Keislaman

Ipar adalah Maut: Tinjauan Perspektif Islam tentang Pernikahan dan Bahaya Perselingkuhan

Sabtu, 29 Juni 2024 | 10:00 WIB

Ipar adalah Maut: Tinjauan Perspektif Islam tentang Pernikahan dan Bahaya Perselingkuhan

Film Ipar adalah Maut. (Foto: Istimewa)

Pernikahan memiliki kedudukan yang sangat penting dan sakral dalam Islam. Di dalam Al-Qur'an, pernikahan disebut sebagai sebuah perjanjian yang kuat dan kukuh (mitsaqan ghalidza). Sebuah istilah yang hanya disebutkan tiga kali dalam Al-Qur'an; Surat An-Nisa 21 (perjanjian suami dan istri atau pernikahan), Surat An-Nisa 154 (perjanjian Allah dengan umat-Nya soal ajaran agama), dan Al-Ahzab 7 (perjanjian Allah dengan para Nabi).


Penggunaan ungkapan tersebut menunjukkan bahwa pernikahan adalah sebuah ikatan suci. Maka dari itu, pasangan suami istri hendaknya menjunjung tinggi ikatan tersebut, serta teguh mempertahankan dan menjaganya.


Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan perbincangan tentang film Ipar Adalah Maut. Pasalnya, film yang diambil dari kisah nyata itu mengangkat tema pengkhianatan yang terjadi di dalam ikatan suci pernikahan. Film ini menceritakan Nisa, seorang istri yang mengalami keretakan rumah tangga akibat perselingkuhan suaminya, Aris, dengan adik kandungnya sendiri, Rani.


Perselingkuhan dalam Islam

Agama Islam telah mengatur sedemikian rupa kehidupan dan etika berumah tangga. Islam memandang penting keharmonisan pasangan suami istri dalam membangun iklim rumah tangga guna tercapainya tujuan pernikahan itu sendiri, kasih sayang dan kebahagiaan.


Pernikahan yang menyatukan dua orang yang berbeda pasti tidak luput dari cobaan dan ujian. Salah satunya adalah kehadiran orang lain atau orang ketiga, yang jika tidak mampu disikapi dengan bijak, dapat memicu terjadinya perselingkuhan. Dan dalam film ini, ujian datang ketika sang ibu meminta Nisa dan Aris menerima adiknya, Rani, untuk tinggal bersama.


Perselingkuhan sendiri adalah persoalan yang sangat sensitif dalam hubungan suami istri. Dalam pandangan hukum Islam, perbuatan selingkuh jelas dianggap sebagai tindakan yang tercela dan sangat dilarang.


Rasulullah saw melarang keras seseorang mengganggu keberlangsungan rumah tangga orang lain.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَبْدًا عَلَى سَيِّدِهِ


Artinya, "Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: Bukan bagian dari kamu, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya". (HR Abu Dawud).


Pada hadits ini, Islam jelas menilai buruk perbuatan tipu daya dan merusak kepercayaan yang dilakukan oleh seorang laki-laki untuk menjauhkan perempuan dari suaminya. Segala bentuk upaya seseorang dalam rangka merusak hubungan rumah tangga orang lain adalah tindakan yang dikecam oleh agama.


Kecaman ini pun tidak hanya berlaku bagi laki-laki saja sebagai pihak ketiga. Tentu tindakan serupa yang dilakukan oleh perempuan untuk merebut suami orang lain juga mendapatkan kecaman keras dalam Islam. Seperti yang dijelaskan Abu Abdirrahman Abadi ketika mensyarahi hadits di atas dalam kitabnya, 'Aunul Ma'bud 'ala Sunan Abi Dawud.


وفي معناهما إفساد الزوج على امرأته والجارية على سيدها


Artinya, "Semakna dengan ini (tipuan terhadap perempuan atas suaminya) adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki dengan istrinya" (Abu Abdirrahman Abadi, 'Aun al-Ma'bud 'ala Sunan Abi Dawud, halaman 967).


Keterangan (Syarah) hadits ini dengan jelas mengecam pihak ketiga dalam rumah tangga dengan tidak dianggap sebagai pengikut Rasulullah saw. Dalam arti lain, segala bentuk upaya yang merusak keberlangsungan rumah tangga orang lain bukanlah bagian dari agama Islam. Dan tindakan Rani dalam film ini tentu tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun.


Etika bertamu 

Kedatangan Rani ke rumah Nisa dan Aris pada awalnya memang bertujuan agar Rani bisa lebih fokus menjalani proses belajarnya, karena kekhawatiran ibunya jika ia tinggal sendirian, sedang tempat Rani berkuliah berada di kota yang sama.


