• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Selasa, 19 Maret 2024

Opini

Perempuan Berdaya: Perempuan yang Berani Tolak Money Politik

Perempuan Berdaya: Perempuan yang Berani Tolak Money Politik

Oleh Siti Arifah*

Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan public, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan.

Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, berintegritas dan realistis. Oleh karena itu pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan.

Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsinal terlibat dalam kehidupan diranah public. Hal ini sangat menyedihkan apabila dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang. Sebagai bentuk representasi perempuan dilegislatif masih sangat minim.

Kenyataannya perempuan didalam dunia politik hanya menjadi obyek, Pada psoses demokrasi level akar rumput, praktik money politik tumbuh subur, karena dianggap kewajaran, masarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Saya melihat sendiri dan cukup miris ketika mengisi forum perempuan tentang peran perempuan dalam pengawasan pemilu 2019 kemarin, ketika ada seseorang yang berkomentar “sah” melakukan politik uang dan karena tidak merasa bahwa money politik harus dijauhi, maka semua peserta ang lain mengamininya. Perilaku money politik dalam konteks politik sekarang, seringkali diatasnamakan sebagai bantuan dan lain-lain. Money politik adalah ancaman besar terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia. 

Dalam dunia politik perempuan masih rawan menjadi korban politik uang (money politik), rentan terhadap mobilisasi dan cenderung hanya menjadi pemilih tradisional. Mereka sering jadi sasaran bagi-bagi uang atau sembako, jelang pemilu maupun pemilukada. Kondisi ekonomi yang sulit dan pemahaman yang kurang, membuat banyak mereka terayu memberikan hak pilih berharga demi 50 ribu atau sepaket minyak goreng dan gula. 

Salah satu yang menjadi perempuan menjadi obyek dalam dunia politik dikarenakan tidak memiliki begitu banyak akses ruang yang sama dalam menentukan hak politiknya, dan pendidikan yang diperoleh oleh kelompok perempuan terhadap pelaksanaan pemilu atau pengambilan keputusan lainnya tidak diberikan atau diterima secara baik oleh mereka. Keterbatasan itu termasuk ketidaktahuan kenapa harus memilih, dan visi-misi dari calon yang akan mereka pilih.

Karena keterbatasan itu, maka seringkali dalam banyak kasus dan fakta lapangan, mereka menjadi korban mobilisasi partai untuk kepentingan dukungan politik partai atau orang-orang yang berkompetensi dalam pergantian kepemimpinan di daerah atau di pusat.

Yang harus dilakukan untuk mencegah perempuan menjadi korban politik uang dan menjadi pemilih tradisional adalah dengan memberikan pembelajaran yang baik soal politik. Perempuan harus berani mengatakan tidak saat menjadi target politik uang. Perempuan harus memilih sesuai kebutuhan dan diharapkan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani dan bersama-sama melawan politik uang. Sudah saatnya kaum perempuan di Indonesia menjadi subjek politik dan tidak lagi menjadi objek politik dalam menghadapi pemilu 2019 mendatang.

Dalam Undang-undang nmor 10 tahun 2016 tentang pilkada diatur bahwa baik pemberi maupun penerima uang politik sama-sama bisa kena jerat pidana berupa hukuman penjara.

Pada pasal 187 poin A ayat (1) disebutkan bahwa orang yang terlibat politik uang sebagai pemberi bisa dipenjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan atau 6 bulan. Selain hukuman penjara, pelaku juga dikenakan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banak Rp. 1 milar. Sangsi pidana juga berlaku bagi penerima uang berbau politik. Maka dari itu, sudah menjadi tugas bersama untuk mengubah kebiasaan menjadi “Kami perempuan berdaya menolak money politik”.

*Penulis adalah Ketua Bidang Litbang PC Muslimat NU Jombang


Editor:

Opini Terbaru