• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 18 April 2024

Opini

Ulama dan Politik: Perlawanan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Penjajah (Bagian III Habis)

Ulama dan Politik: Perlawanan KH. Hasyim Asy’ari terhadap Penjajah (Bagian III Habis)
Ilustrasi perumusan Resolusi Jihad. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi perumusan Resolusi Jihad. (Foto: Istimewa)
Respons terhadap Fatwa Jihad Mbah Hasyim

Fatwa Jihad KH. Hasyim Asy'ari -- yang membangkitkan semangat umat Islam Indonesia untuk berjuang membela Negara dan agama -- memiliki sekala yang besar, baik sisi kuantitas mobilisasi massa yang terlibat, maupun luas geografisnya. Semangat itu terlihat dengan munculnya respon berupa fatwa serupa dari ulama organisasi Islam lain dan, berupa doa bersama untukkeselamatan kemerdekaan Indonesia, yang diwujudkan dalam ritual keagamaan.

Fatwa Jihad tersebut diterima oleh ulama Surabaya pada awal Nopember1945, yang menyatakan kembali pandangan mereka bahwa, kemerdekaanIndonesia harus dipertahankan dan bahwa, Negara Indonesia adalah negara yang sah, dan harus dilindungi dengan mengorbankan harta dan jiwa. Di Kebumen, Jawa Tengah, orang-orang Islam mendeklarasikan mosi umtuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Organisasi Muhamadiyah, pada waktu itu, menganggap bahwa orang yang menghalangi kemerdekann Indonesia sebagai musuh: Pada 30 Nopember 1945, semua masjid di Jakarta menampilkan khutbah yang berjudul Mencapai Kemerdekaan adalah diwajibkan oleh Allah.

Pada 5 Desember 1945, H. Mahfocld Abd. Rahman menyampaikan fatwanya di depan orang-orang Islam di Kebumen bahwa, orang-orang yang mendukung musuh dan menghalang-halangi kemerdekaan harus dibunuh. Syech Soeleiman Ar-Rasul, ketua Majlis Tinggi Islam, mengangap bahwa semua orang Islam mempunyai kewajiban yang sama untuk melawan musuh dan, orang yang mati dalam melawan musuh adalah syahid.

Respon lain terhadap fatwa jihad KH. Hasyim Asy'ari adalah munculnya dua gerakan spiritual, yaitu melakukan shalat hajat dan puasa pada bulan Muharram. Pada 13 Oktober 1945, umat Islam Yogyakarta melakukan shalat hajat di masjid Jami' setelah mereka mendengarkan KH. Badawi membacakan mosi Masyumi yang menyerukan menolak kembalinya kolonialisme Belanda. Satu hari setelah peristiwa Surabaya, PW Muhammadiyah meminta tumat Islam Indonesia untuk berdoa secara khusus dan memohon kepada Allah agar memberi rahmat masyarakat Surabaya dan memberikan kemenangan kepada mereka. Kepala Kantor Agama Jakarta meminta kepada semua umat Islam untuk berpuasa pada tnnggal 1 Muharram, demi memberikan dukungan spiritual pada kemerdekaan Indonesia.

Puncaknya, pada 10 Nopember 1945, pertempuran berlangsung dahsyat di Surabaya, dan secara umum, pandangan jihad fi sabilillah menjadi sikap popular di kalangan tentara Indonesia waktu itu: mati dalam pertempuran diyakini sebagai mati syahid. Dengan begitu, ideologi jihad memainkan peran penting dalam gerakan anti-kolonialisme di Republik Indonesia. Dengan semangat jihad pula, komunitas muslim pesantren banyak yang mendaftar menjadi Hizbullah dan Sabilillah. Dua milisi Islam yang telah dibentuk pada masa pendudukan Jepang.

Meskipun tidak ada data angka yang menunjukkan jumlah orang Islam yang terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai respon terhadap fatwa jihad KH. Hasyim Asy'ari atau, fatwa jihad lain yang muncul sesudahnya dari ulama lain. Akan tetapi melihat ulama yang mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut berasal dari pimpinan organisasi Islam yang bemassa besar, maka diduga jumlah umat Islam yang terlibat dalam jihad adalah besar.

