• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 25 April 2024

Bahtsul Masail

Hukum Membagi Bansos Pemerintah secara Merata kepada Masyarakat

Hukum Membagi Bansos Pemerintah secara Merata kepada Masyarakat
Ilustrasi penyerahan bantuan sosial atau Bansos. (Foto: Freepik)
Ilustrasi penyerahan bantuan sosial atau Bansos. (Foto: Freepik)

Deskripsi Masalah:

Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan alam yang melimpah. Akan tetapi masih banyak dari penduduk yang masih dalam keadaan miskin atau kekurangan. Hal ini semakin sulit dihadapi oleh masyarakat ketika masa pandemi Covid-19 seperti beberapa waktu belakangan. Pemerintah mencoba meringankan beban masyarakat dengan memberikan bantuan langsung atau Bansos. Pemerintah sudah bekerja keras untuk menyesuaikan arah bantuan kepada orang-orang yang memang berhak dan membutuhkan dana bantuan. Namun masih ada saja beberapa kejadian yang mana sebagian masyarakat merasa mampu dan dengan sadar diri mengembalikan dana bantuannya. 


Namun, ada juga sebagian masyarakat yang tetap menerima walaupun menurut tetangga-tetangganya ia sudah termasuk orang mampu. Sebagian masyarakat ada yang meminta kepada tetangganya yang mendapat bantuan untuk membagi rata dengan dirinya karena mereka merasa dirinya tidak mampu dan berhak mendapat bantuan. Sebagai catatan bahwa kewenangan bantuan sosial ada pada pemerintah. 


Pertanyaan:

Apakah dibenarkan menurut syariat sebagian masyarakat yang meminta untuk dibagi rata kepada tetangganya yang mendapat bantuan sebagaimana dalam deskripsi?


Jawaban:

Tidak dibenarkan, karena dapat menimbulkan dharar, kecuali ada kerelaan dan izin dari orang yang mendapatkan, namun bagi yang merasa mempunyai hak dapat mengajukan ke pihak yang berwenang.


Catatan: Bagi orang yang menerima sebaiknya bertoleransi dengan orang yang tidak mendapatkan. 


Referensi:

 بغية المسترشدين ص 286
(مسألة): حَاصِلُ مَسْأَلَةِ الظُّفْرِ أَنْ يَكُوْنَ لِشَخْصٍ عِنْدَ غَيْرِهِ عَيْنٌ أَوْ دَيْنٌ . فَإِنِ اسْتَحَقَّ عَيْنًا بِمِلْكٍ أَوْ بِنَحْوِ إِجَارَةٍ أَوْ وَقْفٍ أَوْ وَصِيَّةٍ بِمَنْفَعَةٍ أَوْ بِوِلَايَةٍ ، كَأَنْ غُصِبَتْ عَيْنٌ لِمَوْلِيِّهِ وَقَدَرَ عَلَى أَخْذِهَا فَلَهُ فِي هَذِهِ الصُّوَرِ أَخَذَهَا مُسْتَقِلًّا بِهِ إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا وَلَوْ عَلَى غَيْرِهِ


Artinya: Kesimpulan masalah dzufri (mengambil hak dengan paksa) yaitu seseorang mempunyai suatu barang atau piutang pada orang lain. Jika seseorang berhak pada suatu barang dengan kepemilikan, persewaan, wakaf, wasiat, atau perwalian, seperti barang yang dighasab dan mampu untuk mengambilnya, maka boleh mengambil sendiri ketika tidak khawatir ada mudarat dirinya dan orang lain.


قواعد الأحكام الجزء الأول ص: 83-84
فَإِذَا جَوَّزَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِهِنْدٍ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا أَبِيْ سُفْيَانَ مَا يَكْفِيْهَا وَوَلَدِهَا بِالْمَعْرُوْفِ , مَعَ كَوْنِ الْمَصْلَحَةِ خَاصَّةً , فَلَأَنْ يَجُوْزَ ذَلِكَ فِي الْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ أَوْلَى , وَلَا سِيَّمَا غَلَبَةِ الظَّلَمَةِ لِلْحُقُوْقِ


Artinya: Ketika Rasulullah saw memperbolehkan kepada Sayyidah Hindun untuk mengambil harta dari suaminya untuk kecukupan dirinya dan anaknya, padahal itu kemaslahatan yang khusus, maka hal tersebut lebih diperbolehkan untuk maslahat yang umum. Apalagi mengambil dari orang-orang yang dzalim.


سنن الدارقطني (3/ 424)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ , أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسِهِ»


Artinya: Diriwayatkan dari Sahabat Anas Bin Malik ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal mengambil harta orang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya”.


Catatan: Penjelasan atau uraian di atas merupakan hasil bahtsul masail yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Jombang


Bahtsul Masail Terbaru