Syariah

Bulan Sya'ban Selalu Digunakan Sayyidah Aisyah Qadha Puasa Ramadhan, Apa Alasannya?

Senin, 3 Februari 2025 | 09:00 WIB

Bulan Sya'ban Selalu Digunakan Sayyidah Aisyah Qadha Puasa Ramadhan, Apa Alasannya?

Ilustrasi berbuka puasa. (Foto: Freepik)

Puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam yang telah memenuhi syarat. Namun, ada kalanya seseorang tidak dapat menunaikannya secara penuh karena suatu uzur, sehingga ia wajib mengqadhanya di lain waktu. 


Sayyidah Aisyah memiliki kebiasaan mengqadha puasa Ramadhannya pada bulan Sya’ban. Apa yang menyebabkan beliau menunda qadha puasanya hingga bulan tersebut? Artikel ini akan mengulas alasan di balik kebiasaan Sayyidah Aisyah serta pandangan ulama mengenai hukum qadha puasa Ramadhan.


Melansir artikel NU Online karya Ustadz Muhammad Mundzir ditegaskan bahwa kebiasaan Sayyidah Aisyah radhiyallahu anha selalu mengqadha puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban diceritakan oleh Abu Salamah dari Aisyah langsung:


   كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ، قَالَ يَحْيَى: الشُّغْلُ مِنَ النَّبِيِّ أَوْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


Artinya, "Saya memiliki tanggungan puasa Ramadhan, tetapi saya tidak mampu mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban." Menurut Yahya, Aisyah mengqadha puasanya pada bulan Sya’ban karena kesibukannya melayani Nabi Muhammad ﷺ. (Muttafaq ‘alaih)


Hadis ini menunjukkan bahwa Sayyidah Aisyah mengqadha puasanya menjelang Ramadhan berikutnya. Lalu, apa yang menyebabkan beliau tidak bisa mengqadha puasanya lebih awal?


Dalam catatan kaki Syekh Musthafa Dib al-Bugha dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa kesibukan Sayyidah Aisyah adalah mempersiapkan diri sepenuhnya untuk Rasulullah ﷺ, termasuk ketika beliau ingin berduaan dengan istri-istrinya.


Bukan hanya Sayyidah Aisyah, tetapi seluruh istri Rasulullah ﷺ selalu menjaga kebahagiaan dan keridhaan beliau. Mereka tidak mengetahui kapan Rasulullah ﷺ membutuhkan mereka, sehingga mereka khawatir apabila sedang berpuasa, hal itu dapat menghalangi keinginan beliau.


Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa "kesibukan" dalam hadits ini bukan berarti suatu aktivitas yang membuat seseorang tidak mampu berpuasa, tetapi lebih kepada kesiapan istri-istri Nabi untuk menyenangkan beliau dalam hal yang diperbolehkan, seperti sentuhan atau ciuman, namun tidak sampai berhubungan suami istri.


Karena itu, para istri Nabi tidak pernah meminta izin untuk berpuasa karena khawatir jika Rasulullah ﷺ membutuhkan mereka secara tiba-tiba. Meskipun, apabila mereka meminta izin, Rasulullah ﷺ tentu tidak akan melarang. Namun, mereka merasa hal tersebut dapat mengurangi kesempurnaan pelayanan kepada Nabi.


Alasan Sya’ban Dipilih Mengqadha Puasa

Sayyidah Aisyah memilih bulan Sya’ban untuk mengqadha puasanya karena bulan tersebut adalah bulan di mana Nabi Muhammad ﷺ banyak berpuasa sunnah. Hal ini memungkinkan salah satu istri beliau untuk meluangkan waktu guna mengqadha puasanya.


Syekh Musthafa Dib al-Bugha menulis:
"Pada bulan Sya’ban, Nabi berpuasa pada sebagian besar harinya. Oleh karena itu, salah satu istri Nabi memanfaatkan waktu tersebut untuk berpuasa. Atau bisa juga karena mereka sudah mendekati akhir batas waktu qadha, sehingga mereka terpaksa meminta izin kepada Nabi untuk berpuasa."


Ibnu Hajar al-Asqalani menafsirkan bahwa hadits ini juga menunjukkan bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah melakukan puasa sunnah sebelum melunasi utang puasanya.


  قَوْلُهُ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ اسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ لَا تَتَطَوَّعُ بِشَيْءٍ مِنَ الصِّيَامِ لَا فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ وَلَا فِي عَاشُورَاءَ وَلَا غَيْرِ ذَلِكَ وَهُوَ مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّهَا كَانَتْ لَا تَرَى جَوَازَ صِيَامِ التَّطَوُّعِ لِمَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ مِنْ رَمَضَانَ


Artinya, "Hadits ini menunjukkan bahwa Sayyidah Aisyah tidak pernah berpuasa sunnah, baik pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari Asyura, maupun lainnya. Hal ini didasarkan pada pandangannya bahwa seseorang yang masih memiliki utang puasa wajib tidak diperbolehkan berpuasa sunnah."


Batas Waktu Qadha Puasa Ramadhan

Hadits di atas dapat dipahami bahwa qadha puasa Ramadhan tidak harus dilakukan segera, tetapi dapat ditunda hingga sebelum datangnya Ramadhan berikutnya. Baik keterlambatan tersebut disebabkan oleh uzur atau tanpa uzur.


   وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى جَوَازِ تَأْخِيرِ قَضَاءِ رَمَضَانَ مُطْلَقًا سَوَاءٌ كَانَ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ


Artinya, "Hadis ini menunjukkan bahwa diperbolehkan mengakhirkan qadha puasa Ramadhan, baik karena uzur maupun tanpa uzur." (Ibnu Hajar al-Asqalani)


Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika seseorang menunda qadha puasa tanpa uzur, maka ia harus segera menunaikannya. Sebaliknya, jika ada uzur, maka qadha puasa boleh ditunda selama belum memasuki Ramadhan berikutnya.


Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar menyatakan:


 الَّذِي تعدى فِيهِ بالإفطار فَيحرم تَأْخِير قَضَائِهِ وَالَّذِي على التَّرَاخِي مَا لم يَتَعَدَّ فِيهِ كالفطر بِالْمرضِ وَالسّفر وقضاؤه على التَّرَاخِي مَا لم يحضر رَمَضَان آخر


Artinya, "Puasa yang harus segera diqadha adalah puasa yang ditinggalkan secara sengaja tanpa uzur. Menunda qadha dalam kondisi ini hukumnya haram. Adapun puasa yang boleh ditunda qadhanya adalah puasa yang ditinggalkan karena uzur, seperti sakit atau perjalanan, selama belum memasuki Ramadhan berikutnya."