• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 25 April 2024

Bahtsul Masail

Shalat Ghaib Dilaksanakan di Waktu Shalat Jumat, Ini Konsekuensinya

Shalat Ghaib Dilaksanakan di Waktu Shalat Jumat, Ini Konsekuensinya
Ilustrasi shalat ghaib di waktu shalat Jumat. (Foto: Freepik)
Ilustrasi shalat ghaib di waktu shalat Jumat. (Foto: Freepik)

Deskripsi Masalah:

Pelaksanaan shalat ghaib yang dilakukan pada waktu shalat Jumat di kalangan warga Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang terjadi perbedaan pelaksanaan. Ada yang melaksanakan shalat ghaib sebelum khutbah Jumat, dan ada yang melaksanakan setelah shalat Jumat. Akhirnya sebagian warga NU bingung terkait masalah terputusnya afdhaliyah dzikir setelah shalat Jumat jika pelaksanaan shalat ghaib tersebut dilaksanakan setelah shalat secara langsung.


Pertanyaan:

Bagaimana pandangan fiqih terhadap pelaksanaan shalat ghaib sebagaimana deskripsi di atas? 


Jawaban:

Pelaksanaan shalat ghaib bisa dilaksanakan kapan pun. Terkait dengan terputusnya afdholiyah dzikir setelah shalat Jumat, ulama terdapat perbedaan pandangan. 

  1. Shalat ghaib setelah shalat Jumat secara langsung bisa menghilangkan keutamaan yang khusus pada dzikir Jumat.
  2. Shalat ghaib setelah shalat Jumat secara langsung bisa menghilangkan sebagian keutamaan yang khusus pada dzikir Jumat.
  3. Shalat ghaib setelah shalat Jumat secara langsung bisa menghilangkan kesunnahan dzikir Jumat. 


Melihat ketiga pendapat tersebut, maka pelaksanaan shalat ghaib yang paling utama adalah tidak memisah shalat Jumat dan dzikir Jumat, baik dilaksanakan sebelum khutbah Jumat maupun setelah shalat Jumat. 


Referensi:

أسنى المطالب في شرح روض الطالب (1/ 124)
(وَلَا) تُكْرَهُ (مَا) أَيْ صَلَاةٌ (لَهَا سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ أَوْ مُقَارِنٌ كَالْجَنَازَةِ وَالْمَنْذُوْرَةِ) وَالْمُعَادَةِ كَصَلَاةِ مُنْفَرِدٍ وَمُتَيَمِّمٍ (وَالْقَضَاءِ) بِمَعْنَى الْمَقْضِيَّةِ (حَتَّى) مَقْضِيَّةِ النَّوَافِلِ (الَّتِيْ اتَّخَذَهَا وِرْدًا) لِأَنَّ لِكُلٍّ مِنْهَا سَبَبًا مُتَقَدِّمًا أَوْ مُقَارِنًا عَلَى مَا يَأْتِيْ وَلِخَبَرِ «فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا» وَخَبَرِ الصَّحِيْحَيْنِ «أَنَّهُ - صلى الله عليه وسلم - صَلَّى بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ هُمَا اللَّتَانِ بَعْدَ الظُّهْرِ» وَفِي مُسْلِمٍ «لَمْ يَزَلْ يُصَلِّيْهُمَا حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا» . (وَكَذَا رَكْعَتَا الْوُضُوْءِ وَالْاِسْتِسْقَاءِ) وَالْكُسُوْفِ وَالطَّوَافِ وَنَحْوِهَا كَسُجُوْدِ التِّلَاوَةِ وَالشُّكْرِ لِأَنَّ بَعْضَهَا لَهُ سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ كَرَكْعَتَيِ الْوُضُوْءِ وَبَعْضَهَا لَهُ سَبَبٌ مُقَارِنٌ كَصَلَاةِ الْاِسْتِسْقَاءِ وَالْكُسُوْفِ بِخِلَافِ مَا لَهَا سَبَبٌ مُتَأَخِّرٌ كَصَلَاةِ الْإِحْرَامِ وَصَلَاةِ الْاِسْتِخَارَةِ كَمَا سَيَأْتِيْ . وَالْمُرَادُ بِالتَّقَدُّمِ وَقَسِيْمَيْهِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الصَّلَاةِ عَلَى مَا فِي الْمَجْمُوْعِ وَإِلَى الْأَوْقَاتِ الْمَكْرُوْهَةِ عَلَى مَا فِيْ الْأَصْلِ وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ مُحْتَمِلَةٌ لَهُمَا وَالْأَوَّلُ مِنْهُمَا أَظْهَرُ كَمَا قَالَهُ الْإِسْنَوِيُّ وَعَلَيْهِ جَرَى اِبْنُ الرِّفْعَةِ فَعَلَيْهِ صَلَاةُ الْجَنَازَةِ سَبَبُهَا مُتَقَدِّمٌ وَعَلَى الثَّانِي قَدْ يَكُوْنُ مُتَقَدِّمًا وَقَدْ يَكُوْنُ مُقَارِنًا بِحَسَبِ وُقُوْعِهِ فِي الْوَقْتِ أَوْ قَبْلَهُ . (وَلَيْسَ لِمَنْ قَضَى فِيْهَا) أَيْ فِي أَوْقَاتِ الْكَرَاهَةِ (فَائِتَةُ الْمُدَاوَمَةِ عَلَيْهَا وَجَعَلَهَا وِرْدًا) وَأَمَّا «مُدَاوَمَتُهُ - صلى الله عليه وسلم - عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ» كَمَا مَرَّ فَمِنْ خَصَائِصِهِ - صلى الله عليه وسلم 


