NU Online

Ketika Anak-Anak Bertanya Wujud Allah, Bagaimana Menjawabnya?

Rabu, 23 Oktober 2024 | 15:00 WIB

Ketika Anak-Anak Bertanya Wujud Allah, Bagaimana Menjawabnya?

Ilustrasi lafaz Allah. (Foto: NU Online)

Ketika anak-anak mulai penasaran dan bertanya tentang konsep-konsep spiritual, seperti pertanyaan "wujud Allah seperti apa?", ini menjadi momen penting bagi orang tua untuk menjelaskan ajaran agama dengan bahasa yang sederhana, penuh kehangatan dan kasih sayang serta sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Sebagaimana ilustrasi dialog di bawah ini:

 

Anak: “Ayah, Allah itu wujudnya seperti apa? Kalau manusia punya bentuk, Allah juga punya bentuk kan?

 

Ayah: “Nak, Allah itu ada, tetapi wujud Allah itu tidak dapat dibandingkan sebagaimana wujud makhluk-Nya. Apabila makhluk memiliki bentuk karena memiliki ukuran, maka Allah tidak memerlukan bentuk karena Allah tidak dibatasi dengan ukuran.”

 

Anak: “Tapi kalau begitu, apakah Allah bisa dilihat oleh mata kita?

 

Ayah: “Allah akan bisa dilihat oleh manusia yang beriman kelak ketika di alam Akhirat. Allah akan memberikan karunia-Nya yang terbesar kepada manusia yaitu saat manusia berada di Surga. Manusia yang diberikan anugerah itu akan bisa melihat wujud Allah dengan cara dan penglihatan yang berbeda dengan penglihatan ketika di dunia. Hal ini dimungkinkan atas ijin dan kehendak Allah karena setiap yang disaksikan manusia di surga belum pernah dilihat oleh manusia di dunia, bahkan tidak pernah terlintas dalam benak pikiran manusia sebelumnya."

 

"Sebelum menjawab pertanyaanmu tentang wujud atau “bentuk Allah” berdasarkan pemikiran anak-anak, orang tua dapat balik bertanya kepada anak tentang bentuk nyawa yang sejak lahir telah menyertai kita. Misalnya dengan kalimat “Tahukan kamu bagaimana bentuk nyawamu itu?” Tentu saja anak akan menjawab tidak tahu, bahkan siapa pun yang ditanya tentang bentuk nyawa dia tidak akan mampu menjawabnya."

 

"Kita hanya dapat berkata bahwa dengan nyawa makhluk dapat merasa dan bergerak. Namun, meskipun ada dokter-dokter ahli dari kalangan manusia, di mana pun mereka berada dan apa pun kebangsaannya, mereka semua sama sekali tidak mengetahui tentang nyawa. Bukan saja hakikat nyawa, bentuk nyawa pun mereka tidak tahu. Memang akal manusia dan pengetahuannya sangat terbatas, karena itu banyak sekali pertanyaan terkait manusia yang tidak dapat dijawab."

 

"Apabila nyawa manusia yang selalu bersamanya selama hidup tidak diketahui hakikat dan bentuknya, maka kemudian orang tua bisa mengarahkan anak dengan pertanyaan lanjutan. Misalnya “Bagaimana bisa kita mengetahui apa yang kamu namakan ‘bentuk Tuhan’, pencipta nyawa itu?

 

Sebagai contoh untuk mengikuti pola pikir anak, Profesor M Quraish Shihab memberikan perumpamaan yang mudah untuk dipahami. Beliau menyampaikan sifat-sifat Allah sebagai bukti adanya Allah. Selanjutnya ia menolak setiap khayalan yang mungkin muncul dengan logika sederhana yang mudah dijangkau anak-anak.

 

“Allah menjelaskan kepada kita sebagian sifat-sifat-Nya dan menjelaskan bahwa dia tidak seperti apa pun yang terlintas dalam pikiran, baik yang terlintas itu ada bentuknya yang pasti, maupun hanya terlintas dalam khayalan. Cukuplah bagi kita mengetahui bahwa Dia wujud dan Maha Kuasa serta menganugerahkan kepada kita banyak sekali hal yang bermanfaat buat kita.” (M.Quraish Shihab, Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam, (Tangerang, Lentera Hati: 2014), halaman 14-15)

 

Lebih lanjut, ada contoh sederhana untuk lebih memahamkan anak bahwa manusia tidak perlu membayangkan dan mencari-cari bentuk Tuhan karena hal itu di luar kemampuan manusia. Dengan lugas, ia mencontohkan:

 

