• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Senin, 29 April 2024

Daerah

Hakikat Cinta menurut Imam Ghazali

Hakikat Cinta menurut Imam Ghazali
Fahruddin Faiz dalam acara Seminar Nasional yang diadakan oleh PAC IPNU-IPPNU Kecamatan Jombang Kota di Gedung Bung Tomo Pemkab Jombang pada Sabtu (09/09/2023). (Foto: PAC IPNU IPPNU Jombang)
Fahruddin Faiz dalam acara Seminar Nasional yang diadakan oleh PAC IPNU-IPPNU Kecamatan Jombang Kota di Gedung Bung Tomo Pemkab Jombang pada Sabtu (09/09/2023). (Foto: PAC IPNU IPPNU Jombang)

NU Online Jombang,

Imam Ghazali pernah berkata, kalau kita mau berfikir mendalam, harusnya kita semua ini mencintai Allah secara logis. Misalnya kita cinta pada yang indah, kalau kita seleranya keindahan, siapa yang Maha Indah? Allah. 

 

Hal ini disampaikan oleh Pakar Filsafat sekaligus Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fahruddin Faiz dalam acara Seminar Nasional yang diadakan oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Kecamatan Jombang Kota di Gedung Bung Tomo Pemkab Jombang pada Sabtu (09/09/2023). 

 

Fahruddin memaparkan, kalau kita serius dengan standar cinta, harusnya kita mencintai Allah. Misal seseorang cinta yang kuat, yang gagah. Siapa di dunia ini yang Maha Kuat, Maha Gagah? Jawabannya pasti Allah. 

 

"Jadi kalau kamu setia dengan standarmu, maka cintai Allah. Saya cinta dengan orang berbuat baik, saya sering tersentuh ketika melihat orang berbuat baik. Kalau begitu siapa yang Maha Baik dalam hidup ini? Tetap Allah," ujarnya. 

 

Jadi, jika seseorang komitmen dalam standar cinta, ujungnya pasti Allah. Kalau tidak cinta sama Allah artinya tidak rasional. Kecuali orang itu tidak mengakui Allah dengan segala sifat-sifat-Nya.

 

"Saya cinta dengan orang pintar. Iya tapi ada yang lebih pintar Maha Alim, Allah. Jadi segala kualitas baik itu puncaknya Allah. Sementara standar cintamu kan kualitas-kualitas tadi," katanya. 

 

Logikanya, lanjut Fahruddin, harusnya semua manusia otomatis cinta pada Allah karena puncaknya di situ. Kenapa kok tidak sampai ke sana? Dalam psikologi, Fahruddin menyebut penyebabnya adalah karena ego. 

 

Dengan cinta, seseorang hanya ingin bersenang-senang saja. Jadi cinta yang berpamrih ia senang, bukan cinta yang berkorban pada yang dicintai. Cinta yang berpamrih ini sebenarnya bukan cinta, ini masih dagang. Kalau masih dagang, masih perhitungan untung rugi. 

 

"Kita juga begitu kadang sama Allah, masih berpamrih. Seolah-olah Allah itu baru berharga, bernilai kalau bisa memenuhi pamrih kita," tuturnya. 


Editor:

Daerah Terbaru