Syariah

Pekerja Berat Bolehkah Tak Berpuasa? Berikut penjelasannya

Rabu, 12 Maret 2025 | 18:50 WIB

Pekerja Berat Bolehkah Tak Berpuasa? Berikut penjelasannya

Ilustrasi petani sedang bekerja di persawahan. (Foto: Freepik)

Mencari pekerjaan memang kadang sangat sulit, sehingga pekerjaan apapun akan ditempuh demi untuk bisa mempertahankan hidup atau karena tuntutan menafkahi keluarga, walaupun dalam keadaan puasa Ramadhan.


Namun demikian, di lapangan banyak pekerja yang tidak berpuasa agar dapat bekerja dengan maksimal. 


Sebenarnya bagaimanakah fikih menyikapi perihal puasa bagi pekerja berat?


Puasa Ramadhan merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan tanpa sebab yang jelas. Namun di sisi lain, mencari nafkah juga merupakan kewajiban seorang kepala rumah tangga, demi bisa menafkahi keluarganya.


Menyikapi hal ini, Imam Abdurrohman Bin Muhammad Bin Husein merangkum beberapa syarat yang telah dirumuskan oleh para ulama.


Dalam kitab Bughyah-nya, beliau menyebutkan ada enam syarat yang harus terpenuhi bagi pekerja berat agar boleh membatalkan puasanya:


مسئلة. لَا يَجُوْزُ الْفِطْرُ لِنَحْوِ الْحَصَّادِ وَجَذَّاذِ النَّخْلِ وَالْحَرَّاثِ اِلَّااِنِ اجْتَمَعَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ وَحَاصِلُهَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ كَلَامِهْمِ سِتَّةٌ اَنْ لَا يُمْكِنَ تَأْخِيْرُ الْعَمَلِ اِلَى شَوَّالٍ وَاَنْ يَتَعَذَّرَ الْعَمَلُ لَيْلًا اَوْلَمْ يُغْنِهِ ذَلِكَ فَيُؤَدِّىْ اِلَى تَلَفِهِ اَوْنَقْصِهِ نَقْصًا لَايَتَغَابَنُ بِهِ وَاَنْ يَشُقَّ عَلَيْهِ الصَّوْمُ مَشَقَّةً لَاتُحْتَمَلُ عَادَةً بِاَنْ تُبِيْح َالتَّيَمُّمَ اَوِالْجُلُوْسَ فِي الْفَرْضِ خِلَافًا لِابْنِ حَجَرٍ وَاَنْ يَنْوِيَ لَيْلًا وَيُصْبِحَ صَائِمًا فَلَا يُفْطِرُ اِلَّاعِنْدَ وُجُوْدِ الْعُذْرِ وَاَنْ يَنْوِيَ التُّرَخُّصَ بِالْفِطْرِ لِيَمْتَازَ الْفِطْرَ الْمُبَاحَ عَنْ غَيْرِهِ كَمَرِيْضٍ اَرَادَ الْفِطْرَ لِلْمَرَضِ فَلَابُدَّ اَنْ يَنْوِيَ بِفِطْرِهِ الرُّخْصَةَ اَيْضًا وَاَنْ لَايَقْصِدَ ذَلِكَ الْعَمَلَ وَتَكْلِيْفَ نَفْسِهِ لِمَحْضِ التَّرَخُّصِ بِاْلفِطْرِ وَاِلَّااِمْتَنَعَ كَمُسَافِرٍ قَصَدَ بِسَفَرِهِ مُجَرَّدَ الرُّخْصَةِ فَحَيْثُ وُجِدَتْ هَذِهِ الشُّرُوْطُ أُبِيْحَ الْفِطْرُ سَوَاءٌ كَانَ لِنَفْسِهِ اَوْ لِغَيْرِهِ وَاِنْ لَمْ يَتَعَيَّنْ وَوُجِدَ غَيْرُهُ وَاِنْ فُقِدَ شَرْطٌ اَثِمَ اِثْمًا عَظِيْمًا وَوَجَبَ نَهْيُهُ وَتَعْزِيْرُهُ لِمَا وَرَدَ اَنَّ (مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ بِغَيْرِ عُذْرٍ لَمْ يُغْنِهِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ)


Artinya, "(Masalah) tidak diperbolehkan membatalkan puasa bagi pekerja berat, semisal penunai, pemanen kurma dan petani kecuali memenuhi beberapa syarat. Semua syarat itu diambilkan dari pendapat para ulama. Jumlah syaratnya ada enam yaitu (1) panen tidak bisa ditunda sampai bulan Syawal (2) tidak bisa dikerjakan pada malam hari atau ketika dilakukan malam hari, hasilnya tidak maksimal (3) merasa berat melakukan puasa dengan batasan kepayahan yang secara adat tidak bisa ditanggung atau memperbolehkan duduk ketika shalat wajib, berbeda dengan pendapat Imam Ibnu Hajar Al Haitami (4) niat puasa di malam hari dan paginya tetap menjalani puasa. Maka tidak boleh membatalkan puasanya kecuali terdapat uzur (5) saat membatalkan puasa harus niat mengambil rukhshah (6) tidak bekerja hanya dengan tujuan agar bisa membatalkan puasa. Seperti musafir yang melakukan perjalanan hanya agar bisa mengambil rukhshah".


Ketika syarat-syarat ini terpenuhi, maka boleh membatalkan puasa (bagi pekerja berat) baik untuk dirinya sendiri atau orang lain, sekalipun masih ditemukan pekerjaan lain. Namun apabila syaratnya tidak terpenuhi, maka akan mendapatkan dosa besar. Wajib mencegahnya dan menta’zurnya. Sesuai dengan hadits “Barang siapa yang membatalkan puasa sehari pada bulan Ramadhan, maka puasa satu tahun tidak akan bisa mencukupinya. (hal 112-113)


Enam syarat di atas harus terpenuhi bila pekerja berat akan membatalkan puasanya. Namun, bila tidak terpenuhi maka tidak diperbolehkan membatalkan puasanya.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pekerja berat tetap diharuskan berpuasa dengan melakukan niat puasa di malam hari dan jika ternyata saat bekerja mengalami kepayahan yang sangat (sekira tidak dapat ditahan secara adat), maka boleh membatalkan puasanya dan tentu harus menggantinya di bulan yang lain.


Wallahu a’lam bishshawab. 

 


*Ahmad Faiz, Redaktur Keislaman NU Online Jombang, Pengajar di Pesantren Tarbiyatunnasyiin, Paculgowang, Jombang