“Kita tidak harus mencari tahu bagaimana bentuk sebenarnya dari matahari, cukuplah kita mengetahui bahwa matahari memancarkan sinarnya dan memberi kehangatan buat kita.” (M.Quraish Shihab, Menjawab Pertanyaan Anak tentang Islam..., halaman 15)

 

Apabila anak masih penasaran apakah wujud Allah bisa dilihat, maka Prof Quraish Shihab memberikan alternatif jawaban sebagai berikut:

 

“Memang kita tidak dapat melihat-Nya, tetapi bukti-bukti wujud-Nya dapat kita lihat. Kalau kamu mendengar suara kucing tanpa melihatnya, apakah kamu akan berkata bahwa “kucing tidak ada?” Tidak bukan? Kalau kamu melihat pakaian yang dijemur atau daun-daun silih berganti mengarah ke kiri dan ke kanan akibat embusan angin, apakah kamu melihat angin itu? Tidak juga bukan? Yang kamu lihat adalah hasil kerja angin.” (M.Quraish Shihab, Menjawab Pertanyaan Anak Tentang Islam..., halaman 11-12)

 

Demikian juga Allah, kita tidak melihat-Nya, tetapi “hasil kerja-Nya” kita lihat di mana-mana. Langit, bumi, bintang, dan binatang, semua adalah hasil ciptaan-Nya. Kita tidak melihat-Nya, bukan karena Dia tidak ada, tetapi kemampuan mata kita manusia jauh lebih sedikit dibanding dengan kemampuan sekian banyak binatang, katakanlah seperti burung elang. Ketajaman penglihatannya delapan kali melebihi ketajaman penglihatan manusia. Tokek ekor daun kemampuan pandangan matanya diperkirakan enam kali lebih tajam daripada mata manusia. Dan masih banyak binatang lainnya yang memiliki ketajaman penglihatan lebih dari manusia.

 

Di sisi lain, apa yang tidak terlihat bisa jadi karena dia sangat terang. Kelelawar tidak dapat melihat di siang hari karena matanya tidak mampu melihat sesuatu yang terang. Bahkan kita manusia serupa itu dalam keadaan tertentu. Cobalah tatap matahari beberapa detik saja, manusia yang menatapnya akan silau dan pandangannya menjadi kabur tidak dapat melihat. Matahari yang sekejap dapat kita lihat itu sebenarnya hanya sinarnya, bukan matahari itu sendiri.

 

Wujud Allah sangat jelas, terang, tetapi karena kemampuan mata kita sangat terbatas, maka kita tidak dapat melihat-Nya. Hal yang dapat kita lihat hanya sebagian dari hasil ciptaan-Nya dan yang menjadi bukti tentang wujud-Nya. Dahulu Nabi Musa pernah bermohon kepada Allah agar Beliau dapat melihat Allah.

 

Allah kemudian menyampaikan kepadanya bahwa dia tidak mungkin dapat melihatnya dalam kehidupan dunia ini. Untuk membuktikan ketidakmampuannya itu Allah menyuruhnya memandang ke sebuah gunung, lalu Allah menampakkan ke gunung itu secercah cahaya-Nya, serta merta gunung itu hancur berantakan dan Nabi Musa terjatuh akhirnya pingsan tak sadarkan diri. Begitu diuraikan oleh al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 143:

 

وَلَمَّا جَاۤءَ مُوْسٰى لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهٗ رَبُّهٗۙ قَالَ رَبِّ اَرِنِيْٓ اَنْظُرْ اِلَيْكَۗ قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهٗ فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ فَلَمَّا تَجَلّٰى رَبُّهٗ لِلْجَبَلِ جَعَلَهٗ دَكًّا وَّخَرَّ مُوْسٰى صَعِقًاۚ فَلَمَّآ اَفَاقَ قَالَ سُبْحٰنَكَ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ 

 

Artinya: “Ketika Musa datang untuk (bermunajat) pada waktu yang telah Kami tentukan (selama empat puluh hari) dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, dia berkata, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau.” Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.” Maka, ketika Tuhannya menampakkan (keagungan-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada-Mu dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman.”

 

Namun, ketika kelak di Akhirat melihat Allah dengan pandangan mata adalah hal yang mungkin terjadi untuk membahagiakan orang yang beriman sebagaimana dalam firman Allah di Surat Al-Qiyamah ayat 22-23:

 

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ، اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ 

 

Artinya: “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (karena) memandang Tuhannya.”

 

Baca artikel selengkapnya melalui link berikut: https://islam.nu.or.id/ilmu-tauhid/menjawab-pertanyaan-anak-wujud-allah-seperti-apa-fQYuD