Amaliyah NU

Imsak di Indonesia: Tradisi, Kritik, dan Manfaatnya dalam Ibadah Puasa

Ahad, 2 Maret 2025 | 14:50 WIB

Imsak di Indonesia: Tradisi, Kritik, dan Manfaatnya dalam Ibadah Puasa

Ilustrasi bersantap sahur sebelum imsak. (Foto: Freepik)

Imsak telah menjadi tradisi yang akrab di tengah masyarakat Indonesia, khususnya saat bulan Ramadan. Kata "imsak" yang sering terdengar menjelang waktu subuh menjadi penanda bagi banyak orang untuk mulai menghentikan aktivitas makan dan minum, bersiap-siap menyambut ibadah puasa yang segera dimulai. Tradisi ini sudah berlangsung lama dan menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat, meskipun tidak jarang menuai perdebatan di kalangan tertentu.


Sebagian orang mempertanyakan keabsahan imsak dalam ajaran Islam. Ada yang memandang bahwa istilah imsak tidak tepat digunakan, bahkan menganggap bahwa tradisi tersebut bukan berasal dari tuntunan agama. Namun, sebelum melontarkan kritik terhadap praktik ini, penting untuk memahami apa itu imsak, baik dari segi bahasa maupun istilah, serta konteks penggunaannya dalam masyarakat.


Definisi Imsak dan Praktiknya di Kalangan Masyarakat

Secara bahasa (lughawi), imsak berarti "menahan diri". Dalam konteks puasa, imsak diartikan sebagai permulaan waktu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa, yaitu sejak terbit fajar atau masuknya waktu subuh. Dengan pemahaman ini, sebagian orang menganggap bahwa imsak adalah awal waktu puasa yang sebenarnya, sehingga mereka berpendapat bahwa tradisi imsak yang dipahami masyarakat Indonesia kurang tepat.  


Namun, masyarakat Indonesia memiliki pemahaman yang berbeda terkait imsak. Dalam praktik sehari-hari, imsak dipahami sebagai waktu persiapan, yaitu jeda beberapa menit sebelum masuk waktu subuh. 


Tradisi ini bertujuan untuk mengingatkan agar umat Islam bersiap-siap menyelesaikan sahur dan berhenti makan atau minum sebelum benar-benar masuk waktu subuh. Masyarakat tetap memahami bahwa makan dan minum masih diperbolehkan selama waktu imsak, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Mu‘in:


وَيَجُوزُ الْأَكْلُ إِذَا ظَنَّ بَقَاءَ اللَّيْلِ بِاجْتِهَادٍ أَوْ إِخْبَارٍ، وَكَذَا لَوْ شَكَّ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ اللَّيْلِ، لَكِنْ يُكْرَهُ، وَلَوْ أَخْبَرَهُ عَدْلٌ طُلُوعَ الْفَجْرِ اعْتَمَدَهُ، وَكَذَا فَاسِقٌ ظُنَّ صِدْقُهُ


Artinya, "Makan (sahur) masih dibolehkan jika menduga akan adanya malam berdasarkan ijtihad atau kabar dari seseorang. Demikian juga (masih dibolehkan makan) jika seseorang ragu, karena pada asalnya malam memang masih ada, tetapi (makan) dimakruhkan. Dan jika ada orang yang terpercaya mengabarkan terbitnya fajar kepadanya, maka ia harus mempercayainya. Sama halnya (ia harus mempercayai) orang fasik yang diduga keras kejujurannya."


Penjelasan ini menunjukkan bahwa waktu sahur tetap sah hingga masuknya waktu subuh, meskipun ada anjuran kehati-hatian untuk berhenti beberapa saat sebelumnya.  Artinya, tradisi imsak yang berkembang di Indonesia bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan sebuah langkah kehati-hatian agar puasa yang dijalankan sah dan lebih sempurna.


