• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Kamis, 25 April 2024

Bahtsul Masail

Bepergian Jauh, Bolehkah Meninggalkan Shalat?

Bepergian Jauh, Bolehkah Meninggalkan Shalat?
Ilustrasi melaksanakan kewajiban shalat. (Foto: Freepik)
Ilustrasi melaksanakan kewajiban shalat. (Foto: Freepik)

Deskripsi Masalah:

Banyak orang bepergian jauh menggunakan transportasi kereta api yang melebihi waktu shalat yang bisa dijama’, sehingga tidak dapat melaksanakan shalat fardhu, seperti berangkat waktu Ashar sampai tempat tujuan Subuh, sehingga tidak dapat melaksanakan shalat Magrib dan Isya'. Namun, ada di antara mereka yang melaksanakan shalat sesuai kewajibannya secara sempurna. 


Pertanyaan:

Bagaimana hukum meninggalkan shalat ketika bepergian jauh sebagaimana deskripsi di atas?


Jawaban:

Hukumnya tidak boleh, namun jika orang tersebut tidak mampu menyempurnakan syarat dan rukun shalat, maka ia boleh meninggalkan shalat mengikuti sebagian pendapat ulama. 


Referensi:

المجموع شرح المهذب (3/ 242)
(فرع) قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوْبَةُ وَهُمْ سَائِرُوْنَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيْهَا عَلَى الْأَرْضِ إِلَى الْقِبْلَةِ اِنْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيْهَا عَلَى الدَّابَّة ِلِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ هكذا ذكر المسألة جماعة منهم صاحب التهذيب والرافعي وقال القاضي حسين يصلي على الدابة كما ذكرنا قال ووجوب الإعادة يحتمل وجهين أحدهما لا تجب كشدة الخوف والثاني تجب لأن هذا نادر


Artinya: Apabila shalat fardhu telah tiba sedangkan musafir masih dalam perjalanan, dan jika dia turun untuk shalat dengan menghadap kiblat khawatir tertinggal dari rombongan, khawatir terhadap dirinya atau terhadap hartanya maka tidak diperbolehkan meninggalkan shalat, dan mengeluarkan shalat dari waktunya akan tetapi, dia wajib shalat di dalam kendaraan dengan niat lihurmatil wakti (menghormati waktu) dan wajib mengulangi shalatnya karena hal tersebut termasuk udzur yang jarang terjadi.


بغية المسترشدين (ص: 162)
وَحَاصِلُ مَا ذَكَرَهُ الشَّيْخُ مُحَمَدُ بْنُ خَاتِمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي صَلَاةِ الْمَرِيْضِ أَنَّ مَذْهَبَ أَبِي حَنِيْفَةَ أنَّ الْمَرِيْضَ إِذَا عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ جَازَ لَهُ تَرْكُ الصَّلَاةِ ، فَإِنْ شَفَي بَعْدَ مُضِيِّ يَوْمٍ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ ، وَإِذَا عَجَزَ عَنِ الشُّرُوْطِ بِنَفْسِهِ وَقَدَرَ عَلَيْهَا بِغَيْرِهِ فَظَاهِرُ الْمَذْهَبِ وَهُوَ قَوْلُ الصَّاحِبِيْنَ لُزُوْمُ ذَلِكَ ، إِلَّا إِنْ لَحِقَتْهُ مَشَقَّةٌ بِفِعْلِ الْغَيْرِ ، أَوْ كَانَتْ النَّجَاسَةُ تَخْرُجُ مِنْهُ دَائِمًا ، وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ : لَا يُفْتَرَضُ عَلَيْهِ مُطْلَقًا ، لِأَنَّ الْمُكَلَّفَ عِنْدَهُ لَا يُعَدُّ قَادِرًا بِقُدْرَةِ غَيْرِهِ 


Artinya: Kesimpulan dari apa yang diterangkan oleh Syekh Muhammad Bin Khotim di Kitab Risalahnya dalam bab yang menerangkan shalatnya orang yang sakit, bahwa madzhab Imam Abu Hanifah mengatakan: ketika orang sakit tidak mampu melakukan shalat dengan isyarah dengan kepalanya, maka boleh meninggalkan shalat, dan jika sembuh maka tidak wajib mengqodlo’nya.


Dan Ketika orang yang sakit tidak mampu melakukan syarat-syarat shalat dengan dirinya sendiri akan tetapi mampu melakukannya dengan bantuan orang lain, maka tetap wajib melakukannya kecuali dengan bantuan orang lain tetap merasa sulit atau terdapat najis yang keluar terus-menerus. Menurut Imam Abu Hanifah orang tersebut tidak diwajibkan untuk melakukan syarat-syarat tersebut karena dengan bantuan orang lain orang tersebut dikatakan tidak mampu.


نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (1/ 426)
واحترز المصنف بالقادر عن العاجز كمريض عجز عمن يوجهه ومربوط على خشبة وغريق على لوح يخاف من استقباله الغرق، ومن خاف من نزوله عن دابته على نفسه أو ماله أو انقطاعا عن الرفقة فإنه يصلي على حسب حاله ويعيد على الأصح لندرته (قَوْلُهُ: عَلَى حَسَبِ حَالِهِ) ظَاهِرُهُ وَلَوْ كَانَ الْوَقْتُ وَاسِعًا، وَقِيَاسًا مَا تَقَدَّمَ فِي فَاقِدِ الطَّهُوْرَيْنِ وَنَحْوِهِ أَنَّهُ إِنْ رَجَا زَوَالَ الْعُذْرِ لَا يُصَلِّي إِلَّا إِذَا ضَاقَ الْوَقْتُ، وإن لم يرج زواله صلى في أوله، ثم إن زال بعد على خلاف ظنه وجبت الإعادة في الوقت، وإن استمر العذر حتى فات الوقت كانت فائتة بعذر فيندب قضاؤها فورا، ويجوز التأخير بشرط أن يفعلها قبل موته كسائر الفوائت


Artinya: Seseorang yang jika turun dari kendaraan khawatir terhadap dirinya, hartanya atau tertinggal dari rombongan maka ia shalat sesuai dengan kondisinya walaupun akhir waktu shalat masih lama. Dan bila diqiyaskan (disamakan) dengan penjelasan mengenai orang yang tidak mendapati air dan debu yang suci, maka ketika ada kemungkinan hilangnya ‘udzur, maka tidak boleh melakukan shalat dengan tata cara di atas kecuali waktu sudah hampir habis.


المجموع شرح المهذب (2/ 278)
 (وَالثَّانِي) لَاتَجِبُ الصَّلَاةَ بَلْ تُسْتَحَبُّ وَيَجِبُ الْقَضَاءُ سَوَاءٌ صَلَّى أَمْ لَمْ يُصَلِّ حَكَوْهُ عَنِ الْقَدِيْمِ وَحَكَاهُ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ وَغَيْرُهُ مِنَ الْعِرَاقِيِّيْنَ (وَالثَّالِثُ) يَحْرُمُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَيَجِبُ الْقَضَاءُ حَكَاهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْخُرَاسَانِيِّيْنَ عَنِ الْقَدِيْمِ 


Artinya: Orang yang tidak menemukan air dan debu menurut pendapat yang kedua tidak wajib melakukan shalat, akan tetapi sunnah melakukan shalat dan wajib mengqodlonya, baik ia shalat atau tidak. Menurut pendapat ketiga haram melakukan shalat dan wajib untuk mengqodlo’nya. Sebagaimana pendapat ulama Haromain dan ulama Khurasan dari Qoul Qodim.


Bahtsul Masail Terbaru