• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Jumat, 26 April 2024

Daerah

Mengenal Sosok KH Mochammad Nadjib yang Sederhana dan Disiplin

Mengenal Sosok KH Mochammad Nadjib yang Sederhana dan Disiplin
KH Mochammad Nadjib, Putra Ketiga KH Abdul Wahab Hasbullah (Foto: Google.com)
KH Mochammad Nadjib, Putra Ketiga KH Abdul Wahab Hasbullah (Foto: Google.com)

NU Online Jombang,

KH Mochammad Nadjib Abdul Wahab, putra ketiga KH Abdul Wahab Hasbullah ini lahir di Jombang pada tanggal 9 September 1927. Sebagai seorang anak yang dilahirkan di lingkungan pesantren, sejak kecil ia sudah terbiasa dengan pendidikan Al-Quran dan beberapa kitab yang diajarkan melalui Madrasah Mubdil Fan. 

 

KH Mochammad Nadjib mempelajari sedikit demi sedikit kitab-kitab yang dikaji oleh para santri pondok pesantren Tambakberas. Mulai dari kitab Fathul Qhorib, Fathul Wahab, Ushul Fiqih hingga bahasa Arab adalah kitab yang beliau pelajari dibawah bimbingan langsung KH Abdul Wahab Hasbullah.

 

Tak Cuma Mondok, Tetapi juga Ngalap Berkah Kiai Hingga Raih Cumlaude 

Setelah sekian tahun belajar dengan bimbingan para Kiai, muncul hasrat KH Mochammad Nadjib untuk mengembangkan pengetahuannya. Atas restu dari KH Wahab Hasbullah, Ia pun berangkat ke Pesantren Tebuireng Jombang untuk nyantri dan belajar pada hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari.

 

Setelah empat tahun di Tebuireng, dengan restu Mbah Hasyim pula, beliau melanjutkan pengembaraanya ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang dibawah bimbingan KH Abdul Manaf atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Karim.

 

Di pesantren ini, Ia mengaji dan menggali ilmu tasawuf serta ilmu lainnya selama dua tahun. Dengan seizin Mbah Karim, Ia kemudian meneruskan nyantri di Pesantren Langitan Tuban, dilanjutkan ke Pesantren Pabelan Magelang, kemudian ke Pesantren Karang Ampel Cirebon.

 

Lebih dari itu, Ia juga ngaji kilatan di pesantren-pesantren lainnya. Di samping menimba ilmu, KH Mohammad Nadjib juga memperbanyak guru dan ngalapi barokah dari para Kiai.

 

Di samping dunia pesantren, KH Mochammad Nadjib juga mendapat restu KH Abdul Wahab Hasbullah untuk melanjutkan pendidikan Kulliyatul Muballighin. 

 

Selama mengikuti pendidikan tersebut, Ia berkesempatan aktif di berbagai organisasi. Berkat kecerdasan dan kesederhanaannya, Ia mampu melebur serta mewarnai organisasi kepemudaan dan ke-NU-an.

 

KH Mochammad Nadjib lantas melanjutkan studinya pada program studi Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta sampai pada tahun 1955.

 

Tekad KH Mochammad Najib memang tiada habisnya dalam menimba ilmu. Dengan niat hikmah dan tekad yang kuat inilah Ia memohon restu pada ayahandanya untuk meneruskan studinya ke luar negeri. 

 

Dengan restu KH Abdul Wahab Hasbullah, akhirnya beliau dikirim belajar ke Al-Azhar Kairo pada tahun 1956. Beliau mengambil spesialisasi hukum perbandingan madzab dan hukum internasional.

 

Pada tahun 1961, beliau kembali ke Indonesia setelah menuntaskan masa belajar di Al-Azhar selama 5 tahun dan berhasil menjadi mahasiswa dengan predikat cumlaude.

 

Piawai Berorganisasi 

Pada tahun 1953, ketika KH Mochammad Nadjib berusia 26 tahun, Ia menjadi sekretaris Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah Jawa Tengah. Dan karena keaktifannya, Ia terpilih sebagai koordinator HIPPI Timur Tengah membawahi negara-negara Arab, Irak, dan Lebanon.

 

Selain itu, saat dirinya tengah menuntut ilmu di Mesir, Ia menjadi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI).

 

Saat Muktamar NU di Situbondo (1984), KH Mochammad Nadjib dipilih sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU. Kemudian pada tanggal 2 September 1985, melalui konferensi kerja NU wilayah Jawa Timur di Bettet, Pamekasan, secara aklamasi dirinya dipilih sebagai Rais Syuriah NU Jawa Timur untuk menggantikan KH Machrus Ali yang meninggal dunia.

 

Beliau juga sempat memimpin RMI (Robithoh Ma'ahid Islamiyyah) pusat, yang kemudian atas inisiatifnya, diadakanlah pekan Ma'ahid se-Indonesia di Tambakberas.

 

Di sisi lain, perjalanan organisasi Ia terus berlanjut dan semakin menguat. Terbukti dengan terpilihnya Ia sebagai anggota DPR-GR pada tahun 1962 dan anggota MPR pada tahun 1971. 

 

Pada tahun 1977 setelah meninggalnya KH Abdul Fattah Hasyim, beliau kembali ke Tambakberas untuk mengabdi serta memimpin Pesantren Tambakberas. 

 

A Azam Khoiruman Najib, putra keenam KH Mochammad Nadjib menuturkan, bahwa ayahnya adalah seseorang yang sangat sederhana. Terbukti, ketika menghadiri rapat di kantor Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim, beliau tidak menggunakan kendaraan pribadi melainkan menggunakan transportasi umum, yaitu bus.

 

"Kalau rapat itu yaa naik bis umum ke Surabaya, nanti turun ganti bus antar kota," tutur Gus Heru sapaannya.

 

Mendapat Penghargaan dari Presiden Mesir

Pada saat di Mesir, Ia pernah pernah menjuarai sayembara keilmuwan atau yang biasa disebut dengan istilah "Idul Ilmi". Lomba keilmuan yang diikuti oleh seluruh Mahasiswa mesir serta mendapatkan tanda penghargaan dari Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser.

 

Saat KH Mochammad Nadjib memimpin Pondok Pesantren Tambakberas, Ia berupaya meningkatkan mutu dan kualitas santri juga Pesantren Tambakberas sehingga jumlah santri mengalami peningkatan pesat. Sistem keorganisasian dan administrasi pun tak luput dari perhatian beliau.

 

Sejak saat itulah muncul istilah Rais Khos (Ketua Komplek), corps dakwah, pengajian sentral mala selasa, struktur ta'mir masjid. Dalam kepemimpinannya pula dirintislah Akademi Bahasa Asing (ABA) yang merupakan cikal bakal Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI).

 

Tutup Usia

Pada Jumat 16 Oktober 1987, sehari setelah memimpin rapat gabungan harian Tanfidziyah-Syuriah NU Jawa Timur di kantor NU Surabaya dan Turun Kebawah (Turba) ke Pasuruan, KH Mochammad Nadjib jatuh sakit karena keletihan dan kesehatannya kian berkurang sehingga harus dirawat di RSUD Jombang. 

 

Tepat pukul 10.30 WIB pada hari Selasa tanggal 20 Oktober 1987 kesehatannya tidak tertolong lagi dan menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 60 tahun.

 

Gus Heru mengenang ayahnya sebagai sosok yang disiplin, teratur, dan sederhana.

 

"Keakrabannya pula sangat terkenang," tandasnya.

 

Al Fatihah untuk KH Mochammad Nadjib.


Daerah Terbaru