Urgensi dan Penetapan Waktu Imsak  

Waktu imsak yang populer di Indonesia biasanya ditetapkan 10 menit sebelum subuh. Penentuan ini memiliki dasar yang kuat dalam kajian fikih dan hadits. Salah satu hadits yang sering dirujuk adalah riwayat Zaid ibn Tsabit yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:  


وَعَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إلَى الصَّلَاةِ، قُلْت: كَمْ كَانَ مِقْدَارُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ


Artinya, "Kami sahur bersama Rasulullah saw kemudian kami melaksanakan shalat (subuh). Lalu aku bertanya: Berapa ukuran waktu di antara sahur dan shalat? Beliau menjawab: Seukuran 50 ayat." (HR. Bukhari dan Muslim)  


Para ulama kemudian menafsirkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat kira-kira sekitar 10 menit. Oleh karena itu, waktu imsak dijadikan sebagai jeda pengingat sebelum benar-benar masuk waktu subuh.  


Selain itu, penetapan waktu imsak ini memiliki tujuan kehati-hatian (ihtiyath). Dalam banyak tradisi fikih, kehati-hatian dalam menjalankan ibadah adalah hal yang dianjurkan, termasuk dalam menentukan waktu shalat maupun puasa. Bagi mereka yang biasa menyusun jadwal waktu shalat, dikenal istilah "waktu ihtiyath", yaitu waktu antisipasi untuk memastikan ibadah dilakukan pada saat yang benar-benar sah.


Misalnya, Kementerian Agama menerapkan waktu ihtiyath 2 menit pada jadwal waktu salat untuk mengantisipasi perbedaan pengamatan. Hal serupa juga diterapkan pada waktu imsak, yang berfungsi sebagai pengingat agar masyarakat berhenti makan dan minum sebelum waktu subuh tiba.


Dalam konteks ibadah puasa, imsak menjadi sarana edukasi yang sangat bermanfaat. Waktu imsak memberi pesan kepada masyarakat bahwa waktu subuh—yang menandai dimulainya larangan makan dan minum—sudah sangat dekat. Dengan adanya imsak, umat Islam diingatkan untuk bersiap-siap menyempurnakan sahur dan memastikan tidak ada aktivitas yang membatalkan puasa setelah subuh tiba.  


Penetapan waktu imsak juga relevan dengan tantangan pengamatan tanda-tanda waktu subuh. Dibandingkan dengan waktu shalat lainnya, waktu subuh tergolong sulit diamati secara langsung karena tanda-tandanya, seperti cahaya fajar, membutuhkan pengamatan yang teliti. Oleh karena itu, adanya jeda waktu imsak membantu menghindarkan umat dari risiko batalnya puasa akibat keterbatasan manusia dalam mengamati fenomena alam.


Kritik terhadap Penolakan Tradisi Imsak

Sebagian pihak yang mempersoalkan imsak sering kali terjebak pada argumen sempit tanpa mempertimbangkan aspek praktis dan maslahatnya. Mengkritik tradisi imsak dengan alasan bahwa itu bukan ajaran Islam, tanpa memahami konteksnya, adalah tindakan yang kurang bijak.


Tradisi imsak serupa dengan kebiasaan kita untuk hadir beberapa menit lebih awal sebelum sebuah acara dimulai. Hal ini adalah bentuk kehati-hatian, bukan hal yang berlebihan atau bertentangan dengan syariat. Bahkan, tradisi semacam ini menunjukkan betapa pentingnya kesadaran terhadap waktu dan ketelitian dalam menjalankan ibadah.


Tradisi imsak bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam, melainkan sebuah langkah kehati-hatian yang diwariskan ulama untuk membantu umat dalam menjalankan ibadah puasa. Penetapan waktu imsak 10 menit sebelum subuh bertujuan untuk memberikan jeda agar umat dapat bersiap-siap dan menghindari makan atau minum setelah waktu subuh tiba.

 

Dengan memahami konteks ini, kritik terhadap imsak seharusnya tidak lagi muncul tanpa dasar yang jelas. Justru, tradisi ini perlu dipertahankan sebagai bentuk edukasi dan pengingat bagi masyarakat untuk menjalankan ibadah puasa dengan lebih sempurna. Imsak adalah pesan kehati-hatian, bukan pengganti waktu subuh, dan keberadaannya membawa manfaat besar dalam memastikan kesempurnaan ibadah.



*Muhammad Rizky Fadillah, Alumni Ma'had Aly Tebuireng, Jombang