Persoalan yang muncul adalah apakah fatwa-fatwa lain yang muncul belakangan benar-benar sebagai respon atas fatwa jihad KH. Hasyim Asy'ari? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Tetapi bila melihat kapasitas KH. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar NU dan Anggota Lembaga Konsultatif Masyumi yang mewadai aspirasi politik organisasia-organisasi Islam waktu itu, maka kemungkinan jawaban ya adalah lebih kuat.

Karena itu, mungkin respon terhadap fatwa jihad KH. Hasyim Asy'ari dapat dilihat juga dari perspektif hukum sebab akibat (kausalitas) yang mensyaratkan 1) antara variable bebas dan variable tergantung ada asosiasi, 2) arah pengaruh bergerak dari variable bebas ke variable tergantung, dalam arti bahwa, peristiwa variable bebas mendahuli variable tergantung. Antara fatwa jihad KH. Hasyim Asy'ari dan fatwa ulama lain ada asosiasi, yaitu berkenaan dengan isu wajibnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia bagi umat Islam dengan melawan penjajah secara fisik. Fatwa jihad Kl Hasyim Asy'ari jelas lebih dulu dibandingkan dengan fatwa lainnya.

Untuk memahami rasionalitas ketaatan umat Islam terhadap fatwa jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy'ari, dapat diterangkan dengan konsep primordial sentiment yang dikemukakan oleh para ahli antropologi. C. Geertz menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial attachıment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras, hubungan darah, bahasa, adat iastiadat dan agama.

Dengan primordial sentiment, setiap orang akan mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tertentu. Dalam suatu kelompok, seringkali muncul gambaran subjektif mengenai kelompok lain, atau lazim dikenal dengan stereotype. Sekalipun ruang lingkup pengertian stereotype tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif, tetapi acapkali gambaran yang muncul lebih bersifat negatif daripada positif. Stereoype terhadap out-group yang kaku menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Prejudice dan stereotype saling terkait, baik secara logika maupun psikologis dan, ada pada semua ras, suku bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Stereotype yang muncul merupakan imajinasi mentalitas yang kaku, yaitu dalam wujud pembenaran penilaian negatif yang ditunjukkan kepada out-group. Sebaliknya terhadap sesama in-group memberikan penilaian yang positif.

Empat butir fatwa jihad yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy'ani memenuhi unsur pengikat emosi primordial. Fatwa itu telah menumbuhkan perasaan sebagai satu bangsa, sebagaimana yang tercantun dalam sumpah pemuda, dan perasaan satu agama Islam yang dapat menyatukan umat Islam. Dengan demikian telah tumbuh kesadaran umat Islam sebagni in-group dan, melihat Belanda sebagni out- group-nya. Karena itu penjajah Belanda yang mau kembali ke Indonesia tergambar dalam diri umat Islam, sebagai kelompok kafir dan sebagai musuh bangsa Indonesia, karena telah membuat bangsa Indonesia gelisah dan terasing dari bumi pertiwinya selama kurang lebih 350 tahun. Kebencian terhadap Belanda ini akhirmya memuncak menjadi gerakan perlawanan fisik yang mendapat justifikasi dari perspektif agama, sehingga kesadaran ideologis-keagamaan tentang perlunya memerangi orang-orang kafir tertanam kuat.

Kesimpulan

Dalam realitas kehidupan sosial politik pada masa penjajahan dan masa revolusi fisik, KH. Hasyim Asy'ari adalah salah satu dari ulama Indonesia yang disegani. la berjuang melawan penjajah dengan cara yang berubah-ubah, mulai dari konfrontatatif budaya, akomodatif dan kemudian konfrontatif fisik. Tentu saja model perlalawanan KH. Hasyim Asy'ari terhadap penjajah dipengaruhi oleh banyak aktor.

Posisi KH. Hasyim Asy'ari sebagai seorang elit tradisional memungkinkan dia untuk melawan penjajah dengan cara non-cooperative (perlawanan budaya). Sedangkan, sebagai seorang ulama pemimpin organisasi massa, ia adalah fasilitator untuk mengekspresikan aspirasi masyarakat. Ia menempuh cara akomodatif, karena melihat masyarakat dalam posisi subordinat. Dalam posisi seperti ini, ia mengarahkan masyarakat untuk melakukan perubahan secara gradual. Tetapi ketika posisi masyarakat mencapai superordinat, maka fatwa jihadnya tentu saja bisa menjadi idiologi gerakan perlawanan terhadap penjajah.

H. Abdul Rokhim Maruf, Wakil kepala Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Tambakberas


Editor:

Opini Terbaru