NU Online

Parkir Sembarangan, Tindakan yang Dilarang dalam Islam

Selasa, 19 November 2024 | 16:57 WIB

Parkir Sembarangan, Tindakan yang Dilarang dalam Islam

Parkir sembarangan perspektif fiqih (NU Online - Amien).

Parkir sembarangan merupakan persoalan klasik di Indonesia. Tempat yang terbatas dan kelalaian pengguna kendaraan menjadi faktor dominan munculnya masalah ini. Kamis, 19 September 2024, pria inisial HW dikeroyok hingga nyaris ditusuk karyawan toko sembako di Pademangan, Jakarta Utara, gara-gara masalah parkir sembarangan.
 

Dalam pandangan fiqih, parkir sembarangan yang dapat mendatangkan bahaya kepada orang lain merupakan tindakan yang dilarang. Ini seiring pernyataan Syekh Zakaria Al-Anshari yang melarang menggunakan jalan umum jika membahayakan orang lain yang melewatinya. (Asnal Mathalib, juz X, halaman 27).
 

Demikian pula pandangan Ibnu Hajar Al-Haitami yang melarang penggunaan jalan umum jika ada unsur menyempitkan bagi pengguna lain:
 

منفعة الشارع المرور ويجوز الجلوس به لاستراحة ومعاملة ونحوهما إذا لم يضيق على المارة
 

Artinya, “Manfaat jalan adalah dilewati. Boleh duduk di situ untuk istirahat, bertransaksi dan sesamanya jika tidak menyempitkan orang yang lewat”. (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], juz II, halaman 479).
 

Unsur menyempitkan ini ditemukan dalam kasus parkir sembarangan, karena posisi kendaraan yang tidak pada tempat semestinya akan membatasi ruang gerak pengguna jalan lain, bahkan dapat menghalanginya.
 

Unsur membahayakan dan menyempitkan pengguna jalan lain merupakan alasan melarang praktik parkir sembarangan.
 

Islam adalah agama sosial yang menjunjung tinggi nilai cinta dan kasih sayang. Mendukung segala tindakan yang dapat mewujudkan nilai mulia tersebut dan menolak serta melarang hal-hal yang memiliki misi sebaliknya. 
 

Pelarangan parkir sembarangan memiliki alasan yang sangat relevan dengan nilai-nilai Islam. Apalagi di jalan umum yang notabene bukan miliknya sendiri. Di lahan milik sendiripun jika terdapat faktor mengganggu orang lain juga bisa saja dilarang.
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menyebutkan:
 

تصرف الإنسان في خالص حقه إنما يصح إذا لم يتضرر به غيره 
 

Artinya, "Pemanfaatan seseorang atas hak individunya dipandang sah manakala tidak menimbulkan mudharat bagi pihak lain." (Nadhariyatud Dhaman aw Ahkamil Mas’uliyah Al-Madaniyah wal Jinaiyah fil Fiqhil Islami, [Damaskus, Darul Fikr: 2012], halaman 207.
 

Ini senada dengan sabda Nabi Muhammad saw:
 

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ يَدِهِ وَلِسَانِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
 

Artinya, "Muslim itu adalah orang yang mana muslim lainnya senantiasa selamat dari akibat tangan dan lisannya. Orang mukmin itu adalah orang yang tetangganya senantiasa merasa aman dari akibat ulahnya". (HR Muslim).
 

Begitu juga dalam ketentuan hukum Negara, dalam Undang Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan Pasal 12 disebutkan:

  1. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan.
  2. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang milik jalan.
  3. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang pengawasan jalan. (A’an Efendi, Teori Hukum, [Jakarta Timur, Sinar Grafika: 2019], halaman 158).


Baca artikel ini selengkapnya melalui link berikut: https://islam.nu.or.id/syariah/hukum-parkir-sembarangan-perspektif-fiqih-islam-2VDIS