NU Online

Harta Haram Dijadikan Mahar, Sahkah Pernikahannya?

Jumat, 1 November 2024 | 06:38 WIB

Harta Haram Dijadikan Mahar, Sahkah Pernikahannya?

Ilustrasi pernikahan. Foto: freepik).

Seringkali asal-usul mahar pernikahan tidak lagi menjadi perhatian utama. Yang lebih diutamakan adalah besarnya nominal mahar yang diberikan, tanpa memperdulikan apakah diperoleh dengan cara yang halal atau haram.
 

Bagi sebagian orang, yang penting adalah bagaimana mahar itu terlihat wah dan memukau banyak orang. Hal ini mencerminkan adanya pergeseran nilai, yang mana kebanggaan sosial dan prestise lebih diutamakan daripada prinsip-prinsip etika dalam memilah rezeki yang sesuai dengan tuntunan agama.
 

Fenomena ini tentu menimbulkan kekhawatiran, terutama dalam konteks kesakralan pernikahan yang seharusnya berlandaskan pada nilai-nilai kejujuran dan keberkahan sebagai langkah awal mengarungi bahtera rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah (samawa). 
 

Agama Islam pada dasarnya tidak memberatkan pemeluknya. Dalam hal ini, Islam tidak mematok tinggi nilai mahar yang diberikan dalam pernikahan. Kisah seorang pemuda yang ingin menikah, namun tidak memiliki apapun untuk dijadikan mahar kecuali hafalannya pada surat dari Al-Qur'an, kemudian Nabi menikahkannya dengan dengan mahar. 
 

عن سهلِ بن سَعْد رضي الله عنه قال: أتتِ امرأةٌ النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: إنها قَدْ وَهبت نَفسَها للهِ ولرَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم، فقال مالي في النَسَاءِ مِنْ حَاجة فقال رَجُلٌ: زَوَجْنِيهَا، قال: أعْطِهَا ثَوْباً قال: لاَ أجِدُ، قال: أعْطِهَا وَلوْ خَاتَماً مِنْ حَديِد فاعْتَل له، فقال: ما معكَ مِنَ الْقُرْآنِ قال: كذا وكذا، قال: فَقَدْ زَوَجتُكَهَا بمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآن
 

Artinya, "Dari Sahl bin Sa'ad ra, dia berkata: "Seorang wanita mendatangi Rasulullah saw dan berkata bahwa sesungguhnya ia telah menyerahkan dirinya kepada Allah dan Rasul-Nya." Lalu bersabda, "Aku tidak punya kebutuhan terhadap wanita."
 

Kemudian seorang laki-laki berkata, "Nikahkanlah aku dengannya." Nabi saw berkata, "Berikanlah kepadanya kain (sebagai mahar)." Dia menjawab, "Aku tidak punya." 
 

Nabi saw bersabda, "Berikanlah kepadanya meskipun hanya cincin dari besi." Dia tetap mencari alasan tidak mampu memberi mahar.
 

Nabi saw kemudian bertanya, "Apa yang engkau hafal dari Al-Qur'an?" Laki-laki itu menjawab, "Aku hafal ini dan itu."
 

Nabi saw bersabda, "Sungguh aku nikahkan dirimu dengannya dengan mahar berupa hafalan Al-Qur'an yang engkau miliki"." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 

Meskipun Islam tidak menentukan nominal mahar namun disunnahkan mahar tidak kurang dari 10 dirham (±29,75 gram perak) dan tidak melebihi 500 dirham (±1.475, 5 gram perak). Untuk harga perak hari ini ± Rp. 15.785/Gr. Mahar atau emas kawin bukan merupakan rukun nikah melainkan kewajiban mempelai laki-laki kepada mempelai wanita ketika dilangsungkan akad nikah. 
 

Hikmah kewajiban memberikan mahar adalah untuk menunjukkan betapa sakral dan pentingnya akad nikah itu, serta untuk memuliakan dan menghormati wanita. Mahar juga sebagai bukti dari niat serius membangun kehidupan rumah tangga bersama, serta menunjukkan niat baik dalam mempergauli istri dengan cara yang baik dan menjaga kelangsungan pernikahan.
 

