Opini

Benarkah Aksi Terorisme untuk Mengaburkan Pemilu 2019?

Senin, 18 Maret 2019 | 10:04 WIB

Oleh Ngasiman Djoyonegoro

Menjelang pelaksanaan Pemilu serentak 2019, terjadi aksi terorisme di wilayah Sumatera Utara, tepatnya di Sibolga pada 12 Maret kemarin. Tim Densus 88 Antiteror menangkap terduga teroris, Husain alias Abu Hamzah yang berafiliasi dengan kelompok teror kurang lebih selama enam tahun. Penangkapan terduga teroris tersebut merupakan pengembangan dari tertangkapnya seorang terduga teroris di Lampung. 

Selain Abu Hamzah, Tim Densus 88 Antiteror juga menangkap beberapa anggota teroris yang berhubungan dengan Abu Hamzah. Pertama, pelaku berinisial P yang ditangkap di Lampung pada 9 Maret 2019. Setelah ditangkap, P mengaku bom yang ditemukan di TKP merupakan bom rakitan hasil ajaran dari Abu Hamzah. Tersangka kedua adalah AK alias Ameng yang ditangkap pada 12 Maret 2019 di Sibolga. AK alias Ameng, merupakan salah satu penyandang dana jaringan Abu Hamzah.  
Ketiga, ZP alias Ogek yang mempunyai andil dalam merencanakan ‘amaliyah’ dan membantu Abu Hamzah merakit bom. Tersangka keempat ialah Roslina alias Syuhama yang ditangkap pada 13 Maret 2019 di Tanjungbalai. Roslina merupakan perempuan yang diketahui mantan istri seorang teroris yaitu A yang pernah ditangkap dan ditembak mati oleh Densus 88 saat melakukan aksi pada tahun 2018. Diketahui, Abu Hamzah berencana menjadikan Roslina istri keduanya. 

Tersangka kelima adalah M yang ditangkap di Tapanuli Tengah pada 13 Maret 2019. M merupakan salah satu penyandang dana untuk kelompok Sibolga, namun jumlah dana yang diberikan belum diketahui. Yang terakhir adalah Y, seorang perempuan yang ditangkap pada 15 Maret 2019 di Klaten, Jawa Tengah. Y disebut merencanakan ‘amaliyah’ bersama AH, P dan SH. Diketahui Y juga menyuruh SH untuk mengunggah sebuah video ancaman kepada aparat kepolisian. SH pun kini masih dalam pengejaran.

Tak berhenti pada kasus terorisme di Indonesia, di Selandia Baru terjadi juga aksi terorisme yang amat keji. Penembakan membabi buta terjadi tepatnya di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru. Komisioner Kepolisian Selandia Baru, Mike Bush menyebut korban tewas dalam serangan teroris tersebut mencapai 49 orang (Jumat, 15/3).  Selain terjadi penembakan, sejumlah bahan peledak juga ditemukan yang menurut Polisi Selandia Baru, jenis improved explosive devices (IED) yang dipasang ke kendaraan-kendaraan sebagai bagian dari serangan itu.

Menanggapi peristiwa teror di Selandia Baru, Pemerintah Indonesia telah memerintahkan KBRI Wellington mencari kabar tiga warga negara Indonesia (WNI) yang hingga saat ini belum bisa dikontak. Tiga WNI tersebut berada di dalam masjid saat penembakan terjadi. Pemerintah Indonesia juga memerintahkan KBRI Wellington dalam memberikan perlindungan hukum, keamanan dan keselamatan terhadap WNI disana. 

Menanggapi ancaman terorisme yang sedang tumbuh, implementasi Undang-undang (UU) Nomor 5 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu terealisasikan. Dalam hal ini, operasi intelijen dari berbagai instansi seperti Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan Intelijen Kepolisian diharapkan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap pergerakan aksi terorisme, terlebih menjelang pelaksanaan Pemilu serentak 2019. 

Sementara itu, masyarakat perlu menyadari bahwa kasus terorisme tidak ada kaitannya dengan isu Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Supaya dapat diselenggarakannya Pilpres 2019 yang aman. Pemerintah telah memetakan potensi kerawanan pemilu sejak lama. Berbagai langkah pun dilakukan pemerintah untuk menetralisir berbagai ancaman yang ada. Hal tersebut seiring dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Menindaklanjuti ancaman terorisme yang saat ini sedang massif, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto memerintahkan satuan-satuan tempur TNI untuk mengembangkan kemampuan perang kota untuk mengantisipasi ancaman terorisme menjelang pelaksanaan Pemilu serentak 2019. Strategi perang kota diperlukan mengingat ancaman terorisme saat ini telah memasuki skala menengah. Pernyataan Panglima TNI tersebut telah disampaikan langsung ke berbagai kesatuan TNI, seperti Korps Pasukan Khusus (Kopassus), Korps Marinir, hingga Komando Cadangan Strategis (Kostrad). Taktik perang kota berbeda dengan pertempuran di hutan sehingga memerlukan persiapan dan perlengkapan khusus.

Motivasi pelaku terorisme di seluruh wilayah adalah sama. Yaitu mendirikan negara Islam dan menentang keberadaan demokrasi. Untuk itu, pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada 17 April 2019 nanti, dapat dijadikan sebagai pesta “jihad” bagi para anggota kelompok teror. Untuk itu, antisipasi aparat keamanan harus terus ditingkatkan mengingat tingkat antisipasi mereka (kelompok terror) terhadap aparat semakin tinggi. Sinergi antar instansi pemerintah harus solid untuk bersama-sama memberantas terorisme.

Penulis adalah Pengamat Intelijen, Penulis Buku 'Intelijen di Era Digital: Prospek dan Tantangan Membangun Ketahanan Nasional'

Sumber: NU Online