Anjuran Menikah di Bulan Syawal, Mengikuti Sunnah Nabi, Membuang Tradisi Jahiliah
Jumat, 11 April 2025 | 20:00 WIB
Selain lebaran Idul Fitri, kebiasaan yang telah menjadi tradisi umat di bulan Syawal ialah melangsungkan pernikahan. Banyak orang memilih tanggal akad nikah tepat pada bulan yang jatuh setelah Ramadhan ini. Hal ini karena merupakan kesunahan bila terjadi akad di bulan Syawal.
Jika kita melihat sejarah, akan kita temukan jika bulan Syawal ini dianggap oleh masyarakat jahiliah pra-Islam sebagai bulan yang buruk, kehancuran, dan pemecah belah masyarakat. Anggapan semacam ini berdampak buruk pada apapun jalinan hubungan yang terjadi antara suami dan istri.
Para ahli tata bahasa, seperti Sayyid Murtadho Az-Zabidi dalam kitabnya, Tajul ‘Arus menerangkan bahwa asal muasal penamaan Syawal ini karena pada waktu itu bertepatan dengan saat unta mengangkat ekornya (tasyulul Ibil).
قالَ ابنِ دُرَيْدٍ: زَعَمَ قَوْمٌ أنَّه سُمِّيَ} شَوَّالاً لأنَّهُ وَافَقَ وَقْتاً {تَشُولُ فيهِ الإِبِلُ: أَي تَرْفَعُ ذَنَبَها، وَهُوَ قَوْلُ الفَرَّاءِ
Artinya: “Ibnu Duraid berkata: suatu kelompok meyakini Syawal dinamakan demikian karena bertepatan dengan waktu unta-unta mengangkat ekornya. Ini adalah pendapat Imam Al-Farra’.” (Sayyid Murtadho Az-Zabidi, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, Juz 29 hal. 304)
Kondisi seperti ini pertanda jika terjadi perkawinan di antara unta tersebut, jalur perkawinannya (persetubuhannya) terhalang apabila unta-unta itu menaikkan ekor mereka. Pendapat lain kata Az-Zabidi, ada yang mengatakan bahwa di saat itu adalah waktu unta-unta berkurang air susunya. Sama halnya di waktu musim yang sangat panas dan kelembaban berkurang.
Jika diperhatikan, kedua makna tersebut berkonotasi pada hal-hal yang negatif. Hal ini yang kemudian diyakini oleh masyarakat Arab Jahiliah bahwa melangsungkan pernikahan di bulan Syawal akan membawa malapetaka dan kesialan. Mereka menyamakannya dengan kebiasaan hewan unta di waktu tersebut.
وكانَتْ العَرَبُ تَطَيَّرُ مِنْ عَقْدِ المَناكِحِ فِيهِ، وتقولُ: إنَّ المَنْكُوحَةَ تَمْتَنِعُ مِن ناكِحِها، كَمَا تَمْتَنِعُ طَرُوقَةُ الجَمَلِ إِذا لَقِحَتْ وشالَتْ بِذَنَبِها فأَبْطَلَ النَبِيُّ، صلى الله عَلَيْهِ وَسلم طِيرَتَهُم
Artinya: "Orang Arab menanggap sial melakukan akad pernikahan di bulan Syawal, mereka berkata: sungguh wanita yang dinikahi terhalang disetubuhi suaminya, sebagaimana terhalang jalan masuk (kelamin) unta-unta apabila hewan itu melakukan perkawinan dan mengangkat ekornya. Nabi Muhammad lalu menghilangkan anggapan kesialan mereka” (Sayyid Murtadho Az-Zabidi, Tajul ‘Arus min Jawahiril Qamus, hal. 304).
Pasca Islam datang, asumsi lemah semacam ini dihilangkan oleh Nabi Muhammad. Cara yang beliau lakukan adalah dengan menikahi Aisyah RA dan berkumpul dengannya di bulan Syawal. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang bersumber langsung dari Ummul Mukminin Aisyah.
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ. وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ. : عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
Artinya: “Dari Aisyah berkata: Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal dan berkumpul (bersetubuh) denganku pada bulan Syawal.” (Shahih Muslim, Juz 2, hal. 1039, Dar Ihya At-Turats, Beirut, 1995).
Berdasarkan hadits ini, para ulama kemudian menjadikannya sebagai dalil bahwa sunah dan dianjurkan bagi seseorang untuk melangsungkan pernikahan, menikahkan, dan berkumpul (suami-istri) di bulan Syawal. Seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi tatkala mensyarh hadits ini.
فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ، وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ؛ وَاسْتَدَلُّوا بِهَذَا الْحَدِيثِ. وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتْ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ، وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ؛ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ؛ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنْ الْإِشَالَةِ وَالرَّفْعِ
Artinya: “Hadits ini berisi anjuran untuk menikahkan, menikah, dan berkumpul suami-istri di bulan Syawal. Para ashab kami (Syafi’iyyah) juga telah meredaksikan kesunahannya. Mereka beristidlal dengan hadits ini. Maksud Aisyah dengan ungkapannya itu untuk menolak kebiasaan orang jahiliah dan apa yang dibayangkan sebagian orang awam bahwa makruh menikahkan, menikahi, dan berkumpul di bulan Syawal. Ini batil tidak ada dasarnya dan termasuk peninggalan jahiliah, mereka menganggap sial hal itu berdasar nama “Syawal” dari kata, “unta yang mengangkat ekornya”. (Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, Imam An-Nawawi, Juz 5, hal. 55)
Baca artikel ini selengkapnya melalui link berikut: https://islam.nu.or.id/amp/syariah/nikah-di-bulan-syawal-mengubah-tradisi-jahiliah-KRzTy
Terpopuler
1
Lailatul Ijtima PRNU Brambang Diwek, Jamaah Dapat Tambahan Ilmu Seputar Ibadah
2
Santri Expo 2025, IPNU-IPPNU dan Ansor di Jombang Gelar Festival Al-Banjari Berhadiah Jutaan Rupiah
3
Perbedaan Ketentuan Ibadah Aqiqah dan Kurban
4
Gandeng 13 Perguruan Tinggi, PWNU Jatim Sambut Bonus Demografi dengan Beasiswa Prestasi
5
Lailatul Ijtima PCNU Jombang Sarana Konsolidasi Organisasi, Tingkatkan Girah Khidmah Pengurus
6
Kongres VIII BEM PTNU: Seruan Persatuan dan Arah Juang Mahasiswa NU di Tengah Dinamika Zaman
Terkini
Lihat Semua