Selain itu dengan adanya mahar memungkinkan bagi wanita untuk mempersiapkan pernikahan dengan apa yang diperlukan, seperti pakaian dan biaya. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz IX, halaman 6760).
 

Kemudian bagaimana sebenarnya hukum harta haram dijadikan sebagai mahar pernikahan
 

Dalam mazhab Syafi'i dijelaskan bahwa batasan sesuatu dapat dijadikan sebagai mahar adalah barang atau manfaat yang sah dijadikan pembayaran dalam jual beli. 
 

بل الضابط في ذلك أن كل شيء صح جعله ثمنا من عين أو منفعة صح جعله صداقا
 

Artinya, "Tetapi ukurannya di sini adalah semua yang sah dijadikan pembayaran (tsaman) dari bentuk barang atau manfaat, maka sah juga dijadikan mahar." (Muhammad bin Qasim bin Muhammad, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 235).
 

Penjelasan ini memang tidak secara tegas menjelaskan bahwa harta haram tidak diperbolehkan digunakan menjadi mahar. Namun, sebenarnya telah maklum bahwa tsaman dalam jual beli harus bukan barang haram. 
 

Lebih jelas, Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan bahwa mahar yang tidak dimiliki mempelai laki-laki semisal hasil ghasab maka mahar tersebut batal dan mewajibkan mahar mitsil
 

لَوْ «نَكَحَهَا بِمَا لَا يَمْلِكُهُ» كَخَمْرٍ وَحُرٍّ وَدَمٍ وَمَغْصُوبٍ «وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ» لِفَسَادِ الصَّدَاقِ بِانْتِفَاءِ كَوْنِهِ مَالًا أَوْ مَمْلُوكًا لِلزَّوْجِ سَوَاءٌ أَكَانَ جَاهِلًا بِذَلِكَ أَمْ عَالِمًا بِهِ 
 

Artinya, "Jika seseorang menikahi wanita dengan mahar yang bukan miliknya, seperti khamr, manusia yang merdeka, darah, atau barang ghasab, maka wajib baginya memberikan mahar mitsil karena mahar tersebut rusak sebab mahar yang diserahkan bukanlah sesuatu yang bernilai atau dimiliki oleh suami, baik ia mengetahui hal itu ataupun tidak." (Fathul Wahab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t], juz II, halaman 95).
 

Namun terkait hukum pernikahannya tetaplah sah, tidak terpengaruh dengan batalnya mahar sebab berasal dari harta haram. Berikut ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami:
 

نَكَحَهَا) بِمَا لَا يَمْلِكُهُ كَأَنْ نَكَحَهَا (بِخَمْرٍ أَوْ حُرٍّ أَوْ مَغْصُوبٍ) صَرَّحَ بِوَصْفِهِ بِمَا ذُكِرَ أَوْ أَشَارَ إلَيْهِ فَقَطْ وَقَدْ عَلِمَهُ أَوْ جَهِلَهُ (وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ) لِفَسَادِ التَّسْمِيَةِ وَبَقَاءِ النِّكَاحِ 
 

Artinya, "Jika seorang pria menikahi wanita dengan sesuatu yang tidak ia miliki, seperti menikahinya dengan mahar khamr, orang merdeka, atau barang hasil ghasab, baik dia menyebutkan secara jelas atau hanya menunjuk kepada barang tersebut, baik pria itu tahu atau tidak mengetahuinya, maka wajib membayar mahar mitsil, karena penyebutan mahar tersebut batal, namun akad nikahnya tetap sah." (Tuhfatul Muhtaj dalam Hawasyis Syirwani, [Beirut: Dar Ihya' At-Turots], juz VII halaman 384).

 

Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa di antara syarat mahar pernikahan adalah berasal dari harta halal yang dimiliki mempelai laki-laki. Adapun jika maharnya berasal dari harta haram maka batal mahar musammanya (kadar mahar standar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan disebutkan dalam akad nikah). Sebagai gantinya adalah kewajiban memberikan mahar mitsil (kadar mahar yang disenangi oleh semisal mempelai wanita menurut kebiasaan setempat) yang berasal dari harta halal. 
 

Baca artikel selengkapnya melalui link berikut: https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/mahar-pernikahan-dari-harta-haram-dan-konsekuensi-hukumnya-vb7rS