Namun, kedatangannya menjadi petaka ketika Rani tinggal di rumah itu dan tidak mampu menjaga etikanya sebagai seorang tamu yang baik. Ia kerap kali menggunakan pakaian yang cukup terbuka dan terbilang provokatif. Selain itu, Rani dan Aris pun kerap kali berduaan. Tindakan Rani yang seperti itu tampaknya membuat Aris tergoyahkan.


Dalam Islam, seorang tamu perlu memerhatikan beberapa hal sebagai batasan ketika berada di rumah orang lain. Dalam etika bertamu, tentu interaksi antara lawan jenis menjadi hal penting yang tidak boleh diabaikan.


ولا يتطلع إلى ناحية الحريم


Artinya, "(Di antara etika bertamu) janganlah mengintip ke arah tempat yang diharamkan (wanita atau laki-laki yang bukan mahram)" (Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini, Ghida' al-Adab Syarh Mandzumah al-Adab, juz 2, halaman 117).


Dengan begitu, Rani sebagai seorang tamu sudah seharusnya menjaga batasan ketika di dalam rumah kakaknya itu. Begitu pula dengan kakak iparnya, Aris, sepatutnya mampu menjaga batasan interaksi dengan Rani yang bukan mahramnya. Jika pandangan saja sedemikian pentingnya untuk dijaga, lebih lagi soal cara berpakaian dan interaksi tentu merupakan batasan yang perlu dijaga dan diperhatikan.


Ipar adalah Maut

Pengertian ipar sendiri adalah saudara dari istri atau suami, yang berstatus mahram muaqqat (orang yang haram dinikahi sementara waktu), karena adanya ikatan pernikahan. Dan ketika ikatan pernikahan itu telah hilang, maka hilang pula status itu.


Dan mahram muaqqat, yang termasuk juga ipar di dalamnya dihukumi dapat membatalkan wudhu jika bersentuhan.


قوله: أو مصاهرة أي توجب التحريم على التأبيد كأم الزوجة، بخلاف ما إذا كانت توجب التحريم لا على التأبيد كأخت زوجته، فإن الوضوء ينتقض بلمسها


Artinya, "Mahram muabbad (orang yang haram dinikahi selamanya) tidak membatalkan wudhu seperti ibu dari istri, berbeda dengan mahram sementara seperti saudara dari istri, maka membatalkan wudhu jika bersentuhan" (Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I'anah al-Tholibin, juz 1, halaman 79).


Dengan demikian, interaksi suami atau istri dengan iparnya tetap perlu diperhatikan karena ipar bukanlah mahram. Hukum-hukum fiqih seperti menutup aurat, tidak boleh bersentuhan, dan lain sebagainya tetap berlaku. 


Menurut Al-Munawi, hal ini jugalah yang menjadi dasar Rasulullah saw menyebut ipar sebagai maut. Karena terkadang orang yang sudah berpasangan tidak terlalu menjaga batasan-batasannya dengan adik atau kakak iparnya dalam hal bersentuhan kulit ataupun menutup aurat lantaran terbiasa menganggap ipar bukanlah ajnabi (orang asing).


عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ


Artinya, "Dari 'Uqbah bin 'Amir, bahwa Rasulullah saw bersabda: Berhati-hatilah kalian masuk menemui wanita. Lalu seorang laki-laki Anshar berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai ipar? Beliau menjawab: Ipar adalah maut" (HR al-Bukhari dan Muslim).


Dengan demikian, Al-Munawi menjelaskan lewat hadits di atas tentang perumpamaan ipar adalah maut bahwa penting agar orang-orang mengerti juga mampu menjaga batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, karena ipar bukanlah mahram dan bisa jadi membawa petaka (maut) dalam rumah tangga jika tidak mampu menjaga batasannya.


وكذا دخول الحمو عليها يفضي إلى موت الدين أو إلى موتها بطلاقها عند غيرة الزوج أو برجمها إن زنت معه


Selain itu, juga menurut Al-Munawi, ketika suami atau istri sering berkumpul dengan iparnya tanpa memperhatikan batasan yang semestinya, maka dikhawatirkan timbul hawa nafsu dan kecenderungan terhadap perselingkuhan hingga perzinaan. (Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz 3, halaman 124).


Sebagai kesimpulan, Ipar Adalah Maut bukanlah hanya sekadar film tentang perselingkuhan, lebih dari itu, menggali lebih dalam tentang dinamika kehidupan keluarga dan pentingnya menjaga kepercayaan dan komunikasi yang sehat.


Film ini memberikan pesan tentang pentingnya bagi setiap pasangan agar menjaga batasan-batasan dalam hubungan antaranggota keluarga, terlebih dengan saudara lawan jenis dan bukan mahram.


Juga sebagai peringatan kepada setiap pasangan untuk selalu waspada terhadap godaan-godaan yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga.



*Ditulis oleh Muhammad Rizky Fadillah, Mahasantri Ma'had Aly Tebuireng, Jombang.