Artinya: Dan tidak dimakruhkan melakukan shalat yang memiliki sebab mutaqaddim atau muqarin seperti halnya shalat jenazah, shalat yang dilakukan karena nadzar, shalat i'adah (seperti shalatnya munfarid dan orang yang tayammum) dan shalat qadlo’ (bahkan mengqodlo’ shalat sunnah yang sudah menjadi wirid atau kebiasaan) karena shalat-shalat tersebut memiliki sebab mutaqaddim  atau muqarin. 


Dan karena Hadits "Barangsiapa yang lupa melakukan shalat atau terlewat karena tertidur, maka kafaratnya adalah ia kerjakan ketika ingat". Dan Hadits Shohihain "Bahwasanya Nabi saw. melaksanakan dua rakaat setelah shalat Ashar dan beliau bersabda bahwa dua rakaat tersebut adalah shalat ba'diyah Dzuhur". Dan dalam Al Muslim disebutkan "Beliau terus melaksanakan dua rakaat tersebut hingga beliau meninggalkan dunia”.


Dan begitu juga (tidak dimakruhkan) melakukan dua rakaat shalat sunnah wudlu, istisqa', gerhana, thawaf dan sebagainya seperti sujud tilawah dan syukur karena sebagian darinya memiliki sebab mutaqaddim seperti dua rakaat shalat sunnah wudlu dan sebagian darinya memiliki sebab muqarin  seperti shalat istisqa' dan gerhana. Berbeda halnya dengan hukum melakukan shalat yang memiliki sebab mutaakhir seperti shalat ihram dan shalat istikharah yang keterangannya akan disebutkan.


Yang dimaksud dengan sebab mutaqaddim dan dua lainnya (muqarin dan mutaakhir) adalah dengan:
1. Melihat shalatnya menurut keterangan dalam kitab Al Majmu. 
2. Melihat waktu dimakruhkan shalat menurut keterangan pada kitab asal.


Adapun ibarat Kiai Mushonnif memungkinkan untuk diarahkan kepada dua keterangan tersebut. 

  1. Pendapat yang awal adalah Qoul Adzhar seperti yang diungkapkan oleh Imam Asnawi yang diikuti oleh Ibnu Rif'ah, maka shalat jenazah  dikatakan memiliki sebab mutaqaddim.
  2.  Dan menurut pendapat yang kedua, shalat jenazah bisa memiliki sebab mutaqaddim atau muqarin dengan melihat terjadinya kematian tersebut di dalam waktu makruhah atau sebelumnya.


Dan tidak diperbolehkan bagi orang yang mengqodlo’ shalat di waktu-waktu tersebut (makruhah) melanggengkan shalat tersebut dan menjadikannya wirid/kebiasaan. Adapun melanggengkannya Nabi saw melakukan dua rakaat ba’da Ashar (seperti keterangan yang sudah lewat) adalah bagian dari khususiyah Nabi saw.


