Syariah

Menukarkan Uang Menjelang Lebaran, Bagaimana Hukumnya?

Senin, 17 Maret 2025 | 16:30 WIB

Menukarkan Uang Menjelang Lebaran, Bagaimana Hukumnya?

Uang rupiah. (Foto: Freepik)

Menjelang Lebaran, banyak orang berbondong-bondong menukarkan uang untuk keperluan berbagi kepada sanak saudara. Praktik penukaran uang memiliki kompleksitas tersendiri dan dapat dianalisis dari dua perspektif.
 

Pandangan pertama, melansir Hukum Jasa Penukaran Uang Jelang Lebaran, jika fokusnya adalah pada uang yang ditukarkan, di mana terjadi pertukaran dengan jumlah yang lebih tinggi, maka praktik ini dianggap riba dan hukumnya haram. Hal ini karena dalam pertukaran uang sejenis, jumlahnya harus sama.

 
Pandangan kedua, jika fokusnya adalah pada jasa yang diberikan oleh penyedia layanan penukaran uang, maka praktik ini dianggap mubah atau diperbolehkan. Dasarnya adalah konsep ijarah, yaitu jual beli jasa, bukan barang. Dalam hal ini, selisih nilai yang dibayarkan dianggap sebagai upah atas jasa penukaran uang. Pandangan ini didukung dengan adanya contoh seperti jasa ibu yang menyusui, dimana upah diberikan atas jasa menyusui bukan atas ASI nya.


Ijarah, yang pada dasarnya adalah jual beli jasa, bukan barang, menjadi dasar pembolehan praktik ini. Perbedaan pandangan muncul karena sebagian orang melihat uang sebagai barang yang diperdagangkan, sementara yang lain melihat jasa penyedia layanan sebagai objek utama.
 

والإجارة في الحقيقة بيع إلا أنها قابلة للتأقيت وأن المبيع فيها ليست عينا من الأعيان بل منفعة من المنافع إما منفعة عين وإما منفعة عمل 
 

Artinya, “Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pembatasan tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas).” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Maktabatul As‘adiyyah: 2014 M/1434 H], cetakan pertama, halaman 123). 
 

Perbedaan pendapat tentang penukaran uang muncul karena adanya perbedaan pandangan terhadap apa yang sebenarnya dipertukarkan. Ada yang menganggap uang itu sendiri sebagai barang yang dipertukarkan, sementara yang lain menganggap jasa penukaran uang sebagai hal utama. Kadang-kadang, uang hanya menjadi bagian dari jasa tersebut, seperti yang dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zein.
 

 وقد تقع العين تبعا كما إذا استأجر امرأة للإرضاع فإنه جائز لورود النص والأصح أن المعقود عليه القيام بأمر الصبي من وضعه في حجر الرضيع وتلقيمه الثدي وعصره بقدر الحاجة وذلك هو الفعل واللبن يستحق تبعا 
 

Artinya, “Barang terkadang mengikut sebagaimana bila seseorang menyewa seorang perempuan untuk menyusui anaknya, maka itu boleh berdasarkan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas mengasuh balita tersebut oleh seorang perempuan yang meletakkannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma'qud 'alaih) terletak pada aktivitas si perempuan. Sementara asi menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan.” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, PT Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 259). 
 

Barang (uang) dapat menjadi konsekuensi dari akad jasa, seperti dalam kasus sewa jasa ibu menyusui. Upah diberikan atas jasa menyusui, bukan atas ASI itu sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat At-Thalaq ayat 6:
 

قال الله تعالى: فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ علق الأجرة بفعل الإرضاع لا باللبن 
 

Artinya, “Allah berfirman, ‘Bila mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka,’ (Surat At-Thalaq ayat 6). Allah mengaitkan upah di situ dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya.” (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 249). 


Maka, hukum penukaran uang menjelang Lebaran dapat berbeda tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Jika dilihat dari segi pertukaran uangnya, maka bisa masuk ke dalam kategori riba, namun jika dilihat dari segi jasa penukaran uangnya, maka masuk kedalam kategori ijarah atau upah jasa.