• logo nu online
Home Warta Ekonomi Daerah Bahtsul Masail Pendidikan Neraca BMTNU Nasional Fiqih Parlemen Khutbah Pemerintahan Keislaman Amaliyah NU Humor Opini BMT NU Video Nyantri Mitra Lainnya Tokoh
Senin, 29 April 2024

Amaliyah NU

I’tikaf di Bulan Ramadhan: Niat, Rukun, Syarat, dan Hal yang Membatalkan

I’tikaf di Bulan Ramadhan: Niat, Rukun, Syarat, dan Hal yang Membatalkan
Ilustrasi seseorang sedang i'tikaf. (Foto: Freepik)
Ilustrasi seseorang sedang i'tikaf. (Foto: Freepik)

I’tikaf termasuk dalam amalan sunnah yang dapat dilakukan kapan saja, terlebih pada saat bulan Ramadhan. Beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih dianjurkan sebagai upaya untuk meraih kemuliaan malam Lailatul Qadar. 


Rasullulah saw bersabda:


     مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ


Artinya, “Siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir,”  (HR Ibnu Hibban)


Hadits di atas menjelaskan bahwa i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan sama saja dengan beri’ikaf dengan Rasulullah. 


Pengertian i’tikaf secara terminologi yakni berdiam diri di dalam masjid dan disertai dengan niat. Dalam i’tikaf dapat berniat untuk mengunjungi masjid, menghormati masjid, berdzikir, mendekatkan diri kepada Allah, mengharap rahmat Allah, menggapai ridha Allah, bermuhasabah, mengingat hari kiamat, mendengarkan nasihat, mempelajari ilmu-ilmu agama, berkumpul dengan orang saleh, mengingat akhirat, dan niat yang baik lainnya. I’tikaf bertujuan untuk beribadah kepada Allah swt. 


I’tikaf dapat dilakukan kapan saja, walaupun pada waktu yang diharamkan untuk shalat. Asal hukum beri’tikaf adalah sunnah, kecuali bernazar untuk i’tikaf maka hukumnya menjadi wajib. Hukum i’tikaf menjadi haram jika dilakukan oleh istri atau hamba sahaya tanpa meminta izin suami atau tuannya. Serta hukum i’tikaf menjadi makruh jika dilakukan oleh perempuan yang tingkah lakunya dapat mengundang fitnah walaupun sudah diberi izin. 


Beri’tikaf lebih dianjurkan pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan daripada waktu-waktu yang lain, hal ini semata untuk meraih kemuliaan Lailatul Qadar yang waktunya tidak pernah diketahui dan dirahasiakan oleh Allah. Menghidupkan malam Lailatul Qadar dapat diisi dengan amaliyah-amaliyah yang wajib maupun sunnah dengan niat benar dan baik, agar tidak sia-sia apa yang dilakukan.


Rukun i’tikaf ada empat, sebagai berikut:

  1. Niat.
  2. Berdiam diri di masjid (sekurang-kurangnya sama dengan tumaninah dalam shalat).
  3. Masjid.
  4. Orang yang beri’tikaf.


Adapun syarat orang yang beri’tikaf sebagai berikut:

  1. Beragama Islam.
  2. Berakal sehat.
  3. Bebas dari hadas besar. 


Jika tidak memenuhi tiga syarat tersebut, maka i’tikaf yang dilakukan oleh seseorang tidak sah. 


Macam-macam i’tikaf ada tiga:

  1. I’tikaf Mutlak


I’tikaf mutlak walaupun lama waktunya cukuplah berniat sebagai berikut: 


  نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى


Artinya, “Aku berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah.” 

 
  1. I’tikaf yang Terikat Waktu Tanpa Terus Menerus


Niat i’tikaf dengan kurun waktu satu bulan misalnya:


نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى


Artinya, “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”

 
  1. I’tikaf yang Terikat Waktu dan Terus Menerus


نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا


Artinya, “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.”


Sedangkan, niat untuk i’tikaf yang dinadzarkan sebagai berikut:


نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى


Artinya, “Aku berniat i’tikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”   


نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى


Artinya, “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.” 


Dalam i’tikaf mutlak, apabila seseorang keluar dari masjid tidak bermaksud untuk kembali maka ia harus berniat i’tikaf lagi dan i’tikaf yang kedua tersebut dianggap sebagai beri’tikaf yang baru dilakukan. Berbeda lagi jika ia berniat untuk kembali entah kembali ke masjid tersebut ataupun ke masjid yang lain maka niat i’tikaf sebelumnya tidak batal dan tidak perlu untuk berniat i’tikaf lagi. 


Hal-hal yang membatalkan i’tikaf ada sembilan, sebagai berikut:

 
  1. Berhubungan suami istri.
  2. Mengeluarkan sperma.
  3. Mabuk yang disengaja.
  4. Murtad (kelaur dari agama Islam).
  5. Haid
  6. Nifas.
  7. Keluar tanpa alasan.
  8. Keluar untuk memenuhi kewajiban yang bisa ditunda.
  9. Keluar disertai alasan hingga beberapa kali, padahal keluar hanya untuk memenuhi keinginan diri sendiri.


Jika ada seseorang yang menimpa perkara di atas maka i’tikafnya menjadi batal. Sehingga seseorang harus berniat lagi, walaupun i’tikaf yang dilakukan sudah mendapat pahala (selama bukan murtad). 


Dalam i’tikaf yang terikat waktu tanpa terus menerus yang dimaksud batal adalah waktu batal tidak terhitung sebagai bagian dari i’tikaf. Jika ingin i’tikaf kembali, maka ia harus memperbarui niat dan menggabungkan dengan i’tikaf sebelumnya. Sementara dalam i’tikaf mutlak yang dimaksud dengan batal hanya berlaku putus kelangsungan i’tikafnya saja, tidak bisa disambung dengan i’tikaf sebelumnya dan tidak bisa diperbarui. Akan tetapi i’tikaf sah dan berdiri sendiri. 

 
*Keterangan ini diambil dari artikel NU Online berjudul Tata Cara I’tikaf dan Keutamaannya di Bulan Ramadhan


Amaliyah NU Terbaru