بغية المسترشدين (ص: 174)
فَائِدَةٌ : وَرَدَ أَنَّ مَنْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ وَالْإِخْلَاصَ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ سَبْعًا سَبْعًا عَقِبَ سَلَامِهِ مِنَ الْجُمْعَةِ قَبْلَ أَنْ يُثْنِيَ رِجْلَيْهِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ، وَأُعْطِيَ مِنَ الْأَجْرِ بِعَدَدِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَبُوْعِدَ مِنَ السُّوْءِ إِلَى الْجُمْعَةِ الْأُخْرَى ، وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ وَقَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ حُفِظَ لَهُ دِيْنُهُ وَدُنْيَاهُ وَأَهْلُهُ وَوَلَدُهُ وَيَقُوْلُ بَعْدَهَا أَرْبَعَ مَرَّاتٍ : اللهم يَا غَنِيُّ يَا حَمِيْدُ ، يَا مُبْدِىءُ يَا مُعِيْدُ ، يَا رَحِيْمُ يَا وَدُوْدُ ، أَغْنِنِيْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ ، وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ، اهـ باعشن. وَنُقِلَ عَنْ أَبِي الصَّيْفِ أَنَّ مَنْ قَالَ هَذَا الدُّعَاءَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً لَمْ تَمْضِ عَلَيْهِ جُمْعَتَانِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ. وَنُقِلَ عَنْ أَبِيْ طَالِبٍ الْمَكِيِّ أَنَّ مَنْ وَاظَبَ عَلَى هَذَا الدُّعَاءِ مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ أَغْنَاهُ اللهُ تَعَالَى عَنْ خَلْقِهِ وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ، اهـ كردي. وَلَا تَفُوْتُ سُنَّةُ الْمُسَبِّعَاتِ وَالْأَذْكَارُ الْمَأْثُوْرَةُ عَقِبَ صَلَاةِ الْجُمْعَةِ بِكَلَامٍ أَوِ انْتِقَالٍ ، نَعَمْ يَفُوْتُ ثَوَابُهَا الْمَخْصُوْصُ وَلَوْ بِجَعْلِ يَمِيْنِهِ لِلْقَوْمِ  ، كَمَا نَقَلَهُ الْكُرْدِيُّ عَنِ ابْنِ حَجَرٍ و ق ل . وَقَالَ بَعْضُهُمْ : لَا يَفُوْتُ الثَّوَابُ بَلْ كَمَالُهُ ، اهـ فتاوى باسودان.

Artinya: Diceritakan dari Nabi Muhammad saw, “Barangsiapa membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Surat Al-Mu’awwidzatain masing-masing tujuh kali setelah ia salam dari shalat Jumat sebelum ia melipat kedua kakinya akan diampuni dosanya yang telah ia jalani, diberi pahala sejumlah orang beriman pada Allah dan RasulNya, dan dijanjikan dijauhkan dari kejelekan hingga Jumat berikutnya. Dalam sebuah riwayat “(bila dibaca) sebelum ia berbicara dijaga baginya agamanya, dunianya, keluarganya dan ankanya dan setelahnya ucapkan doa: "Ya Allah yang Maha Kaya, yang Maha Terpuji, yang Maha Pencipta, yang Maha Mengembalikan, yang Maha Penyayang, Maha Pengasih dan Maha Penyinta! 


Ya Allah jadikanlah kami kaya dengan apa yang telah Engkau halalkan dari yang Engkau haramkan, dan dengan ketaatan pada-Mu dari bermaksiat pada-Mu, dan karunia-Mu dari pihak selain diri-Mu”.


Dan dikutip dari Abi Shoif, “Barangsiapa yang membaca doa ini di hari Jumat sebanyak tujuh puluh kali, maka tidaklah lewat dua kali Jumat hingga tercukupilah dia”. Dan dikutip pula dari Abi Thalib Al Makky, “Barang siapa yang melanggengkan doa ini tanpa hitungan, maka Allah akan mencukupinya dari arah yang tak terduga.


Kesunnahan membaca wirid sebanyak tujuh kali dan zikir-zikir tidak gugur disebabkan berbicara atau pindah tempat. Iya, hanya saja pahala khususnya gugur meskipun dengan mengubah posisi arah kanannya pada makmum. Sebagian ulama berkata, pahalanya tidak gugur tapi hanya kesempurnaan pahalanya saja.


تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي (2/ 105)
وَانْصِرَافُهُ لَا يُنَافِي نَدْبَ الذِّكْرِ لَهُ عَقِبَهَا لِأَنَّهُ يَأْتِي بِهِ فِي مَحَلِّهِ الَّذِي يَنْصَرِفُ إلَيْهِ عَلَى أَنَّهُ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ بَعْدَهَا أَنَّهُ لَا يَفُوتُ بِفِعْلِ الرَّاتِبَةِ وَإِنَّمَا الْفَائِتُ بِهَا كَمَالُهُ لَا غَيْرُ


Artinya: Berpindahnya dia (dari tempat shalat) tidaklah menghilangkan kesunnahan berdzikir setelah shalat, karena dia melaksanakannya masih pada tempatnya, yakni saat selesai shalat, dan diambil dari sabda Rasul saw, “setelah selesai shalat”, dia tidak kehilangan kesunnahan wirid tersebut dengan melaksanakan sunnah rawatib, yang hilang hanyalah kesempurnaan (pahalanya) saja bukan selainnya.


Bahtsul Masail Terbaru