Hikmah

Peristiwa Agung di Bulan Rajab, Nur Nubuwah Rasulullah Mulai Diletakkan dalam Rahim Ibundanya

Ahad, 19 Januari 2025 | 18:00 WIB

Peristiwa Agung di Bulan Rajab, Nur Nubuwah Rasulullah Mulai Diletakkan dalam Rahim Ibundanya

Ilustrasi nama Nabi Muhammad saw. (Foto: Dok NU Online)

Di balik bulan-bulan suci, tersimpan kisah-kisah luar biasa. Bulan Rajab salah satunya. Para sejarawan Muslim telah mencatat bahwa salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada bulan Rajab adalah penciptaan Nur Muhammad, cahaya kenabian yang agung, di dalam rahim Siti Aminah, ibunda Nabi Muhammad saw.


Sebagaimana dijelaskan dalam artikel NU Onlin yang ditulis oleh Muhammad Abror disebutkan salah satu catatan Syekh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani dalam kitabnya, Al-Anwârul Muḫamamdiyah (yang disarikan dari kitab Mawâhibul Laddûniyah), pada malam Jumat di bulan Rajab ketika hendak menitipkan Nabi Muhammad dalam rahim Siti Aminah, Allah swt memerintahkan Malaikat Ridwan (malaikat penjaga pintu surga) untuk membuka pintu Surga Firdaus sebagai bentuk penghormatan.


Pada malam itu juga, terdengar seruan malaikat yang terdengar di langit dan bumi, “Perhatian, sesungguhnya cahaya suci yang sejatinya adalah Nabi Muhammad, pada malam ini sudah berada dalam rahim Aminah. Muhammad adalah sosok yang mempunyai akhlak mulia yang sempurna dan diutus sebagai pembawa kabar gembira sekaligus peringatan. (Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Al-Anwârul Muḫamamdiyah, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1997], h. 15). 


Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai waktu konsepsi Nabi Muhammad dalam kandungan ibunya, Sayyidah Aminah. Namun  menurut Syekh Az-Zurqani dalam Syarah Mawâhibul Laddûniyah, berpendapat jika merujuk pendapat ulama yang mengatakan Nabi lahir pada bulan Rabi’ul Awwal, maka jelas Nabi berada dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan dengan dimulai dari Rajab. Dan ini pendapat tersebut dinilai sahih. (Az-Zurqani, Syarah Al-Mawahibul Ladduniyah, [Maktabah Syamilah Online], juz I, h. 257).


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Siti Aminah menceritakan bahwa saat mengandung Nabi Muhammad, ia mendengar suara tanpa rupa yang memberinya kabar gembira bahwa ia akan melahirkan seorang pemimpin umat.  “Sungguh engkau sedang mengandung seorang pemimpin umat.”


Lalu Siti Aminah berkata, “Aku tidak merasa bahwa diriku sedang hamil, juga tidak merasakan berat sebagaimana yang dirasakan oleh wanita hamil pada umumnya. Hanya saja, aku merasa janggal karena aku tidak mengalami datang bulan (salah satu ciri-ciri wanita hamil).” (Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, h. 15). 


Kesucian Nasab Nabi Muhammad

Nabi Muhammad memiliki kesucian nasab yang terpelihara sejak zaman Nabi Adam as. Ketika Allah menciptakan Siti Hawa untuk menjadi pendamping Nabi Adam, keduanya pun menjalin hubungan hingga memiliki beberapa keturunan.


Mengenai nur Muhammad, Nabi Adam as sudah berwasiat kepada anaknya agar tidak sembarangan memberikan nur tersebut kecuali pada wanita suci.


Mengenai nur kenabian Muhammad yang akan datang, Nabi Adam as telah memberikan pesan kepada anak-anaknya. Ia berwasiat agar nur tersebut hanya diberikan kepada wanita yang suci. Dengan demikian, garis keturunan kenabian Muhammad akan tetap terjaga kemurniannya.


Nur Muhammad yang awalnya ada pada Nabi Adam as kemudian berpindah ke salah satu putra Nabi Adan yakni Nabi Syit. Nabi Syit juga berpesan agar nur tersebut  hanya diberikan kepada wanita tidak sembarangan. Pesan ini terus dipatuhi oleh keturunannya hingga sampai ke Abdul Muthalib dan kemudian ke Abdullah, ayah Nabi Muhammad. Allah selalu menjaga garis keturunan Nabi agar tetap suci.


