2025 | 09:00 WIB

Harmoni dalam Keberagaman, Realitas Fiqih dan Sikap Keseharian

Ilustrasi keluarga Muslim bersilaturahim. (Foto: Freepik)

Sikap Gus Dur yang menghargai perbedaan demi terciptanya sebuah kedamaian bangsa patut menjadi pembelajaran yang berharga.


Dalam realitas fiqih, perbedaan adalah sebuah keniscayaan sebagai bentuk pilihan dan kekayaan berpikir.


Kematangan ilmu dan kedewasaanlah yang akhirnya menunjukkan jalan harmoni dalam keberagaman. 


Fakta fiqih menunjukkan bahwa harmoni dalam keberagaman menyuguhkan sebuah sikap toleran, penerimaan, dan keinginan untuk tetap menghargai perbedaan tanpa harus menciptakan kegaduhan, sehingga tetap ada pilihan pilihan sikap untuk tetap bersatu sepanjang tidak esensial.


Syekh Zainuddin Almalibari dalam kitab Fathul Mu'in menulis sebuah fakta hukum sebagai berikut:


Apabila ada seorang imam tidak membaca qunut, maka bagi makmum diberi dua alternatif yang dapat dipilih. 


Pertama, tetap membaca qunut. Alternatif kedua, mengikuti imam sujud, lalu selanjutnya sunnah sujud sahwi setelah imam salam bila faktanya imam tidak melakukan sujud sahwi.


Tidak wajib mufaroqah atau memisahkan diri dari imam hanya gegara tidak qunut. Karenanya jamaah haji Indonesia yang qunut tidak perlu membuat jamaah tersendiri hanya gegara imam Masjidil Haram dan Nabawi tidak qunut.


Sehingga masyarakat yang harmoni cenderung memiliki tingkat konflik yang lebih rendah.


Harmoni dalam perbedaan menjadi perlu dipertahankan dengan cara berupaya menghargai perbedaan, toleransi, dan empati.


Dengan perbedaan yang terkelola ini pada gilirannya akan menjadi sebuah kekayaan.


Jangan lantas yang berbeda harus dipinggirkan bahkan dimusnahkan.


Cara seperti ini adalah cara kampungan yang sama sekali tidak menunjukkan kematangan ilmu dan kedewasaan apalagi ciri seorang mujaddid yang moderat.


Harmoni dalam perbedaan ini sesungguhnya berpulang pada sabda agung yang menjadi acuan dari sebuah grand design perbedaan yang terlokalisir:


اختلاف أمتي رحمة


Artinya, "Perbedaan umatku (ulama ku) adalah rahmat" 


Nahdlatul Ulama yang digambarkan sebagai pesantren besar bukanlah sembarang gambaran.


Di samping menilik dari faktor historis juga filosofis.


Pesantren yang menjadi akar budaya dan basis Nahdlatul Ulama sejak dulu punya keragaman yang adaptif dengan lingkungan di mana ia berada, sehingga pesantren satu dengan pesantren yang lain sangat mungkin mempunyai kultur dan ciri khas yang beragam sebagai simbol identitas. 


Dan semua ini justru menjadi kekuatan sekaligus kekayaan yang berharga.


Karena itu, Nahdlatul Ulama tidak boleh tercerabut dari gambaran besar tersebut. Nahdlatul Ulama kian kuat dan menjadi jamiyah yang selalu adaptif karena sikap moderatnya tentu tak bisa dilepaskan dari pesantren sebagai basis Nahdlatul Ulama dan akar budaya. 



*KH M Sholeh, tokoh NU Jombang, aktif mengajar di beberapa Ma'had Aly dan pondok pesantren di Jombang.