Terdapat banyak sekali hadits secara tegas menyatakan bahwa nasab Rasulullah saw telah terjaga dengan baik sejak zaman Nabi Adam as. Salah satu hadits yang mendukung pernyataan ini adalah sabda beliau, sebagai berikut:


خَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ وَلَمْ أَخْرُجْ مِنْ سِفَاحٍ مِنْ لَدُنْ آدَمَ إِلَى أَنْ وَلَدَنِي أَبِي وَأُمِّي, لَمْ يُصِبْنِي مِنْ سِفَاحِ الْجَاهِلِيَّةِ شَيْءٌ


Artinya, “Aku lahir dari nikah dan aku tidak dilahirkan dari luar nikah sejak dari Adam hingga sampai aku dilahirkan oleh kedua orang tuaku, dan aku tidak menyentuh dari pernikahan orang-orang jahiliyah pada apapun.” (HR ath-Thabrani) (Ahmad bin Muhammad al-Qastalani, Mawâhibul Laddûniyah, [Bairut: Al-Maktab al-Islami, 2004], juz I, h. 85)


Berbagai literatur mencatat bahwa pernikahan kakek-kakek Nabi hingga ayahnya sudah mendapat petunjuk langsung dari Allah swt. Sebab, selalu ada hal-hal aneh yang terjadi menjelang hari pernikahannya. 


Suatu malam, Abdul Muthalib terbangun dengan keheranan. Wajahnya terlihat lebih menarik dan berwibawa dari biasanya. Bingung dengan perubahan yang dialami, ia pun meminta bantuan dukun-dukun Quraisy. Pada masa itu, masyarakat Arab sering meminta petunjuk pada dukun jika terjadi hal-hal yang dianggap aneh.


Setelah mendatangi beberapa dukun, Abdul Muthalib menerima petunjuk bahwa ia telah tiba pada usia yang tepat untuk menikah. Mengikuti saran para dukun, ia pun mempersunting Qilah dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Harits. Namun, takdir berkata lain, Qilah meninggal dunia. Tidak lama kemudian, Abdul Muthalib kemudian menikah lagi dengan seorang wanita bernama Hindun binti ‘Amr.


Menurut Al-Qastalani, peristiwa ganjil yang dialami Abdul Muthalib disebabkan karena nur Muhammad masuk ke dalam diri Abdullah. Sejak saat itu badannya bau minyak misik. Bahkan ketika orang Quraisy sedang dilanda paceklik, mereka akan meminta bantuan Abdul Muthalib untuk memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Dengan keberkahan nur Muhammad, hujan pun turun dengan begitu derasnya. (Ahmad bin Muhammad al-Qastalani, juz I, h. 97-98).


Pernikahan Abdullah dengan Siti Aminah 
Mengutip riwayat Ibnu Ishaq, Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidâyah wan Nihâyah, dikisahkan Abdul Mutalib bersama putranya, Abdullah, pernah bertemu dengan Ummu Qannal, saudara perempuan Waraqah bin Naufal, dalam perjalanan menuju Wahab bin Abdu Manaf, ayah Siti Aminah. Ada beberapa versi nama untuk wanita ini, yaitu Ummu Qannal, Qutailah, atau Fathimah binti Murrin al-Khtas’amiyah.


Ummu Qannal, seorang wanita yang  pandai membaca kitab suci sebagaimana Waraqah bin Naufal. Ia melihat ada nur nubuwah (cahaya kenabian) pada Abdullah. Karena terpesona, ia mencoba merayu Abdullah untuk tidur dengannya dan sebagai imbalannya. Ia menjanjikan akan memberikan seratus ekor unta. Ummu Qannal sadar bahwa jika dia berhubungan intim dengan Abdullah, nur nubuwah akan berpindah padanya. Abdullah dengan tegas menolak permintaan itu, karena menurutnya tindakan tersebut sangat tidak terhormat dan tidak pantas.


Abdullah pun melanjutkan perjalanan bersama ayahnya, Abdul Muthalib, hingga bertemu dengan calon mertuanya, Wahab bin Abdu Manaf. Ringkas kisah, Abdullah menikah dengan Aminah, seorang perempuan sangat terhormat di tengah-tengah kaumnya saat itu. Sejak berhubungan dengan Aminah, nur nubuwah yang ada pada diri Abdullah berpindah ke istrinya yang kemudian terlahir sebagai sang baginda Nabi Muhammad saw. (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wan Nihâyah, [Giza: Dar Hajar, 1997], juz III, h. 348-349).